6.1

26 5 2
                                    

Lorna terbangun dari tidurnya karena suara peralatan medis yang mengganggunya. Beberapa detik kemudian, ia tersadar ada sesuatu yang salah dengan Omanya. Lorna langsung bangkit dan menghampiri sang Oma.

"Oma!!!" Teriak Lorna ketika mengetahui Oma tak sadarkan diri. Dengan sigap Lorna memencet tombol darurat.

Tak lama seorang dokter dan dua orang suster datang dengan alat-alat medisnya. "Maaf, sebaiknya Anda menunggu di luar. Demi keselamatan pasien," kata suster tersebut.

Lorna pun langsung keluar ruangan dan segera menelpon Coby. Coby memang tak langsung mengangkatnya. Seteleh menelpon untuk ketiga kalinya, ia baru mengangkat panggilan tersebut. "Halo.." kata Coby dengan suara yang serak.

Coby mendengar suara isakan. "Kak, Oma kembali drop. Aku mohon segera ke sini," kata Lorna.

Setengah jam kemudian Coby tiba di rumah sakit. Coby melihat Lorna sedang menangis sambil menutup wajahnya. Coby menghampiri Lorna, ia mengusap punggung adiknya untuk menenangkan diri. "Bagaimana keadaan Oma?" Tanya Coby.

Lorna langsung menghapus air matanya dan mangatur napasnya. "Aku terbangun karena suara alat yang Oma pakai berbunyi. Setelahnya Aku tidak tahu lagi," jawab Lorna.

Tak lama dokter keluar dari ruang rawat. Raut wajah sang dokter tempak kecewa. "Maaf, nyawa pasien tidak dapat ditolong lagi.." ujarnya.

Lorna terkejutnya bukan main. Air matanya terus mengalir deras. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, tak percaya. Berharap bahwa semuanya hanyalah mimpi.

"Boleh saya melihat Oma, dok?" Tanya Coby yang berusaha tenang.

Dokter tentu mempersilahkannya. Lorna mengekori Coby dari belakang. Rasanya tidak sanggup melihat Oma yang sudah tidak bernapas, berkedip, dan bergerak. Belum sempat Coby membuka kain di seluruh tubuh Oma, Lorna malah kembali memundurkan langkahnya. Ia benar-benar tidak sanggup. Lorna memutuskan untuk pergi dari rumah sakit. Ia berlari setelah keluar dari ruang inap tersebut, tanpa Coby sadari.

Pikiran Lorna terlalu kosong untuk berpikir akan pergi ke mana. Ia terus berjalan begitu keluar dari rumah sakit. Seketika ia teringat Jovan. Setidaknya, ia harus menceritakan ini pada kekasihnya. Hasilnya hanya suara operator yang menjawab. Tentu saja, Jovan pasti sedang dalam perjalanan ke Jepang mengingat ini sudah jam 7 pagi.

Lorna kembali berjalan lunglai dengan segala pikiran yang ada di otaknya. Air mata terus mengalir deras. Meski tanpa isakan, orang yang berlalu-lalang akan tahu kalau ia sedang menangis.

Seketika ada yang menarik lengannya dan langsung membentaki dirinya. "Lorna! Apa yang kau lakukan?!" Bentak Adnan yang seketika berada dihadapan Lorna.

Awalnya kesal karena tiba-tiba Lorna menghilang begitu saja dari kantornya. Tapi kini Adnan malah menjadi iba melihat wajah Lorna yang dipenuhi dengan basah air mata. "Oma.." ucap Lorna pelan. "Oma sudah meninggal, nan.." lanjutnya. Kemudian air matanya semakin mengalir deras di pipinya.

Sontak Adnan langsung memeluk sahabatnya. Tak ada sepatah kata pun dari Adnan. Bisa dibilang, pertemuan mereka ini kebetulan semata. Ini adalah jalan yang biasa Adnan lalui untuk pergi ke kantor.

"Aku sudah tak memiliki siapa pun, Adnan.."

Adnan melepaskan pelukan mereka dan memegang kedua bahu Lorna. Adnan ingin menguatkan hati Lorna. "Sekarang bukan itu yang seharusnya kau pikirkan Lorna," ucap Adnan.

Lorna menatap wajah Adnan dengan tatapan hampa. "Lantas, apa? Tidak ada-"

"-kau harus berpikir dewasa! Aku rasa, Oma juga tidak mau melihat mu seperti ini! Oma mau untuk kau mengikhlaskannya dan bertindak layaknya orang dewasa!" Bentak Adnan sambil sedikit mengguncangkan tubuh Lorna. Tangis Lorna semakin deras, meski tanpa isakan tangis. "Kau harus menghadapinya. Ingat, Kau tak sendirian," tambah Adnan dengan lembut.

=====================

Pemakaman berlangsung begitu cepat. Kata-kata duka sudah jutaan kali didengar oleh Lorna tapi tak mampu mengobati rasa sedihnya.

