(15)

4.7K 456 36
                                    

"Gue kirain lo selingkuh dari Mas Langit!" Celutuk Dinda yang membuat gue menatap Dinda nggak percaya, apa ini beneran sahabat gue?

"Din, mulut lo bisa dijaga dikit nggak? Apa lo beneran mau berantem sama gue cuma karena laki-laki kaya gini? Diluar sana laki-laki bejibun tapi kenapa lo malah mau suami gue?" Tanya gue mengecilkan nada bucara gue tepat dikata suami.

"Lo juga sama Nga, gue nggak punya niat berantem sama lo apalagi cuma karena pekara laki-laki kaya gini tapi dari sekian banyak laki-laki lain diluar sana, kenapa lo malah nikah sama laki-laki yang gue suka?" Balas Dinda menatap tegas gue sekarang.

"Kalau lo memang sebegitu sukanya sama Mas Langit, kenapa lo nggak ngomong sebelum akad nikah gue? Lo ada disana, lo bisa jujur sama gue, lo bisa ngomong lebih awal Din, sekarang apa gunanya lo berdebat pakai emosi sama gue kalau kenyataan beneran udah nggak bisa diubah?"

Kalau memang Dinda sesuka itu sama Mas Langit, kalau memang Dinda secinta itu? Kenapa di nggak mengakui perasaanya ke Mas Langit sebelum Mas Langit setuju menikahi gue? Andai kata Dinda jujur mungkin Mas Langit bisa mikir ulang, mau menerima tawaran Bang Jian menikahi gue atau menerima perasaan Dinda yang memang keliatan tulus?

"Bisa Nga, kenyataan memang udah begini tapi masa depan bisa lo ubah, kalau lo memang menganggap gue sahabat, lo bisa berbuat sesuatu, cerai sama Mas Langit." Gue tersenyum miris dengan ucapan Dinda, apa Dinda pikir gue sama Mas Langit nggak punya perasaan?

"Cerai? Gue nggak punya kemampuan untuk itu, gue istri Din, kalau lo mau gue sama Mas Langit pisah harusnya lo minta kaya gini ke Mas Langit bukan malah main sindir-sindiran begini sama gue? Lo kaya anak kecil tahu nggak?"

Dinda nanya pekara aneh, dia nanya apa gue menganggap dia sebagai seorang sahabat sekarang tapi gimana sama dia sendiri? Apa dia menganggap gue sahabatnya? Sahabat mana yang mau ngancurin rumah tangga sahabatnya sendiri? Bahkan nyuruh sahabatnya cerai setelah menikah hitungan hati, itu gila.

"Din, mau gue jelasin segimanapun lo nggak bakalan paham juga, orang jatuh cinta mah buta, otaknya jadi geser, gue bikin simpel." Gue narik nafas dalam sekarang.

"Kalau lo mau Mas Langit ninggalin gue, kenapa nggak lo suruh aja sama orangnya langsung? Kalau memang Mas Langit setuju oke, gue ikhlas tapi ingat, kalau Mas Langit tetap milih gue, lo juga harus terima kenyataan, gimana?" Gue udah nggak punya penyelesaian lain.

Pulang cerita ke Mas Langit aja deh, dia mau sama gue atau sama Dinda? Atau nggak mau sama dua-duanya juga terserah, karena gue menganggap Dinda penting makanya gue ngomong kaya gini, gue masih bisa ikhlas sebelum gue sama Mas Langit melangkah terlalu jauh, sebelum gue terlanjur cinta, gue cuma takut kalau masalah kaya gini gue biarin terlalu lama, yang ada gue yang sakit hati.

"Nga, lo ngomong apaan sih? Mas Langit itu suami lo, dia milik lo jadi ngapain lo dengerin Si Dinda?" Ama yang dari tadi nahan emosi untuk nggak ikut campur pada akhirnya menyerah juga, wajar sih, gue aja emosi.

"Udahlah Ma, gue males berdebat, masalah gue udah banyak, nggak cuma ngurusin temen makan temen doang." Gue mengeluarkan buku bacaan gue dan mengabaikan tatapan Dinda, gue pikir apapun yang gue omongin Dinda nggak akan menyerah yaudah lebih baik tanya sama yang bersangkutan langsung, coba tanya Mas Langit, dia suka atau enggak sama Dinda?

"Cukup tahu aja gue sama lo, Din. Teman yang nikam temannya sendiri nggak pernah pantes dijadiin sahabat, hari ini lo nggak cuma nyakitin Bunga tapi lo juga kehilangan kepercayaan gue." Jelas Ama ke Dinda yang masih bisa gue dengar, Ama yang awalnya duduk bareng Dinda minta tukaran kursi ke Diah yang memang kebetulan duduk disebelah gue.

"Lo sabar banget ngadepin Dinda? Kalau gue jadi lo, udah gue kacangin tu anak." Ucap Ama nepuk pelan bahu gue.

"Diantara kita bertiga, Dinda yang paling muda dan lo sendiri jelas tahu gimana sifat Dindakan Ma? Sebelum dia nyoba, Dinda nggak akan pernah mundur, yang gue sesali dari Dinda cuma satu, kenapa dia baru ngaku suka sama Mas Langit sekarang? Nambah masalah gue tahu nggak? Belum lagi gue ngurusin Bunda, makanya gue nggak mau memperpanjang perdebatan gue, lo juga lakuin hal yang sama, gimanapun Dinda sahabat kita." Huh balas gue narik nafas pasrah.

