Melihatnya gelisah, aku menunduk untuk menyamakan tinggiku dengannya.

"Kenapa?"

"Rianka nggak bisa tidur, Om," ujarnya meragu.

Aku masih menatapnya yang sesekali melirik ke arah dalam kamarku. "Kenapa nggak bisa tidur?"

"Petir, Rianka nggak suka petir." Dia menarik napas panjang, wajahnya terlihat takut ketika suara gemuruh petir terdengar di atas atap. "Biasanya kalau hujan seperti ini, ibu dan ayahtidur di kamar Rianka terus peluk Rianka dari kanan dan kiri." Pernyataannya membuatku tertohok, ibu dan ayah ya...

Aku berhasil menutupinya dengan senyum yang masih bertengger di mukaku.

"Bude nggak ada, Rianka bener-bener takut dan nggak bisa tidur."

Seolah paham maksud Rianka, aku tetap memasang senyum menenangkan. "Rianka mau Om temani?" Jujur kalimat ini begitu canggung saat kukatakan, tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak punya pilihan.

"Nggak ngerepotin? Om..."

Aku tersenyum tipis, "Nggak kok."

Rianka menganggukan kepala, sekilas aku dapat melihat dia ikut tersenyum sambil masuk ke kamarku.

Berhubung tempat tidurku lumayan tinggi untuk tubuhnya yang masih kecil, aku membantu gadis delapan tahun itu untuk naik. Kemudian, aku berbaring di sebelahnya... sekian tahun, baru kali ini aku merasa sangat aneh, tidur dengan gadis kecil—yang bertahun-tahun tidak mengetahui bahwa aku adalah ayah kandungnya.

Aku diam sambil menatap langit-langit kamar, bunyi hujan satu-satunya yang menjadi pemecah kesunyian di antara kami. Rianka, anakku itu, sudah berbaring di sebelahku.

Aku menegok, dia sedang merapatkan pelukannya pada boneka.

"Rianka." Kemudian, aku memiringkan tubuh, tanganku menumpu kepala. "Selama ini ibu dan ayah pernah cerita sesuatu nggak yang bikin Rianka bingung?"

Dia menoleh, sorot matanya kelihatan bingung.

"Maksud Om?"

"Ehm..." bilang bego, kalau lo adalah ayahnya, semua sudah di ujung lidah, tapi yang kurasakan hanyalah kelu. Aku tidak tahu harus mengatakan apa.

"Ibu dan ayah sibuk dengan dua adik Rianka," tuturnya pelan. "Pas Rianka bilang kalau setiap hujan ibu dan ayah peluk Rianka, sebenarnya itu dulu banget... Kalau hujan seperti ini, Rianka biasanya ditemani oleh bude."

Kalimatnya membuatku membisu.

Rianka mengawang, kemudian ia bercerita. "Waktu itu, ibu pernah kegugutan. kata ayah."

"Ibu kamu pernah keguguran?" Aku kaget, tidak tahu bahwa Kania menyembunyikan ini dariku.

Rianka mengangguk. "Ayah bilang, itu kesalahan Rianka karena saat itu ibu keguguran karena datang di lomba karate Rianka."

Napasku menderu berat, mataku menatap Rianka yang bercerita tanpa ekspresi. Untuk bocah berusia delapan tahun, aku tidak mengira bahwa Rianka—anak semata wayangku harus menghadapi semua ini. Sialnya, mungkin karena terbawa suasana, air mataku menetes.

"Rianka sekarang masih bingung, kenapa Rianka di sini?" Tanya Rianka, "Kenapa Rianka tinggal sama Om, pad— loh, Om kenapa nangis?" Dia ternyata sudah menoleh ke arahku, aku tertangkap menangis di sebelahnya. Dia menggeser posisinya untuk mendekat ke arahku. "Om kenapa?"

Segera, aku menggeleng.

"Maafin Rianka ya Om, kalau Rianka nyusahin Om selama tinggal di sini."

"Kamu nggak ngerepotin Om, kok," sahutku segera.

Dia diam, menarik napas dan masih setia menatapku. "Pas di mobil mau ke sini ibu bilang satu hal ke Rianka yang sampai sekarang nggak Rianka pahami."

Pull StringWhere stories live. Discover now