(49)

5.2K 519 68
                                    

"Aku tetap mau cerai, apa kamu pikir aku mau hidup miskin terus menderita sama kamu? Nggak akan." Ucap Bu Lia melempaskan tangan Mas Bintang gitu aja.

Gue langsung natap Mas Langit begitu denger ucapan Bu Lia, ya Allah sekarang apa? Bukannya Bu Lia cinta banget sama Mas Bintang? Bu Lia bahkan ninggalin Mas Langit demi Mas Bintang tapi sekarang kenapa malah mau cerai dan ngomong kaya gitu?

"Mas, Bu Lia serius ngomong kaya gitu? Jahat banget." Cicit gue menggandeng lengan Mas Langit, asli gue masih belum habis pikir gimana bisa Bu Lia setega itu sama Mas Bintang? Apa nggak cukup Mas Langit yang ditinggal gitu aja dulu?

"Semuanya masih bisa kita bicarain baik-baik, aku nggak akan pernah menceraikan kamu." Mas Bintang juga tetap dengan keinginannya.

"Terserah, intinya aku mau cerai, aku akan keluar dari rumah kamu hari ini juga, ah aku ralat, itu rumah Langit bukan rumah kamu." Bu Lia pergi ninggalin Mas Bintang tanpa memperdulikan apapun lagi.

Gue sama Mas Langit yang ngeliat keadaan Mas Bintang sekarang juga nggak tega, sejahat apapun Mas Bintang dia itu tetap adiknya, Mas Langit nggak akan nutup mata ngeliat adiknya dihina kaya gitu.

"Kita samperin." Gue setuju.

"Bintang, lo nggak boleh kaya gini." Ucap Mas Langit nepuk pelan bahu Mas Bintang yang sekarang duduk tertunduk di depan toko orang.

"Ini semua gara-gara lo, lo ngancurin hidup gue." Bentak Mas Bintang nggak terima, Mas Bintang bahkan mulai narik kerah kemejanya Mas Langit dengan amarah semakin menjadi.

"Bintang dengerin gue, apa yang mau lo pertahanin dari perempuan yang udah jelas-jelas nggak menghargai lo sama sekali?" Ucap Mas Langit dengan nada sedikit meninggi.

"Lia ninggalin gue karena lo, lo penyebabnya." Teriak Mas Bintang nggak jelas, gue yang ngeliatnya aja udah kesal tapi Mas Langit tetap nyuruh gue berdiri ditempat.

"Oke, anggap gue penyebabnya, kalau gue menjamin semua kebutuhan lo dan gue akan mengeluarkan berapapun biaya untuk membuat Lia bertahan disisi lo, apa lo akan bahagia?" Mas Langit balik narik kerah kemeja Mas Bintang.

"Jawab gue apa lo bakalan bahagia? Apa lo akan bahagia hidup dengan perempuan yang jelas-jelas cuma mencintai harta lo doang? Jawabannya nggak akan, lo nggak akan bahagia, percaya sama gue." Bentak Mas Langit tepat dimuka Mas Bintang.

"Sadar Bintang, kita akan coba bicara baik-baik sama Lia, kita bakalan berusaha mempertahan rumah tangga lo tapi andai kata Lia tetap menolak, lo harusnya bersyukur bisa tahu sifat asli Lia, lo harusnya nggak bersikap bodoh dengan mempermalukan diri lo sendiri kaya gini."

"Lo nggak sendirian, lo punya keluarga, lo punya gue, lo adik gue." Mas Langit melepaskan Mas Bintang yang mulai sadar dengan sikapnya sekarang.

"Gue bodoh banget Lang." Lirih Mas Bintang meneteskan air matanya.

"Lo selalu bilang ke gue kalau nggak ada orang pinter yang nggak pernah bodoh."

Gue narik nafas lega begitu Mas Bintang terlihat jauh lebih tenang, Mas Langit sendiri juga mendudukkan tubuhnya disebelah Mas Bintang, menupuk bahu adiknya menguatkan.

.

"Mas Bintang gimana Mas?" Tanya gue begitu kita udah dikamar, gue sama Mas Langit milih untuk mulai nginep dirumah keluarga Hanif, setelah kejadian tadi, Mas Langit terlalu takut ngebiarin Mas Bintang pulang sendiri jadi alhasil kita berdua ngikutin dari belakang.