Hari ini aja gue berangkat ke sekolah nggak pamitan, gue main nyelonong pergi gitu aja nah gue mau ngadepin Mas Langit gimana tar? Muka gue mau gue taruh dimana? Diumpetin di dalam helm? Iya kalau Mas Langit jemput.

"Terus itu tadi kenapa bukan Mas Langit yang nganterin? Lo semalam ngasih tahu gue kalau lo udah pindah ikut Mas Langitkan?" Tanya Ama lagi.

"Gue udah pindah ikut Mas Langit setelah berantem sama Bunda dan tadi pagi parahnya lagi gue malah berantem sama Bang Jian, setelahnya gue pergi gitu aja dari rumah tanpa pamitan sama Mas Langit, eh sampai di sekolah malah Dinda yang ngasih masalah, gue nggak tahu lagi mau kabur kemana, segala suduh kehidupan gue berantakan untuk saat ini Ma." Cerita gue.

"Ya Allah, Nga! Lo harusnya ngomong sama Mas Langit dulu, ridho suami penting, tar kalau lo kualat gimana? Gue yang susah." Ama udah pasang muka memelas.

"Otak lo juga geser deh kayanya, jangan ngedoain gue hal aneh-aneh." Dan pelajarannya dimulai.

Selama pelajaran berlangsung, itu penjelasan guru masuk lewat kuping kanan, nongkrong bentar di otak terus keluar lagi lewat kuping kiri, intinya nggak ada yang nyangkut sama sekali, kosong semua.

"Permisi Bu, ada yang namanya Bunga disini?" Tanya murid yang kayanya piket jaga tamu hari ini.

"Ada, kenapa ya?" Jawab Bu Imah memperhatikan gue sekilas.

"Ada keluarganya yang nunggu didepan, kalau begitu saya permisi Bu." Hah keluarga gue? Siapa? Bang Jiankah? Atau Bunda? Tapi gue lagi berdebat sama mereka berdua.

"Silakan Bunga." Gue udah nyikut-nyikut lengan Ama begitu dipersilahkan keluar sama gurunya, apaan lagi sekarang ya Allah?

Gue melangkah cepat melewati koridor dan menemui orang yang katanya keluarga gue diruang tunggu, gue sampai disana dan kalian tahu siapa nyariin gue sampai ke sekolah? Mas Langit orangnya, untuk sesaat gue lupa kalau sekarang keluarga gue nggak cuma Bang Jian sama Bunda tapi ada nama Mas Langit juga.

"Kenapa Mas kesekolah?" Tanya gue gugub, jangan lupa sama sikap gue yang main pergi aja tadi pagi dari rumah.

"Apa pergi tanpa pamitan adalah sikap dewasa kamu?" Tanya Mas Langit bahkan terkesan cukup dingin.

"Mas ini sekolah, bisakan kita bahas masalah ini dirumah nanti? Nggak enak kalau berantem sekarang." Sekolah tempat belajar jadi masalah rumahtangga, tar aja di rumah dibahas lagi.

"Kalau kamu tahu ini harusnya dibicarakan dirumah, kenapa tadi kamu pergi gitu aja tadi? Apa kamu tahu Nenek sama Mas khawatir? Nenek bahkan nggak bisa tenang sebelum Mas memastikan keadaan kamu baik-baik aja."

"Khawatir? Mas harus khawatir kenapa?" Mas langit nggak usah sok khawatir sama gue, kemarin aja di nggak peduli perasaan gue gimana setelah berantem sama Bunda begitu nah sekarang Mas Langit khawatir kenapa?

"Kenapa? Karena kamu tanggung jawab Mas sekarang!" Gue memberanikan diri menatap Mas Langit setelah ucapannya barusan.

"Apa tanggung jawab yang Mas maksud cuma dengan ngajak Bunga pindah? Perasaan Bunga gimana? Mas sama sekali nggak mau tahu." Ini yang gue rasain.

"Mas tahu dan karena Mas tahu perasaan kamu makanya Mas mengiakan semua keinginan kamu semalam, apa kamu pikir mudah untuk Mas membiarkan kamu tidur dengan air mata mengalir kaya gitu?"

Mas Langit tahu? Apa Mas Langit tahu kalau semalam gue nangis dalam diam cukup lama dibawah selimut gue? Untuk beberapa detik kemudian mata gue mulai berkaca-kaca, kalau Mas Langit tahu kenapa dia cuma diam dan nggak ngomong apapun? Itu namanya mengabaikan.

"Kalau Mas tahu kenapa Mas biarin gitu aja? Mas bisa ngelakuin sesuatu." Protes gue mulai menitikan air mata, gue menangis karena gue kesal sekarang.

Seumur hidup gue nggak pernah berantem sama Bunda kaya kemarin dan tadi pagi gue mengulanginya sama Bang Jian, gue tahu gue salah tapi bukan kaya gini yang gue mau, gue nggak pernah minta masalah kaya gini ada dalam hidup gue, gue nggak pernah mau.

"Kenapa Mas diem? Mas bisa aja ngelakuin sesuatu untuk ngebuat Bunga berhenti nangis kalau Mas mau, Mas bisa nenangin Bunga." Tanya gue kesal masih dengan isak tangis tertahan.

"Kamu mau Mas ngelakuin sesuatu? Apa kaya gini?" Mas Langit maju memeluk gue.

Ketika Langit Mencintai Bunga (END)Where stories live. Discover now