2. Kali Kedua

134 39 21
                                    

"Hadirnya kamu membuat udara seakan kehilangan oksigennya."

***

Buku menjelma jadi piring terbang, tip-x terlempar-lempar dan kegaduhan seramai pasar adalah pemandangan yang Arcelia temukan pagi ini ketika telapaknya menjejak ubin kelas.

Arcelia hanya berdecak singkat, meletakkan tasnya ke sandaran kursi. Ia tidak perlu melakukan hal yang dilakukan teman-temannya itu, semua PR telah selesai dan murid teladan seperti Arcelia sepertinya tidak pernah mengerjakan PR di sekolah.

"Arr!"

Arcelia melirik kepada sang pemilik suara. Ia memajukan bibir bawahnya. Membaca senyum teman sebangkunya sebagai gelagat yang sudah khatam untuk dikenali.

"Ar, lo baik banget deh Ar,"

Arcelia memutar matanya malas, "Mukadimmah lo kepanjangan,"

Felis. Gadis itu adalah teman sebangku paling sabar, pelupa, kadang baperan dan suka teriak kalau nonton opa-opa. Simpelnya, apa yang Felis suka hampir 99,999% adalah yang Arcelia tidak suka.

Felis memamerkan deretan giginya, "Lo tau banget."

Arcelia menarik tas, merogoh buku-bukunya. Alisnya hampir bertaut bingung kala tidak mendapati apa yang ia cari, "Kok nggak ada sih?"

"Canda mulu sih lo, akting lo tuh nggak bagus."

Bibir Arcelia tercebik, mengeluarkan seluruh buku dari dalam tas, "Beneran nggak ada bukunya woi."

Felis ikut memeriksa. Mengangkat sebuah buku yang diambilnya dengan mengernyit, "Gita Nandani, 12 IPS 3, Geografi." Diktenya dengan sepasang mata penuh tanya. "Lo ngapain nyimpen bukunya si curut?"

Mendengar itu, Arcelia menepuk kening spontan bersamaan dengan pupil melebar. "Lah bego! Buku gue ketuker!" cewek itu lantas merebut buku catatan Geografi dari Felis.

Beritahu apa hubungan Fisika dan Geografi sampai bukunya bisa tertukar?

Karena otak Felis belum genap mencerna hal itu ketika Arcelia menelepon Gita. Hanya deringan aplikasi yang bisa didengarnya, membuat Arcelia memutus panggilan lalu membuka chat.

Sedetik kemudian Arcelia lantas menggeser layar ponsel lalu menempelkannya di telinga.

"Nelpon siapa sih? Kenapa baru diangkat?"

"Gue nelpon lo tadi,"

"Lah kan gue yang nelpon lo,"

"Ya mangkanya nggak bisa nyambung,"

"Lo juga ngapain nelpon gue?"

Arcelia menarik nafasnya gerah, mengakhiri ocehan tidak penting itu, "Buku gue di lo kan?"

"Salah lo sih!"

"Di lo kan tapi?"

Gita diam beberapa detik,

"Git!"

"Ehh, itu... itu..."

"Ar! Lo dicariin tuh!"

Arcelia melirik pada sumber teriakan, "Siapa?"

Bagas, si ketua kelas mengangkat bahu, "Liat aja."

Arcelia menghela nafasnya kasar, memutus panggilan. Ia menarik tangan Felis agar mengikutinya.

"Lo mau ke IPS cel? Serius?" Felis melirik jam tangannya, "Tiga menit lagi masuk, emang keburu?"

Arcelia memilih diam, tidak sempat menjawab cewek itu.

"Lo yang namanya Arcelia?"

Pertanyaan dengan suara familiar itu menghentikan Arcelia tepat di depan pintu kelas. Membuat Felis mengaduh karena tubuhnya terantuk daun pintu, "Bilang dong kalo mau berenti!" Katanya tidak terima.

Tapi Arcelia tidak sama sekal sempat menjawabnya. Atensi sepasang mata almondnya secara penuh terpusat pada cowok dengan dua kancing baju teratas terbuka, tidak ada dasi terpasang, dan tanpa nametag yang bisa membuat Arcelia mengenalinya. Melihat cowok itu, Felis seketika membulatkan mata dan menghentikan aksi protesnya.

"Nama lo Arcelia bukan?"

Ya! Benar jika kalian menebak cowok itu adalah manusia yang mendapat julukan si songong dari Arcelia.

Arcelia menelan saliva, berusaha bersikap pura-pura lupa demi mencegah emosinya menampakkan diri.

"Iya." Sahutnya datar.

Begitu mendengar jawaban Arcelia, cowok itu mengangkat buku bersampul cokelat yang disimpannya di tangan. Secara fisik, sangat mirip dengan buku Gita yang sedang Arcelia pegang.

Itu buku PR Fisikanya!

"Nih."

Raut sangsi adalah apa yang Arcelia tampakkan ketika tangannya meraih buku itu. Namun dalam sejurus, bibirnya terbuka untuk mengucapkan terima kasih setelah membaca nama yang tertera disana.

Tapi Arcelia kalah cepat. Lelaki itu lebih dulu mengeluarkan perkataan yang membuat Arcelia mengatupkan bibir rapat-rapat.

"Ternyata lo emang nggak punya sense of belonging,"

Kalimat super santai itu sukes menyedot oksigen Arcelia.

Alis kiri Arcelia yang terangkat dibalas cowok itu dengan sudut bibir naik sebelah. Tidak sulit bagi Arcelia untuk mengartikan apa maksudnya. Mimik itu persis sama dengan yang Arcelia lihat tempo hari.

"Jalan tuh pake kaki, kalo baca baru pake mata."

"Jalan tuh pake mata, ya. Bukan pake dengkul!"

"Gue jalan pake kaki. Bukan pake mata."

Ada banyak kedongkolan yang mesti Arcelia keluarkan saat ini. Tapi bersyukurnya, ia terlalu bijak untuk menyembunyikan itu semua melalui sebuah senyuman geram.

"Sini bukunya Gita."

Ekspresi skeptis yang ditujukan Arcelia membuat cowok itu berdecak. Hal sekecil itu saja bahkan minta dijelaskan, "Kasihan Gita. Dia juga mau belajar."

Bel pertanda masuk andil bagian pagi itu. Secara setengah hati dan pandangan sangsi, akhirnya diserahkanlah buku Gita padanya. Berharap saja jika cowok ini sedang konslet, agar buku itu sampai pada pemiliknya.

"Thanks," ucap Arcelia pelan setelah memutuskan akan mengatakan itu atau tidak untuk yang kesekian kali.

Hal kecil yang cukup untuk membuat cowok itu terdiam sebentar sebelum berbalik arah.

★★★

EPIPHANYWhere stories live. Discover now