(30)

4.5K 479 64
                                    

"Bunda bener." Bener apa? Prosesnya terlalu cepat dan balik ke pengetahuan sederhana gue, di dunia ini nggak ada yang instan.

"Jadi maksudnya sekarang itu Mas punya rasa sama aku? Nggak akan semudah itu." Tanya gue balik, Mas Langit udah nyoba untuk ngomong serius yaudah gue juga bisa blak-blakan.

"Memang nggak mudah tapi Mas rasa itu nyata." Mas Langit bahkan menatap gue serius sekarang, memangnya bisa kaya gini?

"Nggak mungkin Mas, Mas nggak mungkin punya rasa ke aku, kita berdua itu nikah alasannya apa Mas tahu pasti, walaupun bukan perjodohan tapi tetap aja awalnya terpaksa, yang namanya paksaan nggak mungkin bisa punya rasa secepat itu." Balas gue masih nggak percaya.

Lagian gimana bisa Mas Langit punya rasa ke gue? Gue yang masih kaya anak kecil begini, dibandingkan seorang istri mungkin gue lebih pantas disebut seorang adik, gue cuma bisa nyusahin, gue bahkan nggak menjalankan tugas gue sebagai seorang istri sama sekali, gue jauh dari kata itu.

"Di dunia ini nggak ada yang nggak mungkin, Mas memang punya rasa ke kamu dan Mas berharap kalau perasaan Mas ini bisa segera berubah jadi cinta, Mas berusaha untuk itu." Mas Langit kenapa jadi serius banget?

"Tapi itu nggak masuk akal Mas, suka? Punya rasa? Cinta? Semuanya terlalu cepat." Gue tertawa miris sembari menatap Mas Langit belum percaya dengan ucapannya.

"Mungkin kita memang menikah karena terpaksa tapi itu sah Bunga, hidup bersama kamu membuat Mas merasa lebih bahagia, walaupun kamu terkesan pecicilan atau bahkan kekanak-kanakan tapi Mas merasa nyaman, apa ada yang nggak masuk akal dari semua itu?" Dan gue mengangguk pelan, banyak hal yang nggak masuk akal, atas dasar apa Mas Langit bisa yakin kalau dia punya rasa sama gue?

"Kamu juga ngerasain apa yang Mas rasa sekarang, jangan terlalu menutup diri cuma karena masa lalu, masa depan bisa berubah Bunga." Mas Langit bahkan meletakkan kedua tangannya di bahu gue sekarang.

"Mas tahu dari mana perasaan aku? Jangan asal nebak Mas dan jangan kegeeran Mas." Yang bilang gue punya rasa yang sama siapa? Bunda? Kan udah gue bilang nggak mungkin.

"Kamu yakin nggak punya perasaan yang sama? Heum?" Ulang Mas Langit bahkan natap gue sampai sebegitunya sekarang.

"Bunga tetap nggak percaya Mas, gimana bisa kita yang nikah terpaksa, bisa punya rasa secepat itu sedangkan orang yang selama ini selalu Bunga suka aja malah tega ninggalin gitu aja?" Lirih gue berkaca-kaca, cinta terlalu cepat untuk gue.

Gue nggak mau percaya apapun ucapan Mas Langit kalau akhirnya Mas Langit juga bakalan nyakitin gue sama kaya Mas Bintang, pergi ninggalin gue gitu aja hanya karena kehadiran perempuan lain yang lebih segalanya dari gue, gue nggak mau sakit dengan alasan itu lagi.

"Jadi itu alasan kamu berdebat dengan perasaan kamu sendiri? Dengerin Mas Bunga, Mas bukan Bintang, Mas nggak akan ninggalin kamu." Dan Mas Bintang juga ngomong kaya gini sama gue.

"Mas Bintang juga ngomong gitu tapi nyatanya apa? Dia bohongkan? Dia ninggalin aku."

"Mas nggak akan ninggalin kamu." Mas Langit mengusap pipi gue dan memeluk gue menenangkan, gue ingin di lepas tapi dekapan Mas Langit jauh lebih kuat.

"Aku masih belum bisa Mas." Nggak mudah untuk gue percaya cinta lagi, apalagi dalam waktu sesingkat itu.

.

"Mas nggak ke kantor?" Tanya gue yang udah rapi dengan seragam.

"Ini hati sabtu sayang, kantor libur apa kamu lupa?" Sayang? Shuayang apaan?

"Hah! Mas sehat?" Ekspresi gue udah nggak karuan, gue kaget bukan karena baru inget ini hari sabtu tapi apa kuping gue nggak salah denger barusan? Sayang? Otak gue sedang mencerna.

