(26)

4.5K 494 48
                                    

"Anda berhak mengatakan apapun untuk saya tapi jangan pernah menilai istri saya sesuka hati anda, akan saya pastikan, buangan yang anda maksud akan saya pertahankan apapun dan bagaimanapun caranya!"

"Orang tua itu cuma pinter ngomong! Kita liat aja, gue atau lo yang bakalan dapetin Bunga?" Tangan gue udah geram banget pingin melayang ke kepalanya Fadil tahu nggak? Nggak bisa baca situasi atau memang nggak punya otak ni anak?

"Lo kata gue buangan tapi lo suka juga, sampah banget gue dengernya!" Gue melepaskan dekapan Mas Langit dan berbalik narik tangan Mas Langit keluar dari rumah.

Keluar dari rumah Bunda, gue langsung masuk ke rumah Mas Langit masih dengan emosi yang udah sampai ke ubun-ubun, gue bahkan mulai nendangin dinding pakai kaki sangking kesalnya, mau lemparin barang-barang di kamar sekalian tapi sayang, Mas Langit bakalan keluar biaya banyak tar.

"Gila ya, yang keliatan kalem tapi nyatanya nyampah semua!" Ucap gue prustasi.

Gimana enggak coba? Nggak Mas Bintang, nggak Fadil sama aja, menangnya mereka cuma kaya doang, tampang juga nggak ganteng-ganteng amat tapi bisa-bisanya ngejadiin Bunda gue tameng mereka, lagian gimana bisa Bunda ngenalin gue sama anak temennya yang pada nggak waras semua?

"Ish, udah gitu pakai ngatain gue buangan pula, nggak habis pikir gue." Dan untuk kesekian kalinya gue nendangin dinding pakai emosi.

"Itu dinding juga nggak bakalan ngerasain apapun kamu tentangin begitu! Yang ada malah kaki kamu yang sakit." Mas Langit masuk dan ngambil posisi di sisi ranjang.

"Mas nggak marah gitu dikatain sama bocah kemarin sore?" Tanya gue kehabisan kata, bisa-bisanya Mas Langit keliatan tenang begitu.

"Kamu sama Fadilkan seumuran, bocah juga!" Ish.

"Bukan itu maksud Bunga, bukan itu intinya! Mas dengerkan ucapan Fadil tadi? Ngomong seenak jidatnya banget Mas, dia sok tahu semuanya padahal ada disituasi kita berdua aja enggak pernah!" Kesal gue.

Gue mendudukkan tubuh gue ditempat dan menyandarkan tubuh gue dinding, gue nggak pernah tahu kalau membangun rumah tangga bakalan sesulit ini, perasaan di film yang gue tonton nggak gini-gini amat.

"Lagian mulut perempuan itu harus lembut, kalau ada orang yang ngatain kita cukup diemin, tar kalau udah tenang baru jelasin!" Hah! Gue cukup tercengang sama ucapan Mas Langit.

"Hari gini penjelasan itu selalu didenger kalau udah nyesel Mas bukan waktu udah nggak emosi, iya kali mereka mau terima penjelasan, yang nggak suka sama kita juga nggak butuh penjelasan apapun." Lagian sama orang modelan Fadil sama Mas Bintang ngomong itu nggak perlu pakai bahasa lemah lembut, mau muntah gue bawaannya.

"Dasar bocah!" Gue tersenyum sekilas dengan kepala masih tertunduk, bener sih, mungkin cara gue menghadapi masalah beneran masih kaya bocah.

"Itu gunanya orang tua, jadi penenang!"

"Lucu banget istri gue." Gue yang semula tertunduk pasrah menegakkan kepala gue menatap Mas Langit setelah ucapannya.

"Apaan Mas?" Tanya gue nggak denger bener-bener jelas ucapannya barusan.

"Mas harus balik ke kantor sekarang, kamu bisa tolongin Mas nyiapin makan Nenek? Mas buru-buru soalnya." Gue menyipitkan mata aneh menatap Mas Langit sekarang, seriusan itu? Perasaan kalimatnya tadi nggak sepanjang ini.

"Heumm!" Gue mengangguk pelan, Mas Langit juga bangkit dari duduknya.

"Mas berangkat, titip Nenek!" Mas Langit menatap gue sekilas sebelum meraih gagang pintu keluar kamar.

"Suami gue tua banget ternyata." Ucap gue ikut bangkit dari duduk gue, tetiba pintu kamar balik dibuka dan Mas Langit tersenyum dengan tatapan tajamnya.

"Kenapa lagi?" Tanya gue gugup, mengabaikan pertanyaan gue Mas Langit maju dan mengecup kening gue tetiba sebelum kembali menutup pintu kamar gitu aja.

.