"Lorna, ayo kita pulang! Kita harus bergantian, masih banyak yang mau mendoakan Oma, ya?" Ajak Coby untuk pulang ke rumahnya.

"Aku mau di sini dulu, kak.. Aku masih rindu sama Oma," tolak Lorna.

"Nanti kita ke sini lagi, bagaimana?" Coby sebenarnya sudah mengajak Lorna untuk pulang sedari tadi.

Lorna hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, menolak ajakan Coby.

"Apa perlu kakak bawa Kamu pulang dengan cara kakak? Hmm?" Ancam Coby.

"Kak... Ini bukan waktunya untuk kakak bertindak egois," tegur Lorna.

"Apakah kamu sedang membicarakan diri mu?" Balas Coby.

Lorna langsung berdiri dan berjalan sambil menghentakkan kakinya kesal. Belum sedihnya hilang, kini malah rasa kesal yang melanda. Saat sampai mobil Coby, Lorna sadar arahnya tak menuju ke rumahnya dan Omanya dulu. "Aku mau pulang ke rumah ku!"

"Rumah mu adalah kediaman Ambrose , Lorna.." ralat Coby.

"Ralat, sekarang adalah rumah mu. Iya, kan?"

"Aku membelinya lagi untuk mu, Lorna.." jawab Coby.

"Aku mau pulang ke rumah ku dan Oma!" Pekik Lorna.

"Kondisi dan emosi mu sedang tak stabil. Kakak tak mau terjadi hal buruk pada mu jika Kau sendirian," sebenarnya ucapan Coby ini sangat benar.

"Persetan! Kau bahkan bukan kakak kandung-"

"-jika Kau terus membangkang, kakak bisa pakai cara kakak untuk membuat mu menurut, Lorna.." Ancaman dari Coby lagi.

Sejak kapan pria ini suka mengancam dan bertindak seenaknya. "Aku membenci mu," kata Lorna pelan tapi masih bisa didengar Coby.

Ayolah, kalian tahu sifat Coby seperti apa. Ia akan memakai cara apapun agar semua berjalan sesuai dengan yang ia inginkan. Meskipun, niatnya sangat baik dan tak ada yang salah sebenarnya. Tapi caranya itu sangat ekstrim dan kebanyakan tak dapat diterima oleh Lorna.

Kini, Lorna hanya berbaring di kamar tidurnya dulu. Memang begitu banyak perubahan yang terjadi di rumah ini tapi tak masalah untuk Lorna. Lagi pula, ia tak berencana untuk tinggal di sini selamanya.

Lorna sudah berbaring sejak pagi tadi setelah pulang dari pemakaman. Coby juga hanya berdiam diri di rumah. Ia memutuskan untuk tidak ke kantor dalam waktu dekat. Coby dan Lorna bahkan sudah menghindari wartawan sedari tadi. Jika kita nyalakan televisi, isinya hanya akan berisikan cuap-cuapan kebohongan Eden. Ia pura-pura bersedih atas kepeninggalan Oma seolah ia peduli.

Lorna akhirnya keluar dari kamarnya dan berjalan menghampiri Coby yang ada di ruang tamu. "Aku tidak bisa hidup seperti ini terus!" Bentak Lorna.

"Apa maksud mu?" Tanya Coby bingung.

Lorna sudah banyak berpikir sedari pagi di kamar tadi. "Pertama, harta warisan Ambrose yang mengakibatkan aku harus mengelola perusahaan yang tak aku suka. Kedua, kau yang bertindak sebagai seorang kakak yang sok peduli pada adiknya, padahal kita tidak ada hubungan darah. Ketiga, bahkan sekarang aku tak bisa pulang ke rumah ku sendiri, dan itu semua karena kau. Lalu apalagi? Jika masih ada, tolong katakan. Aku tidak bisa jika masalah terus berdatangan dan tak ada habisnya!"

Coby turut bangkit dari duduknya. Ia menghampiri Lorna. "Tak ada, Lorna. Kau hanya sedang tertekan. Jangan berpikiran yang macam-macam. Kau boleh berduka, tapi tolong.. Jangan sampai hancurkan semangat hidup mu," Coby berusaha menenangkan Lorna.

"Aku mau mundur dari perusahaan. Tak ada alasan lagi untuk ku di sana. Lagi pula, sejak awal aku menerimanya juga karena Oma," kata Lorna.

"Kau tidak bisa seenaknya! Ini perusahaan ayah mu! Bagaimana jika berada di tangan yang salah? Salah satu aset terbesar Ambrose ada di media ini, Lorna.." jelas Coby.

"Bahkan media ini sudah berada di tangan yang salah, Coby.." balas Lorna kini memanggil Coby tanpa embel-embel 'kakak'.

Bagaimana pun caranya, Aku harus pergi dari rumah ini!

::::::::::::::::::::::::::::::

Heyo! Buat yang gak suka, please just leave this page. Buat yang suka, temen-temen bisa apresiasi karya aku dengan like halaman ini atau comment di kolom komentar! 😉

One Degree / 1°Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora