(10)

5K 496 40
                                    

"Nga! Gue suka sama Mas Langit!" Ucap Dinda yang ternyata nyusulin gue sekarang, seketika gue memberhentikan langkah begitu Dinda narik lengan gue dan ngomong kaya gini, apa lagi sekarang?

"Maksud lo apaan Din? Lo gila? Mas Langit itu suami sahabat lo!" Bentak Ama seakan ikut emosi dengan ucapan Dinda barusan.

Gue sendiri masih mematung memperhatikan mata Dinda, gue kaget sekaligus kehilangan kata, gue mau marah tapi tatapannya Dinda sekarang beneran penuh luka dan jujur gue jadi nggak tega jadinya, Dinda terlihat sangat terpukul juga.

"Karena gue tahu Bunga sahabat gue makanya gue mau jujur Ma! Gue memang suka sama Mas Langit, gue bisa apa?" Lirih Dinda masih memegang erat lengan gue sekarang.

"Nga, gue nggak bermaksud apapun tapi gue juga nggak bisa bohong dengan perasaan gue, gue suka sama Mas Langit dan maaf gue nggak bisa berbahagia untuk pernikahan kalian berdua, gue minta maaf." Lanjut Dinda bahkan meneteskan air matanya didepan gue.

"Dinda! Liat gue Din, lo sahabat guekan? Lo keluarga guekan?" Tanya gue berbalik menggenggam lengan Dinda kuat.

Dinda mengangguk pelan untuk pertamyaan gue barusan lengkap dengan isak tangis tertahan, gue narik nafas dalam dan kembali mengeratkan genggaman gue di lengan Dinda, kenapa Dinda baru ngomong sekarang? Dinda mau gue ngelakuin apa coba?

"Din! Gue nggak bisa ngasih solusi apapun sekarang, lo tahu kenapa? Karena posisi gue istri." Posisi gue sulit banget sekarang, belum kelar perihal Bunda nah sekarang Dinda malah nambah hal baru.

"Tapi gue udah jujur sekarang Nga, gue nggak bisa nutupin perasaan gue lebih lama lagi." Iya gue tahu tapi kenapa Dinda baru ngomong sekarang?

"Gini deh, karena lo udah jujur, gue hargai itu, jujur lebih baik dari pada lo nusuk gue dari belakang, jujur lebih baik karena gue nggak mau lo tersiksa dan gue juga nggak akan salah paham." Ini yang bisa gue mengerti untuk saat ini.

"Tapi Din, gue juga nggak bisa ngasih lo solusi apapun, jujur gue memang belum mencintai Mas Langit tapi gue juga nggak pernah berpikiran untuk bercerai, lo ngertikan?" Tanya gue masih bingung banget.

Gue mau Dinda ngerti, walaupun gue menghargai perasaan dia tapi gue nggak bisa melepaskan Mas Langit untuk dia gitu aja kalau memang itu yang dia mau dengan jujur sama gue, ada ikatan yang gue sama Mas Langit punya sekarang terlepas cinta diantara kami berdua ada atau enggak.

Lagian andai kata gue mundur, gue juga nggak bisa menjamin apapun karena apa? Karena kita semua tahu, sebelum menikah sama gue, Mas Langit juga punya perempuan yang dia cintai, ada perempuan yang memiliki hati suami gue, yang jelas orang itu saat ini bukan gue ataupun Dinda.

"Yang bisa gue kasih sebagai sahabat lo sekarang adalah pengertian Din, masalah perasaan, gue rasa lo harus bicara langsung sama orangnya." Gue berbalik menatap Mas Langit sekilas dari arah seberang.

"Boleh gue ngomong sama Mas Langit sekarang?" Tanya Dinda yang membuat gue cukup tercengang, sekarang? Karena tatapan memelas Dinda semakin membuat gue nggak tega, gue terpaksa mengangguki permintaan Dinda barusan.

Gue merogoh handphone gue dan memilih untuk menghubungi Mas Langit, gue ngasih tahu Mas Langit kalau gue nggak bisa ikut pulang bareng dia karena mau nemenin Ama sebentar, selebihnya gue balik dianterin sama Ama nanti, gue malah berbohongi suami gue untuk membiarkan Mas Langit sama Dinda bicara berdua.

Entah kenapa gue sama sekali nggak bisa ngerasain apapun, gue nggak marah atau kesal, kesal aja enggak apalagi sampai cemburu, mungkin karena gue belum mempunyai rasa apapun, gue masih menganggap Mas Langit nggak lebih dari sekedar saudara makanya yang gue tahu sekarang ya gue cuma kaget dan kebingungan sendiri.

Pernikahan gue sama Mas Langit terjadi karena dipaksa oleh keadaan, cinta? Gue nggak bisa menjamin apapun untuk sekarang, ditambah dengan pengakuan Dinda yang tiba-tiba kaya gini, gue rasa jarak diantara gue sama Mas Langit malah semakin menjauh, haduh.

