2.1

54 6 1
                                    

Lorna memasuki kantor salah satu partai terbesar di Indonesia. Satu-satunya partai yang benar-benar menjunjung tinggi kepentingan rakyat, bahkan partainya pernah dibubarkan waktu zaman orde baru karena pernah menolak perintahan penguasa pada zaman itu, demi menyelamatkan hak rakyat.

Lorna menunjukkan kartu persnya pada resepsionis kantor itu. "Saya Lorna dari Suara Rakyat. Saya sudah berjanji untuk mewawancarai Bapak Jovan".

Ya. Jovan yang itu, yang kemarin. Ia telah menelusuri semua halaman di internet dan hasilnya adalah Jovan yang itu. Bahkan Lorna bertanya-tanya, apa yang bisa membuat pria itu menjadi salah satu kandidat calon presiden periode ini?!

"Beliau sudah menunggu anda di ruangannya. Mari saya antar," ucap wanita ini ramah.

Sepertinya wawancara kali ini akan sulit. Bukan sulit untuk mengorek informasi, tapi akan sulit karena membutuhkan kesabaran ekstra untuk menghadapi orang yang bernama Jovan ini. "Terima kasih sudah mengantar," ucap Lorna saat wanita itu telah mengantarkannya sampai ruangan Jovan.

Tepat setelah resepsionis itu pergi meninggalkan ruangan Jovan. Jovan mengembangkan senyumnya pada Lorna. "Aku tidak menyangka wartawan yang datang itu adalah kau".

Lorna menaikkan sebelah alisnya, "Aku kira kau sudah tahu. Boleh aku duduk?" Tanya Lorna basa-basi.

"Sure. Kau mau minum apa? Teh? Kopi?" Tanya Jovan.

Lorna duduk di sofa yang tersedia dan Jovan menghampirinya. "Iced tea, please.."

Jovan mengeluarkan gawainya dan mengirim pesan singkat ke sekretarisnya.

Secretary
Iced tea dan iced americano. Bawakan itu ke ruangan ku sekarang.
Sent.

Ketika Jovan sibuk mengetik, Lorna menyiapkan kamera dan tripod kameranya sehingga ia bisa merekam seluruh wawancara.

Jovan duduk tepat di depan Lorna. "Jadi.. Kau mau langsung saja wawancaranya atau... tunggu dulu!" Jovan menyadari ada kamera di sana. "Apa itu sedang merekam?"

"Tentu saja. Dokumentasi sangat diperlukan," jawab Lorna pura-pura tidak tahu.

Jovan berjalan mendekati kamera tersebut dan memberhentikan kameranya untuk merekam. Tak lupa menghapuskan rekamannya juga. "Aku rasa kau tidak tahu wartawan lain menjuluki ku apa," tatap Jovan pada Lorna.

Jujur Lorna masih kesal dengan Jovan karena kejadian kemarin. Sialnya, ia sekarang malah jadi narasumbernya. "Buaya darat?" Balas Lorna asal menjawab karena merasa kesal pada Jovan yang telah menghapus rekamannya. Padahal lumayan untuk gambar wawancara.

Jovan mendekati Lorna, kedua tangannya bertumpu pada sofa di kedua sisi tubuh Lorna. Lorna menyenderkan tubuhnya agar wajahnya menjauh dengan wajah Jovan. "Kau benar-benar asal bicara," ucap Jovan.

"Maksudnya seperti mu?" Tanya Lorna balik kepada Jovan. Jangan harap Lorna akan merasa getir dalam posisi seperti ini.

Jovan menarik napas sebentar, "Kamera phobia, itu julukan yang mereka buat. Sangat berlebihan," cibir Jovan. "Oke. Intinya, tak ada kamera saat melakukan wawancara dengan ku," kata Jovan tegas.

Lorna mulai memelas, "tidak kah ada pengecualian untuk ku?"

Jovan tampak berpikir sejenak sambil bergumam. Ia mendekatkan wajahnya kembali dengan wajah Lorna sehingga membuat Lorna terkejut dan kembali menyenderkan kepalanya di sofa. "Karena Kau pernah tidur dengan ku, ku izinkan!"

Mata Lorna membesar, "kita? Tidur bersama?" Tanya Lorna terkejut, sedikit.

"Kau melupakan malam kita?" Tanya Jovan bercanda. Seketika Jovan tertawa kecil sambil kembali duduk di sofa tempatnya berasal.

One Degree / 1°Where stories live. Discover now