Dan kali ini aku kehabisan kata-kata, jujur kalau ini berkaitan dengan mama. Aku masih sangat takut untuk merusak keadaan. Mama, kondisi mama, bukan hal yang mudah untuk di hadapain.

"Laras dan keluarganya? Menurut kamu gimana perasaan keluarga dia?" Bima menimpal.

Telak. Aku kehabisan kata-kata.

-Pull String-

Setelah pembicaraan alot itu, Bang Bima dan Bang Yudis yang datang jauh-jauh dari luar kota untuk menemuiku akhirnya harus kembali. Semua ini memang baru diketahui oleh dua abangku saja, belum sampai ke telinga Mbak Gayatri dan mama di Semarang.

Selepas isya, aku pergi ke rumah Laras. Hal pertama yang harus aku selesaikan adalah dengan keluarga Laras.

Tapi sudah hampir satu jam pengakuan itu belum keluar dari bibirku, semua mendadak semu ketika ayah dan bundanya begitu baik menjamuku dengan makan malam. Mereka bahkan tidak segan menceritakan aktivitas yang mereka lakukan berdua, ya di rumah hanya ada mereka. Laras sedang berada di luar kota—bunda bilang bahwa Laras kembali naik gunung, sedangkan Mas Gatra mengurusi bisnis di Singapura. Mereka berdua sibuk.

"Bingung banget, Laras tuh paling jarang sebenarnya cuti keluar kota naik gunung selama ini. Ini udah hampir dua minggu loh," ujar bunda.

Aku yang sedang menyesap teh melati menjadi agak tersendat akibat penuturan itu.

Bunda menghela napas, "Mana jauh pula gunungnya di Sulawesi Selatan," ungkap bunda. "Katanya sekalian mau eksplore wisata di sana."

Ayah terkekeh, "Biarin lah Bun, hitung-hitung petualangan sebelum lepas lajang. Bukan begitu Wir?"

Aku menyengir tipis, dadaku berdebar saat kalimat itu dituturkan. Rasanya sangat sakit ketika aku berhasil menghancurkan mimpi ibu dan ayah ini. Aku bahkan berusaha menatap ke arah lain, menyiapkan diri untuk segera bicara.

"Wira ke sini pasti karena udah kangen banget ya sama Laras?" ledek Bunda. "Padahal kan bisa besok. Laras masih cuti kok besok, jadi setelah pulang malam ini, besok istirahat dulu."

"Dia pulang malam ini?"

"Loh, Wira nggak tahu?" Bunda kebingungan.

"Bunda malam mikir tujuan Wira ke sini pasti karena Laras bilang nggak usah jemput di bandara. Dia kan udahlanding dari semenjak Wira datang."  Ucapan bunda berhasil menahan napasku, semua makin tertahan ketika suara teriakan riang terdengar dari pintu masuk bersamaan dengan geretan koper yang jelas pasti miliki Laras.

Tuhan ternyata maha sempurna dalam meramu kejadian.

Gerakan Laras yang tadi riang menghampiri kedua orang tuanya menjadi terpaku saat matanya menatap mataku. Aku tidak paham apa yang berada di dalam sorot pandangan itu, hancur? Kecewa? Marah, mungkin? Yang aku tahu... selama hampir dua menit, kami berdiam dengan pandangan yang tertuju satu sama lain.

"Duh udah dong tatap-tatapannya." Bunda menyeletuk.

Laras yang berhasil mengerjap duluan, ia bahkan menarik napas berulang kali untuk bersikap biasa sembari mencium tangan kedua orang tuanya. Penampilannya malam ini terlihat begitu tomboy, berbeda dengan dia yang biasanya. Ripped jeans—kalau aku tidak salah, jaket kulit berwarna maroon, dan rambut dikepang menjadi satu, warna kulitnya juga menjadi lebih tan dari biasanya. Tapi dia tetap Laras yang cantik bagiku.

"Laras ke atas dulu, Yah, Bun," katanya, tanpa sekalipun melirikku. Seharusnya aku biasa saja, hal seperti ini mutlak terjadi, mengingat apa yang sudah aku lakukan kepadanya.