"Mas nggak usah modus pakai manggil sayang begitu, beneran geli Mas, yang modelan begitu bukan style aku." Gue gue bergedik ngeri, kali ini bukan soal siapa yang ngomong tapi gue memang nggak suka panggilan begitu.

Ya walaupun gue masih SMA tapi tolong ya, yang gombal atau tipe-tipe ngardus gitu diharap menjauh, gue nggak suka, rada ngeri sama susah dicerna, "kau lah segalanya untukku!" Pret, hari ini putus besok palingan udah ganti sama yang baru.

"Sebenernya Mas juga rada geli sih tapi dipaksain, cuma takutnya ada yang ngomel bilang kalau Mas kurang perhatian, kurang ngasih kasih sayang." Mas Langit malah tertawa garing.

"Satu lagi Mas, hidup juga butuh kasih uang, uang jajan Bunga mana?" Gue mengulurkan tangan gue minta jajan, walaupun gue sama Mas Langit hidup sederhana tapi Mas Langit nggak pernah tersinggung kok kalau gue ngomong masalah uang kaya gitu, Mas Langit tahu kalau gue cuma becanda.

"Nah, itu untuk dua hari cukupkan?" Mas Langit ngasih selembar uang lima puluh ribu.

"Ini mah lebih, besokkan libur, ini hari terakhir ujiannya." Ini hari terakhir gue pakai seragam seharusnya.

"Yaudah sisanya buat beli kuota." Hah? Nggak salah?

"Mas sehatkan? Beli kuota segini mana cukup? Youtube semalaman juga tewas."

"Ribet amat hidup lu bocah, udah sarapan sana biar Mas anterin kesekolah." Gue dikatain bocah.

"Siap Abang!" Gue tersenyum girang dan melangkah turun kebawah lebih dulu, kalau Bunda sama Nenek aman kok, alhamdulillah Bunda udah sehatan terus kabar baiknya lagi Bunga juga mau bantuin ngurusin Nenek, katanya biar gue bisa lebih fokus ke ujian, baiknya Bunda gue memang begini.

"Udah?" Tanya Mas Langit yang udah siap untuk nganterin gue.

"Cepet amat Mas beberesnya? Baru juga sesendok Bunga makan, orang tua me_

"Abisin!" Potong Mas Langit nyendokin gue makan, ngajak berantem memang.

Ya beginilah kehidupan gue sama Mas Langit yang mulai kembali terasa normal, hanya status tetangga yang berubah menjadi pasangan hidup, perlakuan, sikap atau bahkan kebiasaan, gue nggak perlu nyembunyiin apapun sama Mas Langit.

Dulu, gue selalu inget sama ucapan Bang Jian kalau misalnya Mas Langit lagi dirumah, "Dek, jadi perempuan jangan pecicilan bisakan? Kamu nggak malu sama Langit?" Tanya Bang Jian yang gue balas dengan tawa nggak jelas.

"Yaelah Bang cuma Mas Langit doang, lagian ni mau Mas Langit tahu juga nggak akan ngaruh, kan Mas Langit nggak bakalan jadi pacar apalagi suami aku." Jawab gue waktu itu.

Tapi seiring berjalannya waktu, gue seperti termakan ucapan gue sendiri, kenyataannya malah begini, Mas Langit lah yang menjadi suami gue, memang masa depan nggak ada yang bisa nebak.

Begitupun pekara jodoh, belum tentu orang yang kita harapkan adalah yang terbaik untuk kita dan belum tentu orang yang kita anggap tidak penting, akan selalu menjadi orang asing dimasa depan kita nantinya, gue belajar satu hal itu.

Jadi ni saran gue buat lo pada yang belum nikah atau dalam tahap sedang dipaksakan untuk menyegerakan pernikahan padahal calonnya aja belum ada maka berbahagialah, itu artinya lo semua punya waktu lebih banyak untuk berbenah diri.

Gue bikin simple, lo nggak perlu takut kalau hanya pekara jodoh, kenapa? Karena pemilik tulang rusuk nggak bakalan tertukar, kalau udah jodoh pasti ada jalan, perbaiki diri dalam menanti karena ingat, jodoh itu cerminan diri.

Jangan sampai lo semua kaya gue, terlalu mendambakan yang sempurna sampai akhirnya gue kecewa, gue sampai lupa kalau di dunia ini nggak ada yang sempurna, lo sempurna kalau berdua dengan orang yang tepat.

"Jangan ngelamun, inget ujian." Ingat Mas Langit mengusap kepala gue.

"Heummm, Mas juga jangan lupa kalau Mas punya aku sekarang." Jawab gue santai.

"Kamu juga punya Mas." Heh?

Ketika Langit Mencintai Bunga (END)Where stories live. Discover now