14.1

30 7 1
                                    

Sudah tiga hari kemudian setelah Lorna dirawat di rumah sakit selama empat hari. Lorna bahkan kembali sibuk dengan urusan kantornya. Jovan sekarang juga semakin sibuk karena pemilu sudah semakin dekat. Lebih tepatnya 6 bulan lagi, pada bulan April. Sedangkan di bulan Januari ia sudah mulai debat Pilpres hingga bulan Maret.

Kini Lorna kembali murka karena melihat hasil kerja anak buahnya yang tidak memuaskan. "Kalian sarjana lulusan mana, sih?! Kalian tahu nilai berita, kan? Ada di SOP perusahaan kita juga, kan?"

Semua jurnalisnya pun hanya terdiam. "Saya mendapat laporan bahwa ada yang memperlakukan narasumber kita dengan tidak baik. Itu hal paling dasar! Tidak seperti itu caranya untuk meminta wawancara dengan narasumber!" Omel Lorna lagi.

"Kalau kalian seperti ini terus, saya bisa pecat kalian. Lebih baik saya memaksimalkan pekerja yang bersungguh-sungguh! Masih banyak yang mau bekerja di sini," lanjut Lorna.

Lorna langsung meninggalkan ruang rapat, Edwan pun mengikuti dari belakang. "Saya mau Pandhit jadi produser TV on air pagi. Saya lebih percaya padanya dari pada mereka," ucap Lorna dan langsung masuk ke dalam ruangannya dan duduk di kursinya.

"Tapi bukankah Pandhit sangat pembangkang?" Tanya Edwan.

Lorna berpikir sejenak, "setidaknya dia tahu apa yang kurang dari TV kita, dan dia bisa memperbaikinya".

Lorna cukup yakin, kakak tingkatnya itu dapat dipercaya. Mengingat mereka satu almamater, lulusan dari kampusnya sebenarnya tidak perlu diragukan lagi. Jurusannya sangat ketat dengan dunia jurnalistik. Tidak ada wartawan amplop, tidak ada plagiarisme, bahkan kurasi saja masih dianggap remeh oleh mereka. Mereka benar-benar patuh terhadap Kode Etik Jurnalistik. Jika wartawan TV maka ia harus patuh pada P3SPS. Lorna yakin bahwa Pandhit juga akan melakukannya dengan baik.

"Oke. Sekarang kau harus fitting wedding dress. Sorry, Jovan memaksa ku untuk memasukkan ini ke dalam jadwal mu," kata Edwan tak mau disalahkan.

Lorna langsung bangkit dari duduknya dan mengambil tas kecilnya. "Aahh... Jika itu hari ini, seharusnya kau memberitahu ku dari kemarin!" Omel Lorna.

"Salahkan kekasih mu yang mendadak baru memberitahu ku juga pagi ini," jawab Edwan tak acuh.

"Seharusnya aku tidak makan ramen tadi malam," ucap Lorna penuh dengan sesal sambil meraba perutnya yang ia pikir membuncit. "Aku rasa tak ada gaun yang akan muat untuk badan ku sekarang," ucap Lorna lagi.

Seharusnya sebelum memakan ramen itu Lorna berpikir dengan jernih. Ia akan menikah, menggunakan gaun pengantin. Ia harus membentuk tubuh terbaiknya di hari pernikahannya nanti. Sial!

"Jovan sudah menunggu di lobby," tambah Edwan lagi.

"Mengapa dia malah mengabari mu? Bukannya mengabari ku?" Tanya Lorna curiga. Sejak kapan kekasih dan asistennya ini mulai akrab?

"Sebaiknya bu boss pastikan, apakah ponsel bu boss saat ini aktif?" Sindir Edwan.

Lorna langsung berdecak kesal, "aku sibuk! Tidak ada waktu untuk mengisi daya ponsel ku!" Omel Lorna dan langsung keluar dari ruangannya.

Sedangkan Edwan hanya mencibir. "Iki sibik! Tidik idi wikti intik mingisi diyi pinsil ki!" Untung saja Lorna sudah keluar dari ruangannya. Kalau saja terdengar oleh Lorna, bisa-bisa gaji Edwan dipotong.

Begitu turun sampai lobby, Lorna sudah melihat mobil Jovan dan langsung memasukinya. "Sorry, lama ya?"

"It's okay. Kamu sudah makan siang? Mau makan atau fitting dulu?" Tanya Jovan sambil mengendarai mobilnya.

"Fitting dulu!" Balas Lorna cepat. "Kalau makan, berat badan ku akan bertambah. Aku tidak mau terlihat gemuk di gaun pernihakan ku," tambah Lorna.

One Degree / 1°Where stories live. Discover now