Laras berlalu sambil mengangkat career di punggungnya dan koper di tangan kirinya. Dia sempat memberikan kantung kepada asisten rumah tangga yang membantunya, dia bilang bahwa itu oleh-oleh khas Sulawesi Selatan, ada kopi Toraja,  Dangke, Baje, Barongko, itu aku tahu dari celotehnya.

Saat Laras mulai menapaki tangga, aku menarik napas dalam.

"Ayah... Bunda, ada yang ingin Wira bilang," ujarku serius.

Entah mengapa aku melirik Laras, langkahnya yang tadi terlihat ingin cepat-cepat ke atas menjadi berhenti.

"Wira...." Ucapanku mengantuk ketika suara Laras terdengar memanggil namaku, dia menoleh kepadaku. Melempar tatapan lurus, aku berusaha mengartikan ucapan itu. Dan pada akhirnya, Laras turun dari tangga setelah menyuruh asisten untuk membawa semua barangnya ke atas. Dia menuju ke arahku dan dengan segera menarik tanganku untuk berdiri.

"Ayah... Bunda, Laras keluar dulu sama Wira."

-Pull String-

"Lo gila!" sentak Laras setelah kami berada di perkarangan depan rumah.

"Cepat atau lambat, keluarga lo harus tahu," balasku tenang.

"Tahu apa? Tahu kalau calon suami gue punya anak gitu?" Laras menjawab dengan napas tersengal. "Itu yang mau lo bilang tadi?"

Aku terpaku, Laras memang sering marah itu sudah biasa bagiku, tapi kali ini dia terlihat begitu frustrasi, hingga emosinya terlihat menguap, tergantikan dengan lelah yang begitu ketara.

Laras berjalan mundur, memutar, dan berusaha menenangkan dirinya sendiri.

Punggungnya terlihat di pandanganku, beberapa kali bahunya narik turun, ia seperti sedang menarik napas sedalam mungkin.  Sepuluh menit yang kami lakukan hanyalah saling menenangkan diri. Seolah waktu yang kami ambil selama berminggu-minggu belumlah cukup.

Tak lama, Laras berbalik, ia menunduk, menolak untuk menatap mataku.

"Gue belum siap."

"Tapi keluarga lo harus tahu, Ras. Gue bakal ambil segala resikonya."

"Dan lo pikir semua ini hanya akan lo tanggung sendirian?" balasnya, dia berhasil tenang meskipun aku melihat emosi mengepul di atas kepalanya.

Apa yang ingin aku katakan menguap, mataku menunduk, tanpa sengaja melihat cincin yang kuberikan waktu itu masih berkilat indah di jari manisnya. Tahu dengan apa yang kulihat, Laras segera mengepal tangannya, berusaha menutupi itu semua.

"Gue butuh waktu," ujar Laras setelah kami kembali diam. "Sampai gue siap, silakan untuk kasih tahu semua ini ke keluarga gue."

Aku mengangguk, menyetujui permintaannya.

Kemudian, Laras mendongak, sempat aku melihatnya menarik napas. Senyum tipisnya terukir, yang aku tahu bahwa sebenarnya ia tidak baik-baik saja.

Dia bersiap untuk melangkah pergi.

Tanganku menggengam sebelah tangannya, menahannya untuk pergi.

"Maafin gue, Ras," kataku langsung.

Laras tidak menjawab, ia hanya melepaskan tautan itu, seraya berangsur pergi meninggalkanku yang terpaku menatap punggungnya yang semakin menjauh.

Jauh... semakin jauh, dan kemudian tidak lagi terlihat. Tidak lagi tergapai. Atau juga mungkin, tidak lagi kembali.

Aku terdiam selama hampir lima belas menit setelah Laras pergi. Tidak bergerak, tidak kemana-mana, hanya diam di tempat, sembari menatap ke arah pintu tempat dia pergi.

Mengapa kita pernah ada,

Jika pada akhirnya, kita tak pernah menjadi siapa-siapa.

Bersambung

1.     Apa perasaan kalian setelah membaca cerita ini?

2.     Jiah, menurut kamu akankah Laras berbaik hati nerima Wira atau nggak?

3.     Kalau kamu jadi Laras, kamu pilih mana? Meninggalkan atau memaafkan?

4.     Besok update gimana?

5.     Bab 4, YAY OR NAY?

Salam, Waras aja ah—kangen couple ini L Sedih muluh ah!

Pull StringWhere stories live. Discover now