.

"Makasih ya Ma! Lo mau mampir dulu?" Tanya gue begitu sampai didepan pagar rumah.

"Lain kali aja, Nga! Lo yakin kalau lo baik-baik aja? Banyakan bengong gitu dari tadi." Ama melepaskan helmnya menatap gue nggak yakin.

"Nga lo sama Dinda itu sama-sama sahabat gue, gue nggak bisa memihak, gue tahu ini berat buat lo tapi perasaan Dinda juga nggak bisa kita ubah." Gue mengangguk untuk ucapan Ama.

"Gue tahu Ma, lo nggak perlu khawatir." Balas gue nepuk lengan Ama pelan.

"Gimana gue nggak khawatir kalau mulut lo selalu bilang baik tapi nyatanya mata lo kaya orang linglung begitu?" Ama terlihat kesal.

Bohong kalau gue bilang gue baik-baik aja tapi pernikahan gue memang udah bermasalah dari awal jadi gue nggak bisa menyalahkan keadaan kalau nyatanya masalahnya malah makin memburuk kaya gini, udah renggang dari sananya.

Mas Langit sendiri juga nggak ngomong apapun waktu gue nolak pulang bareng dia tadi, Mas Langit bahkan nhgak nolak waktu gue bilang Dinda mau ngomong juga sebentar, hati Mas langit siapa yang tahu?

Untuk sekarang gue akan coba berpikir sepositif mungkin, jodoh nggak ada yang tahu, berprasangka baik untuk takdir Allah, gue cuma bisa percaya itu jadi biar gue nggak pusing ya caranya jangan terlalu banyak mikir.

"Gue akan coba ngelakuin yang terbaik Ma, lo tahu gue, gue nggak akan berdiri di pinggir empang terus lompat cuma karena masalah ini." Gue tertawa kecil.

"Kalau empang Mang Juki di komplek ujung mah gue dukung lo lompat, itung-itung merendam otak." Ck, dasar.

"Kampret lo, udah sana pulang! Hati-hati." Gue melambaikan tangan gue ke Ama dan berjalan masuk begitu Ama keliatan udah jauh.

"Assalamualaikum!" Ucap gue begitu membuka pintu rumah.

"Waalaikumsalam!" Jawab Bunda masih terdengar ketus, gue menyalami Bunda dan memaksakan senyuman gue, gue harap perasaan Bunda udah jauh lebih baik.

"Bunda masak apa?" Tanya gue dengan muka sok imut sambilan gelanyutan.

"Mau sampai kapan dimasakin? Kamu udah nikah! Jangan sampai kamu punya suami malah nambah beban Bunda dirumah ya Dek! Belajar masak!" Ucap Bunda datar dan berjalan kedapur gitu aja.

Gue menghela nafas dalam mendengarkan jawaban Bunda barusan, dengan hati yang mencelus, gue menaiki tangga dan masuk ke kamar gue, gue melempar tas sekolah gue sembarangan dan menghempaskan tubuh asal diranjang gue, wah berat banget ternyata.

Belum cukup sama Dinda, sikap Bunda malah nambah pusing gue, kenapa Bunda nggak bisa nerima Mas Langit coba? Karena Mas Langit miskin? Ya gue ralat, Mas Langit bukan miskin tapi hidupnya pas-pasan.

Berulang kali gue ngingetin diri gue kalau harta itu bisa dicari tapi dapet suami yang bertanggung jawab itu yang susah, seperti kata Bang Jian, terlepas dari ekonominya yang pas-pasan itu, Mas Langit sangat bertanggung jawab, gue setuju, banget malah.

Apa Bunda nggak bisa melihat itu sama sekali? Lagian Bunda harus berisi keras nolak Mas Langit kenapa? Gue belum cinta sama Mas Langit jadi masih ada kemungkinan apapun, kalau gue udah bilang gue nggak bisa hidup tanpa Mas Langit nah itu baru Bunda bisa mengibarkan bendera perang.

Bunda juga satu, Bunda bersikap kasar ke Mas Langit atas dasar apa? Harusnya Bunda berterima kasih karena Mas Langit mau menikahi gue untuk nutupin malu keluarga, apa Bunda masih ngarepin lelaki yang udah kabur nggak tahu kemana itu?

Kecewa gue selamanya nggak akan pernah hilang dan selama itu juga penilaian gue untuk Mas Bintang nggak akan berubah, andai kata dia balik dan gue berpisah sama Mas Langit, gue tetap nggak akan kembali sama dia.

"Pletuk!" Gue bangkit dan ngambil tas yang gue lempar sembarang tadi, siapa lagi yang nge-chat gue sekarang hah? Nggak tahu gue lagi pusing apa?

"Kamu yang datang ke rumah Mas atau Mas yang masuk ke kamar kamu?"

Ketika Langit Mencintai Bunga (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang