17.1

30 6 0
                                    

Akhirnya, Lorna terbangun dari tidurnya pascaoperasi. Hari sudah berganti, tapi Jovan masih tetap berada di samping Lorna. Setelah melihat Lorna membukakan matanya, Jovan langsung mencium kening Lorna. Ia sangat bersyukur Lorna bisa selamat.

"Vann.. sudah berapa lama aku di sini?" Tanya Lorna.

Jovan mengehela napas. "Kamu tertidur seharian setelah operasi. Itu karena pengaruh bius mu," jawab Jovan.

"Bagaimana dengan kopernya? Kak Coby atau Pandhit sudah memberitakannya?" Tanya Lorna lagi.

"Hon.. Jangan pikirkan itu dulu. Pikirkan kondisi mu!" Omel Jovan. Jovan mengeluarkan sebuah peluru dari kantongnya. "Kata dokter, sekitar 1 sampai 2 senti lagi peluru ini akan melukai paru-paru mu. Untung saja itu tidak terjadi," kata Jovan.

"Tapi sekarang aku baik-baik saja, kan?" Lorna bangkit dari tidurnya secara perlahan. Jovan melihatnya saja sudah kesal. Wanitanya begitu keras kepala. "Kamu tidak perlu khawatir. Aku tahu kondisi diri aku sendiri," tambah Lorna.

"Terserah kamu. Jadi malas aku merawat kamu," ucap Jovan yang langsung ingin pergi dari kamar ini dan memberi tahu dokter bahwa Lorna sudah siuman.

Lorna langsung menarik tangan Jovan untuk menahannya. "Aaah.." lirih Lorna kesakitan karena menggerakkan tangan kanannya. Ia lupa kalau lukanya belum sebuh betul. "Van, jangan pergi.."

"Kalau kamu mau aku tetap di sini. Maka istirahatlah. Jangan lakukan apapun," ucap Jovan.

Lorna menundukkan kepalanya. Meski tak melakukan apapun, otaknya akan terus berputar dan berpikir mengenai koper itu.

Seketika pintu rawat inap Lorna terbuka. Coby datang untuk menjenguk Lorna. "Lorna.. are you okay?" Tanya Coby.

"Masih sakit tapi bisa ditahan," ucap Lorna pelan.

Lorna ingin sekali menanyakan mengenai koper dan Pandhit pada Coby. Tapi, ia merasa tidak enak pada Jovan. Lorna melirik pada Jovan seperti meminta izin untuk membiarkan ia bekerja. Lorna mengedipkan matanya beberapa kali seolah ia berkata pada Jovan: aku harus bekerja. Kak Coby sudah ke sini, tidak mungkin kami tidak membahas pekerjaan.

Lagi-lagi Jovan menghembuskan napas. "Fine. Aku pergi keluar dulu agar kalian leluasa membicarakan kasus ini," ucap Jovan sambil mengambil jaket dan topinya.

Sebelum Jovan pergi, Jovan memperingatkan Coby. "Bro, dia belum sehat. Jangan lama-lama," kata Jovan.

"Tenang. Kami hanya ingin berdiskusi saja karena keputusan dan usul Lorna tetap diperlukan. Thank you, van.." balas Coby. Jovan membalasnya dengan anggukan.

______________

Jovan membiarkan mereka berdua di dalam karena ia yakin, Lorna tidak akan nyaman membahas pekerjaan jika ada dirinya. Jovan memutuskan untuk menuju ke ruang rawat inap Kalea, anaknya Paula. Kebetulan mereka berada di rumah sakit yang sama.

Jovan melihat Paula yang membereskan peralatan makan Kalea. "Hai, Kalea! Habis makan siang?" Sapa Jovan basa-basi.

Kalea hanya terdiam. Kalea tipe anak yang pemalu atau justru cenderung takut terhadap orang asing, apalagi laki-laki. Mengingat ia sering melihat ayahnya yang suka memukul ibunya.

Paula juga terdiam, tidak mengacuhkan Jovan mengingat percakapan terakhir mereka tak berlangsung baik. Sampai akhirnya Paula berhasil menidurkan Kalea.

"Kau mengabaikan ku?" Tanya Jovan.

"Aku dengar Lorna juga di rawat di sini," kata Paula yang mendapatkan kabar itu dari seluruh stasiun televisi, bahkan dari seluruh internet.

"Ya, Aku sedang merawatnya," jawab Jovan.

One Degree / 1°Where stories live. Discover now