(40)

4.4K 509 124
                                    

"Baru hitungan menit Bunga, sabar." Gue meyakinkan diri gue sendiri.

"Kenapa diem? Ngerasa kalau omongan aku benerkan? Namanya juga perusak jadi harap sadar dirilah ya." Lanjut Bu Lia menatap gue meremehkan.

"Mulut tu orang_"

"Bunga, masuk ke kamar." Tangan gue udah siap melayang mau mukul orang kalau nggak ada tangan Mas Langit yang ngajak masuk ke kamar detik itu juga.

"Biasanya yang tahu salah langsung kabur ya Mas, nggak punya malu, bilangnya nggak mau harta warisan tapi nyatanya apa? Belagak sok suci." Mendengar ucapan Bu Lia, Mas Langit melepaskan genggamannya ditangan gue dan berbalik membuka pintu kamar.

"Mau kemana?" Kali ini gue yang nahan lengan Mas Langit.

"Mereka harus belajar bersikap, mereka itu pendidik, gimana sama nasib anak didiknya?" Nggak harus dibahas juga.

"Tapi kan Mas, mereka_"

"Kamu takut Mas marah?" Tanya Mas Langit tersenyum kecil.

"Heum." Gue mengangguk pelan.

"Nggak papa." Nepuk tangan gue pelan, Mas Langit keliar dari kamar dan nemuin Bu Lia sama Mas Bintang lagi.

"Kalau sudah cukup dewasa untuk membaca situasi, kalian berdua nggak akan berdiri disini dengan ucapan terlalu berani seperti itu."

"Yang harus kalian ingat, tempat dimana kalian menginjakkan kaki sekarang, hak kepemilikannya tercatat atas nama saya, andai ada yang harus tahu diri bukan kami tapi sebaliknya." Mas Langit tersenyum sekilas sebelum kembali menutup pintu kamar gitu aja.

"Gimana caranya aku bertahan disini Mas? Belum apa-apa bendera perang udah dikibarkan." Lirih gue memejamkan mata nggak habis pikir.

Hidup gue bakalan kaya apa selama disini? Ngadepin muka Mas Bintang sama Bu Lia pasti bakalan butuh kesabaran esktra, lagian otak gue kepentok apaan kemarin sama bisa mikir ngebujuk Mas Langit tinggal disini, gue nyesel.

"Sabar, katanya harus sabar masa udah nyerah sebelum perang?" Mas Langit tertawa kecil mengusap kepala gue.

"Rada nyesel ya mau gimana Mas?" Gue ikut tertawa menatap suami gue sekarang, ya lain mau gue apain, di umur gue yang sekarang cuma buang-buang waktu kalau diisi pake tangisan.

"Udah jangan terlalu dipikirin, lebih baik kita beberes dulu, ayo Mas bantuin." Gue mengangguk pelan.

.

"Tok tok tok" memperhatikan Mas Langit sekilas yang terlihat nyaman dengan tidur siangnya, gue bangkit dari ranjang untuk ngebukain pintu.

"Kenapa Bi?" Tanya gue membuka pintu sedikit.

"Makan siang dulu Mbak, Bapak sama yang lain sudah nungguin di bawah." Ucap Bi Kiah yang gue angguki.

"Iya, makasih ya Bi." Setelah Bi Kiah turun, gue kembali menutup pintu dan duduk disamping Mas Langit yang masih tertidur.

"Mas, bangun." Gue nepuk pelan pipi Mas Langit.

"Kenapa?" Gumam Mas Langit mengusap wajahnya.

"Bangun dulu makan siang, yang lain udah nungguin dibawah." Jelas gue kurang yakin, makan siang pertama bareng keluarga Mas Langit itu rasanya aneh.

"Heumm." Mengusap pelan pipi gue, Mas Langit bangkit dan berjalan masuk ke kamar mandi, beberes dan setelahnya kita berdua turun kebawah.

Dari tangga, gue udah menggandeng lengan Mas Langit kuat sembari memperhatikan kearah dapur yang ternyata udah beneran rame, lebih rame dari dirumah gue ini mah.

Ketika Langit Mencintai Bunga (END)Where stories live. Discover now