second home

Mulai dari awal
                                    

Inilah salah satu kelemahan Raanan yang tak bisa kedua orang tuanya hilangkan sedari dulu. Overthinking.

"Sama-sama." Bunda tersenyum, menatap Raanan teduh kemudian mendorong pelan anaknya. "Ajak Raanan ke kamar kamu sana, Bunda mau siapin makan. Raanan pasti belum makan, kan?"

Kibasan tangan penolakan tertahan di udara, apalah daya bila perut sudah berbicara....

Grogok grogok.

"Hehe." Sekali lagi dirinya tersenyum malu, menggaruk tengkuk.

"Tadi aja di warkop diajakin makan bilang masih kenyang," cibir Januar seraya berlalu masuk ke pintu di samping kamar Bunda.

Dalam hati Raanan meringis. Kalau Mama-nya tahu dia baru saja dipermalukan, dipastikan ia akan dikunci di kamar semalaman dan mendapatkan jadwal baru guna memperbaiki kekurangannya.

"Susul Januar sana. Bunda manasin makanan dulu, ya."

Raanan mengangguk, menata langkah menyusul Januar ke kamarnya. Menghiraukan Januar yang bertelanjang dada mengais lemari untuk mengganti baju, Raanan duduk pada tepi kasur.

“Kita tidur di sini ya nanti malam. Atau gue tidur di ruang tamu juga nggak papa, sih," kata Januar yang sudah lengkap dengan kaos jersey belelnya.

“Jangan. Saya nggak keberatan, kok.”

“Bagus, deh.”

Hening menyelimuti sementara Januar membereskan barang-barangnya yang nampak acak. Majalah dewasa di atas meja belajar, misalnya.

“Maaf berantakan. Maklum kamar perjaka, jadi begini.”

"Yakin masih perjaka?"

Januar terperangah, menatap cepat pada presensi yang anehnya malah berekspresi datar. Seulas senyum jahil terpatri di bibir tipisnya.

"Nyambung juga ya lo ngomong ginian." Januar tertawa, tak menyangka. "Boleh lah nobar kapan-kapan--IYA IYA BERCANDA JIMMY NEUTRON!"

Januar menutupi wajahnya yang bisa kapan saja menjadi sasaran empuk timpukan bantal. Setelah dirasa suasana sudah kondusif, barulah ia kembali menatap Raanan yang ternyata tengah sibuk memerhatikan seluk beluk kamarnya. Bukan tatapan menilai, melainkan berusaha membiasakan diri.

“Ganti baju deh sana. Gue tunggu depan, ya.”

Setelah mendapat anggukan, Januar beringsut keluar menghampiri Bunda yang duduk bersila di atas karpet seraya menonton siaran televisi. Berjengit tiba-tiba sebuah kepala mendarat dengan mulus di pangkuan, namun segera tersenyum saat mengetahui pelakunya. Pun mengelus surai kecoklatan anak semata wayangnya tersebut.

“Temanmu kenapa? Matanya sembab. Baru nangis, ya?”

“Iya....”

“Kenapa dia?”

“Kabur dari rumah, Bun.”

“Loh kok bisa?”

“Ya bisa. Kan, nothing impossible.”

Januar meringis saat sebuah sentilan maut mendarat pada dahinya. Merengut, tapi malah beralih memeluk Bunda manja.

“Ya bisa lah, Bun. Januar mau cerita takut salah ngomong, mending Raanan aja yang cerita sendiri kalau dia mau.”

Bunda mengangguk mengerti, kembali beralih pada televisi sesekali menyuapi anaknya dengan kacang pilus di toples.

Panjang umur, oknum yang digibahi datang dengan piyama tidur moomin-nya membuat Januar diam-diam terkikik.

youth | nct dream ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang