V. Apakah Teman-temanmu Sekarang Lebih Kuat daripada Aku?

15 0 0
                                    


Halo, nama gue Rando, dan gue doyan banget makanan ataupun minuman olahan lemon.

Selama pelajaran matematika, gue nggak bisa fokus ke pelajaran. Alesannya dua hal: yang pertama, gue udah nggak kesulitan belajar materi eksponensial. Gue emang nggak terlalu sulit memahami matematika sejak SD, dan kemampuan hitung praktis gue terbilang cepat. Tetapi apapun yang terjadi, gue nggak bakal dapet rumus apa-apa dari materi sekarang. Kalo udah muncul rumus, gue nggak bisa bengong terus-terusan kayak sekarang.

Yang kedua, gue kepikiran sama kata-katanya (yang ngakunya) Joker. Ya, tanpa gue sadari, ternyata gue bener-bener perlu bekingan di sekolah ini. Yang terkuat nggak bisa kuat tanpa anak buahnya, tapi yang kadang nggak adil, yang terkuat belum tentu bisa dapet bekingan. Dan gue rasa, itulah posisi gue sekarang. Baru juga terhitung hari kedua belajar di sekolah, banyak temen sekelas yang belum saling ngerasa deket. Gue juga pasti diincer semua anak-anak satu sekolah. Cepat datang cepat pergi—gue yakin kalo gue bakal kehilangan posisi Jack dalam hitungan hari. Meskipun masih banyak yang belom gue pahami, gue harus bisa mertahanin posisi ini. Niat dari awal gue udah mateng: lawan api pake api. Jangan biarkan mereka lenyap, tapi biarkan mereka mengakui kekuatan gue.

"Baik! Sebagai salah satu bentuk perkenalan, Ibu mau tau kemampuan dasar kalian. Di depan sudah ada soal yang nggak terlalu susah, tapi lumayan ribet. Ada yang mau coba?" tanya Ibu Santi, guru matematika kita.

Hening. Beberapa anak memasang wajah yang ketakutan.

"Nilai tambah, deh," tambah dia.

Kelas masih sepi. Beberapa jiwa mungkin sudah meninggalkan raganya. Gue nggak habis pikir, bisa-bisanya si Ibu ini bilang kalo ngerjain soal di papan tulis adalah suatu bentuk perkenalan?! Mana soalnya panjang banget, juga.

"...ibu traktir konsernya Billie Eilish, deh."

"SAYA BU! SAYA!"

Saking banyaknya yang mengacung, Bu Santi sempat kebingungan buat milih siapakah yang beruntung untuk mendapatkan satu tiket gratis konser Billie Eilish. Dan gue juga baru tau, si Sulaiman ternyata demen sama Billie Eilish.

"Kamu, deh! Siapa namanya?"

"Elvira, Bu."

Dia maju ke depan bersama sebuah spidol hitam, kemudian menatap seisi papan tulis dengan dramatis. Maksud gue, nggak ada seorang pun yang berdiri terpaku di depan soal buat nemuin jawabannya. Biasanya juga ngotret, kek, mencoba menjawab persoalan dengan sistematis. Tapi, Elvira nggak gitu.

Tau-tau, dia udah nemuin jawabannya dan langsung nulis jawaban akhirnya di papan tulis.

Gue tercekat. Gimana, ya, gue baru aja nungguin dia ngerjain soal selama 3 detik!!

"Jawabannya betul, tapi gimana kamu ngerjain soal secepet itu?" tanya Bu Santi.

"Saya hafal semua hasil perpangkatan, Bu. Makanya, semua bentuk matematika kayak gini tinggal diubah jadi bentuk paling sederhana, habis itu dioperasiin aja sesuai soalnya," jawab Elvira.

"Hebat sekali!" Satu kelas tepuk tangan. Tapi di balik semua tepukan tangan suka cita itu, gue yakin, semua cowok di kelas pasti mikir gini: ANJRIT, KITA DAPET BENDAHARA YANG JAGO MATEMATIKA!

"Nanti kamu bisa tagih tiketnya selepas pelajaran, ya," tambah Bu Santi. Elvira mengiyakan.

"Asiiik, pergi ke konsernya Billie Eilish, nih!" kata Almira begitu Elvira balik ke tempat duduknya.

Terbesit di pikiran gue, apakah Almira ngerasa iri sama kembarannya? Ini gak adil, seharusnya mereka berdua berhak dapet tiket itu masing-masing satu.

I'm Studying in a School Full of FoolsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang