(29)

4.4K 475 49
                                    

"Bukan pernikahan yang mengikat kalian berdua tapi perasaan!" Gue menelan ludah gugup sama ucapan Bunda, masa iya gue punya rasa sama Mas Langit?

"Nggak mungkin Bunda, kalaupun bener aku punya rasa tapi itu semua nggak bakalan kejadian sama Mas Langit, siapa juga yang bisa suka sama perempuan pecicilan kaya aku? Udah pecicilan, nyusahin lagi." Gue bukan paket lengkap untuk seorang Langit.

"Hati orang nggak ada yang tahu." Gue mulai menatap Bunda aneh, ini maksud Bunda ngomongin masalah perasaan gini secara berkepanjangan apa coba? Apa Bunda udah setuju?

"Jadi Bunda udah ngasih restu ni ceritanya?" Tanya gue berbinar.

"Masih pertimbangan!" Gue tersenyum untuk sumringah sekarang, ya setidaknya ada respon baik dari Bunda mengenai Mas Langit, itu udah kemajuan.

Mas Langit bener, sebagai anak ya kita memang harus banyak bersabar, orang tua nggak mungkin dikerasin, berusaha ngambil hati Bunda adalah cara yang bisa gue sama Mas Langit lakukan sekarang, semoga kedepannya semakin baik lagi.

.

"Terimakasih Dok!" Ucap Mas Langit ke dokter yang barusan ngecek Bunda, gue juga mengucapkan terimakasih sembari menyunggingkan senyuman.

"Kalau begitu saya permisi." Setelah Mas Langit nganterin dokternya ke depan, gue balik duduk diranjang sebelah Bunda, keliatan banget wajah pucat Bunda sekarang.

"Kamu masih ujiankan Dek?" Tanya Bunda yang gue angguki, ujian gue memang bakalan satu minggu penuh.

"Yaudah kamu pulang aja istirahat!" Gue langsung menggeleng cepat, masa iya gue pulang terus Bunda gue tinggal sendirian?

"Butuh sesuatu?" Tanya Mas Langit yang sekarang udah balik ke kamar Bunda, sekilas Bunda natap gue dengan tatapan sayunya.

"Mas, kalau malam ini Bunga nginep disini nggak papakan? Bunga nggak mungkin ninggalin Bunda sendirian." Izin gue, lagian gue juga nggak mungkin ngajak Mas Langit nginep, bukan karena Bunda tapi kalau Mas Langit ikut nginep bareng gue terus Nenek sama siapa? Nggak mungkin ditinggal sendirian jugakan?

"Mas nginep disini juga, Nenek udah ada Fikri yang jagain." Hah! Fikri itu siapa?

"Fikri, temen sekantor Mas, anaknya bisa dipercaya, lagian Mas juga nggak mungkin ninggalin kamu sama Bunda dalam keadaan begini, apalagi Jian lagi nggak ada." Bener juga sih, gue sama Bunda sama-sama perempuan, rada ngeri juga ditinggal nggak ada penghuni cowonya.

"Jangan ngerepotin orang, ajak Nenek aja nginep disini, kamar tamu kan kosong." Hah? Gimana? Asli gue sampai bengong sama tawaran Bunda barusan, serius itu Bunda? Otaknya geser apa begimana?

Nggak jauh berbeda dari gue, Mas Langit juga terlihat sama kagetnya, ya gimana nggak kaget coba? Selama ini jangankan Nenek, Mas Langitnya aja nggak dikasih nginep dirumah lah ini malah Neneknya sekalian, orang normal bakalan bereaksi sama kaya gue sama Mas Langit sekarang.

"Bunda serius?" Tanya gue memastikan.

"Jian bakalan seminggu disana, nggak mungkinkan kalian mau ngerepotin orang sampai seminggu juga? Udah ajak Nenek kemari juga." Gue langsung tersenyum sumringah, gas buruan, jangan di tunda lagi.

"Okeh!" Nggak pakai lama gue langsung minta Mas Langit jemput Nenek sebelum Bunda berubah pikiran, kesempatan langka kaya gini nggak boleh disia-siakan.

"Bunda kamu apain?" Cicit Mas Langit narik gue keluar kamar Bunda.

"Tar Bunga cerita deh pokoknya, sekarang Mas jemput Nenek dulu takut keburu hujan." Gue mendorong Mas Langit pelan dan melambaikan tangan gue, jangan banyak tanya.

"Hati-hati Abang." Teriak gue yang dibalas tatapan aneh Mas Langit, Abang pula gue manggilnya.