"Jauh lebih tenang setelah ditemenin Tante Indah kayanya." Ah syukur, seumur umur belum pernah gue ngeliat orang kalut kaya tadi secara live, paling cuma di drama yang ala-ala.

"Mas, Bunga mau ngomong sesuatu." Kayanya masalah ini juga harus gue bahas sama Mas Langit deh.

"Apa?"

"Kuliah aku gimana? Kalau dipaksain masuk sekarang takutnya jalan satu semester tar udah harus cuti, kan sama aja." Ucap gue jujur, ya ini pemikiran gue, karenabterlalu ribet jadi kenapa nggak sekalian kuliah siap lahiran aja, itupun kalau minat belajar gue masih ada.

"Cuma karena itu? Selalu Mas ingetin kalau kamu nggak bakat bohongkan Nga?" Gue tersenyum sekilas.

"Heumm, Bunga juga nggak yakin bisa ngedepin omongan orang nanti." Cicit gue pasrah, gimana enggak, dirumah sakit aja banyak yang natap gue aneh cuma kerena dateng ke dokter kandungan.

Gue nggak nyaman, gue juga nggak bodoh sampai nggak tahu apa yang ada di pikiran mereka begitu natap gue, masih muda tapi udah hamil, malah kemarin gue dateng bereng Ama tatapan mereka lebih kacau lagi.

"Mas nggak akan maksa kamu karena bagi Mas, kamu nyaman itu lebih penting." Gue mengangguki.

"Tapi, walaupun kamu cuma jalan satu semester tapi setidaknya umur kamu nggak terbuang Nga, nggak ada larangannya mahasiswi hamil tetap kuliah."

"Begitu pandangan orang, Mas ngerti perasaan kamu tapi untuk apa kita mendengarkan orang lain bahkan disaat orang itu nggak kenal sama kita, kamu nggak melakukan kesalahan, ini anak kita, kalau memang kita nggak melakukan kesalahan terus kita harus malu kenapa?"

"Cuma omongan orang-orang walaupun nggak didenger tapi tetep aja ngeselin Mas." Yaiya bener omongan nggak penting orang jangan didengerin tapikan gue punya kuping, gue nggak budek.

"Yaudah pikirin baik-baik ucapan Mas tapi apapun pilihan kamu Mas akan setuju, sekarang lupain masalah omongan orang, kamu sendiri mau sesuatu?" Tanya Mas Langit yang gue angguki cepat, gue pinginnya udah hampir semingguan tapi gue malu mau minta, susah dibedain antara ngidam sama banyak mau soalnya.

"Mau apa?"

"Aku mau minjem baju Mas buat aku pakai tidur." Cicit gue menyunggingkan senyuman semanis mungkin.

Nggak beda jauh dari ekspresi gue, Mas Langit juga menyunggingkan senyumannya, gue senyum mah wajar, gue kesenangan, kalau Mas Langit yang senyum itu mencurigakan, senyumnya itu bisa berarti suka atau bahkan ledekan.

"Mas senyum kenapa?" Tanya gue natap Mas Langit antusias.

"Nggak kenapa-napa cuma Mas lagi nebak sesuatu, belum lahir aja anak kita udah mau deket Mas terus, bisa jadi kalau insyaallah lahir nanti dia bakalan lebih manja ke Mas dari pada sama kamu." Gue ikut mengunggingkan senyuman gue sekarang, ah gue kirain itu ledekan.

"Memang nggak boleh ya Mas? Kalau nggak boleh ya mending dari sekarang di biasain, nggak usah jadi aja minjem bajunya." Ah bener ni, bahaya kalau anak gue tar nempel terus sama Bapaknya, bisa melengserkan posisi gue.

"Yang bilang nggak boleh siapa Bunga? Yaudah Mas beberes dulu, kalau mau pakai baju Mas yaudah pakai aja, tinggal ambil dilemari." Mengusap kepala gue sekilas, Mas Langit bangkit berjalan masuk ke kamar mandi.

"Kalau tar posisi gue dinomorduakan sama anak gue gimana?" Cicit gue masih kepikiran.

"Nggak akan!" Teriak Mas Langit dari dalam kamar mandi, memang kedengeran?

Ketika Langit Mencintai Bunga (END)Where stories live. Discover now