Hari ini Mas Langit pulang agak larut malam katanya jadi gue nggak harus nunggu, jujur nih sebenernya gue nggak nungguin tapi gue nggak bisa tidur doang, ngapain juga nunggu itu orang tuakan? Tapi Mas Langit pulang telat kenapa ya? Apa ditahan Bang Jian? Bang Jian nggak mungkin lembur juga kan Bunda lagi sakit.

Gue melirik handphone gue sesekali menimbang mau nanya ke Bang Jian apa enggak, tapi tar kalau dikata gue sok perhatian gimana? Mulut Bang Jiankan aga-aga juga rempongnya.

Tapi nggak gue tanyain gue malah nggak bisa fokus belajar, tar kalau gue nggak bisa fokus belajar terus nilai ujian gue turun gimana? Mas Langit sama Bang Jian juga yang bawel kan? Udah tanyain aja kali ya.

Setelah menimbang berat ringannya, elah bahas gue, pada akhirnya gue menghubungi Bang Jian dan kalian tahu apa jawabannya Bang Jian begitu gue tanya Mas Langit masih dikantor apa enggak? Jawabannya Mas Langit udah keluar dari kantor dari sore tadi.

Memutuskan panggilan Bang Jian, gue langsung beralih menghubungi Mas Langit, lagi-lagi jawaban yang gue terima membuat gue tersenyum miris, beneran lembur? Lembur di kantor mana maksudnya?

Menutup panggilan Mas Langit secara sepihak, gue melempar handphone gue asal diranjang, menutup buku bacaan gue dan bangkit keluar kamar ngecek Nenek sebentar, mendapati Nenek udah tertidur pulas, gue menutup pintu kamar Nenek perlahan dan jalan ke dapur.

"Apa Mas Langit juga sama sampahnya?" Cicit gue bahkan tersenyum untuk pertanyaan gue sendiri.

Ngambil minum dan balik masuk ke kamar, membaringkan tubuh gue diranjang dengan pemikiran nggak jelas kemana-mana, gue mau cerita ke Ama atau Dinda tapi gue rasa masalah rumah tangga juga bukan untuk diceritain sama orang lain walaupun itu sahabat gue sendiri.

Cukup lama gue uring-uringan dikamar, suara pintu yang dibuka membuat gue menyikap selimut gue dan menyandarkan tubuh gue di kepala ranjang, gue mau tahu seberapa jauh Mas Langit bisa bohong sama gue.

"Belum tidur Nga? Kan Mas udah bilang nggak usah nungguin." Mas Langit melepas dasinya, gue hanya tersenyum sekilas untuk pertanyaannya barusan.

"Mas juga telat banget, kerjaannya sebanyak itukah?" Tanya gue balik, Mas Langit mengangguk pelan.

"Heummm, Mas kerja lembur dikantor yang mana? Pindah kantor?" Membuang jauh senyum sinis gue, gue menatap Mas Langit serius setelahnya, gue nggak nyangka kalau Mas Langit juga bakalan bohong sama gue.

Seketika raut wajah Mas Langit juga berubah, mendekat ke sisi gue dengan kemeja putihnya yang udah ganti, tadi perasaan berangkat nggak pakai kemeja ini, ganti dimana?

"Kenapa? Apa pertanyaan Bunga sesusah itu untuk Mas jawab?" Tanya gue membalas tatapan yang Mas Langit layangkan.

"Kamu salah paham, Mas bisa jelasin semuanya." Mas Langit mengusap pipi gue.

"Sekali bohong tetap bohong Mas!" Gue nepis tangan Mas Langit yang ngusap wajah gue barusan.

"Apa Mas pikir karena Bunga masih anak kecil jadi Bunga nggak bakalan tahu kalau Mas bohong? Mas itu__"

"Mas nemuin Bunda." Hah! Nemuin Bunda? Untuk apa?

"Masih mau bohong sama Bunga lagi? Apa Mas pikir Bunga bakalan percaya gitu aja? Nggak akan." Mas Langit menangkup kedua pipi gue dan menatap gue dengan tatapan teduhnya.

"Mas nemuin Bunda selepas pulang kerja, kalau kamu nggak percaya, kamu bisa tanya langsung sama Bunda sendiri."

"Oke katakanlah yang Mas omongin itu bener tapi kenapa Mas malah bohong dengan bilang lembur sama Bunga? Kenapa nggak jujur aja bilang kalau Mas nemuin Bunda?" Lagian kalau Mas Langit jujur bilang mau nemuin Bunda gue juga nggak bakalan marah.

"Mas nggak bohong Bunga, Mas memang lembur tapi diluar kantor."

"Maksud Mas apaan sih?"

"Bunda menghubungi Mas katanya butuh bantuan dan ini masalah kantor, tahu Bunda minta bantuan Mas pikir ini adalah kesempatan bagus untuk ngambil hati Bunda tapi_

"Tapi?"

"Tapi disana Bunda malah mengenalkan Mas seorang perempuan dengan harapan Mas akan melepaskan kamu!"

Ketika Langit Mencintai Bunga (END)Where stories live. Discover now