"Kamu juga keluar sana, Bunda mau istirahat, jangan tidur kemaleman nanti telat kesekolah." Dan anehnya sekarang malah mata gue yang berkaca-kaca sama ucapan Bunda, nggak terasa gue udah lama nggak denger ucapan Bunda yang kaya gini, Bunda yang selalu ngingetin gue buat tidur lebih awal biar nggak telat sekolah, gue kangen saat-saat itu.

"Okeh, Bunda juga istirahat, kalau butuh apapun, panggil Bunga." Tanpa merespon ucapan gue, Bunda narik selimutnya dan berbalik membelakangi gue lagi, nggak papa, gini aja gue udah bahagia banget.

Merapikan selimut Bunda, gue mematikan lampu kamar dan turun kebawah nungguin Mas Langit sama Nenek dateng, lama amat perasaan, padahal jarak rumah kagak jauh, hitungan menit juga sampai, takut hujan tar ribet.

"Assalamualaikum!" Akhirnya.

"Waalaikumsalam, lama amat Mas?" Semprot gue tapi masih tersenyum manis untuk Nenek.

"Anter Nenek ke kamar dulu tar baru Mas jelasin." Balas dendam ni orang tua, terus aja ngajak gelut, kapan akurnya?

"Yaudah ayo!" Gue bergantian sama Mas Langit mapah Nenek masuk ke kamar tamu, untung kamar tamu bersih jadi Nenek bisa langsung istirahat.

Sama halnya Bunda, setelah memperbaiki selimut Nenek, gue mematikan lampu dan narik lengan Mas Langit buat masuk ke kamar gue, ada yang harus diluruskan sepertinya.

"Mas ngeliatin apa? Masuk!" Kesal gue karena Mas Langit cuma berdiri diambang pintu, kenapa? Malu masuk ke kamar perempuan? Kaya nggak pernah aja, kan pas akad udah.

"Kamu udah nggak sabar ya?" Hah? Maksud pertanyaan Mas langit apaan? Udah nggak sabar? Ambigu banget pertanyaannya.

"Otak Mas bisa beresan dikitkan? Nggak sabar apaan juga maksudnya? Udah buruan masuk, mau dijelasin apa enggak?" Omel gue, tangan gue udah siap-siap nutup pintu.

"Kenapa di tutup?" Hah! Mas Langit kenapa elah.

"Terus mau dibikin live gitu? Mas kenapa? Sakitkah? Aneh gitu!" Gue mendudukkan tubuh gue disofa kamar dan natap Mas Langit yang masih setia berdiri diposisinya.

"Yaudah jelasin, Bunda kamu apain?" Tanya Mas Langit to the point.

"Ya nggak aku apa-apain, tadi cuma lagi ditanya apa Bunga suka sama Mas terus responnya Bunda aja jadi panjang!" Jelas gue juga nggak ambil pusing, ya memang gitukan ceritanya.

"Terus kamu jawab apa?" Mas Langit terlihat semakin antusias.

"Jawab apa? Ya Bunga bilang nggak mungkinlah, andai kata mungkin di aku pasti nggak mungkin di Maskan? Mana mungkin Mas suka sama aku, kan Bunda aneh." Jujur banget gue.

"Mas nggak pernah bilang kalau itu nggak mungkin!" Gimana? Maksudnya apaan?

"Heumm terus Mas sendiri kenapa lama tadi? Ngapain dulu?" Tanya gue nyeleweng arah, nggak baik kalau pembahasan masalah perasaan diperpanjang.

"Ngebujuk Nenek, Nenek takut malah ngerepotin apalagi Bunda kurang sehat begitu, takut kamu kecapean juga ngurusin dua orang." Duh si Nenek peduli amat sama gue, jadi makin sayang.

"Salah Mas bukan dua tapi tiga, kan ngurusin Mas juga!" Gue tertawa geli sendiri sama ucapan gue barusan, asli sejak kapan gue bisa ngardus gitu?

"Kamu belum jawab pertanyaan Mas!" Senyum gue sirna dalam sesaat.

"Pertanyaan apa lagi Mas? Kan udah dibahas tadi!"

"Alasan Bunda berubah sikap, kamu belum jawab!" Kan udah tadi.

"Ah kata Bunda, misahin dua orang yang cuma terikat pernikahan mungkin bisa tapi misahin dua orang yang hatinya udah terpaut itu susah, bukan pernikahan yang mengikat kita berdua tapi perasaan, gitu katanya!" Dan hening, gue nepuk tangan gue sekali dan bangkit berniat masuk ke kamar mandi.

"Bunda bener!"

Ketika Langit Mencintai Bunga (END)Where stories live. Discover now