XVIII. Question & Confession

4 0 0
                                    


Gue digotong Hamzah sama Sulaiman buat masuk ke dalem kelas. Selama digotong, gue bisa ngelihat anak-anak lainnya berjejer di sekitar kelas gue entah gara-gara khawatir atau cuma sebatas penasaran. Seakan-akan kelas gue mau ngadain pentas musik kecil-kecilan yang bakal nampilin Zico dan Kamil sebagai tamu utamanya. Percayalah, meskipun salah satu di antaranya adalah orang aneh, tapi kalau diatur seperti itu mereka bisa jadi pesaing Dua Lipa dengan nama panggung Dua Lipan.

Sesampainya di kelas, gue udah bisa langsung berdiri. Rasa sakitnya udah ilang, tapi ritme nafas gue jadi ancur gara-gara shock. Si Sulaiman langsung nawarin botol minumnya ke arah gue (sambil memaksa gue buat duduk di meja yang diduduki Gilza).

"Thanks, Man," ucap gue sambil menerima botol minum Tupperware Eco-nya yang berwarna hitam. Bagi kalangan ibu-ibu, nilai barang ini mungkin bisa disetarakan dengan sebongkah batu Black Onyx.

"Santai."

Orang-orang langsung nyusul masuk ke dalem kelas dengan terburu-buru. Pas si Shakila yang terakhir masuk, dia langsung nutup pintu kelas dengan wajah yang cemas. Bisa jadi pula pikirannya bercabang sehingga tak muluk merasa cemas, namun juga dengan pikirannya yang seakan-akan terus bercabang. Otak Shakila secara tak sadar sudah disetarakan dengan sistem pemerintahan. Jangan salah sangka--hal itu juga tercermin ke dalam semua perilakunya.

Kebanyakan anak-anak dari kelas gue yang ikut tawuran barusan kembali ke kelas dalam keadaan yang setengah bingung. Bagi beberapa orang, tawuran ini merupakan pengalaman pertama mereka, dan pastinya mereka cukup penasaran mengapa tawuran berhenti begitu saja. Rasa penasaran itu juga pasti muncul kepada sosok Joker yang datang secara tiba-tiba. Tahu-tahu bawa Muldam, tahu-tahu ngajak ribut. Gue sendiri bingung. Kayaknya gue sendiri nggak bakal terlalu bingung seandainya diajak Pak Herman ke rumahnya dan menemukan sebuah kandang aligator. Setelah itu, dia bakal bilang, "Oh, itu sebenernya anak Bapak yang saya kutuk."

Kadar bingungnya pasti bakal lebih minim daripada kejadian yang satu ini.

Setelah menutup pintu keras-keras, Shakila langsung menopang tubuhnya di atas meja terdekat dengan papan tulis sambil mengatur nafasnya.

"Mulai sekarang," kata dia dengan penjedaan. Entah untuk membuat efek dramatis atau ini semua gara-gara kondisinya yang kurang stabil.

"Jangan ada yang kelahi sama kakak kelas kecuali kalo diserang."

Langsung terbesit suatu penolakan dari dalam diri gue. Tapi hal kedua yang gue rasain adalah semacam empati kepada teman-teman satu kelas lainnya yang juga mempertanyakan kebijakan si Shakila ini. Gue masih terlalu capek buat nyari tahu alesan Shakila bisa ngomong kayak gitu. Kita juga pasti berpikiran hal yang sama. Salah satu di antara kita yang masih bertenaga harus bisa mengungkapkan pikirannya.

"Nao," sahut Gamaliel dari bangku belakang. "Semua ini kan ide lo, dan nggak serta-merta ide lo tuh nggak ada tujuannya. Kebanyakan dari kita emang ngikut doang, tapi seenggaknya, sebagai temen satu kelas, gue juga pengen tahu tujuan lo yang sebenernya."

Suara Gamaliel mendapat dukungan dari teman-teman lainnya. Sejujurnya gue paling nggak suka kondisi yang kayak begini, seakan-akan memberi tekanan kepada gue bahkan sebelum gue sempat bicara. Untung aja nggak ada Rafly dan Rangga sekaligus yang sekalinya opresif bisa ngebikin orang stres sampai ngamuk kemudian ngancurin proyektor kelas.

"GAM, LO INI PAHAM, GAK, KONDISI SEKOLAH KITA KAYAK GIMANA?!" dari tulisannya pun gue gak perlu ngasih tahu siapa yang baru aja ngomong.

"Gue paham--harusnya lo pada juga paham. Bukan berarti gue gak tahu arti perkelahian yang dilakuin orang-orang di sekolah ini. Tapi gue butuh penjelasan lebih sama apa yang pingin si Nao capai. Kalo ujung-ujungnya jadi orang terkuat dan gak bakal ada perubahan yang berarti, itu sama aja bohong."

I'm Studying in a School Full of FoolsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang