the beginning of Raanan...

Mulai dari awal
                                    

“Kamu kelas berapa?”

“Tiga. Kamu?”

“Kelas satu.”

Iris jelaganya membulat. Bocah di hadapannya ini bertubuh bongsor! Tingginya bahkan satu setengah dari Raanan, bobotnya juga mungkin dua kali lipat darinya. Dan, apa katanya? Baru kelas satu?!

Tak sampai situ, Raanan terkejut saat bahunya didorong pelan oleh Bram.

“Kamu pendek banget. Kecil lagi, kayak nggak pernah dikasih makan!”

Dan tambah membulatlah iris jelaga dan bibir tipisnya.

Baik Papa dan Mama Raanan juga nampak begitu terkejut. Sedangkan rekan Papa Raanan kelabakan, meminta maaf berkali-kali atas nama keluarga dan berakhir menyeret paksa anaknya.

Terkejut, memang. Tapi Raanan sudah beberapa kali mendengar penuturan tersebut. Di kelas saja dirinya yang paling kecil. Tak jarang dirinya diejek kerdil di kelas. Tapi Raanan nggak ambil hati, toh memang dirinya lebih kecil dibanding yang lain.

“Ayo pulang,” desis Mama menyambar kasar lengan Raanan, membawanya melewati lautan manusia yang tengah berlomba-lomba memamerkan diri berkedok pertemuan bisnis. Walau bingung, Raanan tetap mengikuti meski tak jarang dirinya hampir tersungkur guna menyesuaikan langkah Mama yang terkesan terburu-buru.












































“Jangan lupa minum susu dan vitamin yang baru mama beli.”

“Iya....”

“Habis itu belajar sampai jam sepuluh terus tidur. Mulai besok kamu harus les berenang dan rutin minum vitamin yang mama beli tadi.”

“Tapi Mah, Raanan kan nggak bisa berenang—“

“Belajar! Memangnya kamu nggak malu diejek sama anaknya rekan kerja papamu tadi?”

“K-kenapa harus malu, ma? Tubuh Raanan kan—“

“Harus malu! Nggak ada yang boleh melebihi kamu, mama, papa, keluarga kita. Dalam segala aspek apapun!” Jemari lentik berhiaskan cincin permata itu mencengkeram bahu sang anak, lembut. Tapi sarat akan menuntut. “Nggak ada yang boleh, Raanan.”

Sang bibir mungil meringis saat cengkeraman di bahunya kian mengerat. Menjerat.

“Ingat ucapan Mama.”

“I-iya—“

“LIHAT MAMA!”

Walau genangan air mata di pelupuk mengaburkan pandangan, tapi Raanan dapat menangkap sorot tajam pada sepasang manik tersayangnya. Kelopaknya refleks menutup saat bibir berpoles gincu merah itu mendekat, mendesis penuh penekanan tepat di telinganya,

Don't let other people, even one person surpasses you.

Hingga detik berikutnya, air mata yang sempat tertahan berakhir rebas bebas meluncur menghiasi pipi putih gembilnya.

“—or you will leave this house, this family. Forever.”

Ah, apa lagi ini?

Apakah ini pengusiran halus?

Tidak cukupkah mereka dengan tuntutannya berupa Raanan harus selalu mendapatkan nilai sempurna pada setiap mata pelajaran?

Raanan kan anak mereka. Mengapa bisa sebegini jahatnya?

“Kamu paham kan, Raanan?” Air mata kian menderas saat pipi itu dihimpit kencang oleh jemari lentik halus Mama.

Raanan mengangguk cepat. “P-Paham, Ma....”

youth | nct dream ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang