Sakura POV
Aku masih terus berjalan kemanapun langkah kakiku mengarah. Tak terpikirkan olehku untuk segera pulang. Lagipula untuk apa aku pulang jika aku masih marah dengan keadaanku. Aku benci suasana ini.
Ah, sial. Kenapa saat seperti ini malah membuatku ingin menangis. Kenapa harus terpikirkan olehku, tentang siapa penulis yang berhasil membuatku selalu memikirkannya setiap saat.
Pembohong!
Sengaja kuhentak hentakkan kakiku. Mencoba melampiaskannya ke tanah. Tapi, apa salahnya? Ah, sepertinya aku hampir gila dibuatnya. Kalau saja tadi dia datang, aku takkan segan segan melabraknya cepat. Takkan kumaafkan. Bahkan jika suatu saat nanti aku bertemu dengan penulis itu, maka aku takkan pernah lagi melihatnya seumur hidupku. Dan akan kupastikan, aku takkan pernah lagi menerima surat darinya. Aku yakin itu.
"Sakuchan?"
Michi?
Kenapa malah dia yang disini. Dan, dia balik menatapku bingung. Tunggu! Apa aku menangis? Aku sendiri bahkan tak bisa merasakan adanya air mataku yang jatuh. "Doushitano?" Tanyanya sambil memegang pundakku. Kulihat dari dekat, wajahnya ikut masam. Dia terlihat begitu serius. Jadi, ternyata seperti ini, seorang Shunsuke Michieda jika ku perhatikan dari dekat? Baik juga ternyata.
Aku hanya menggeleng sebagai jawaban. Namun ia lebih cepat menghapus air mata yang barusan jatuh di wajahku. Tapi, kenapa aku harus bertemu dia sekarang?. "Aku tau pasti kalau kau terluka." Kata katanya, sangat membuat mataku panas. Hatiku juga ikutan sesak. Ayolah Michi, kenapa malah kamu yang datang?
"Eh?" Aku sedikit terlonjak saat pemuda itu tiba tiba memelukku. Bagaimana mungkin dia yang datang, dan kemudian menghiburku. Kenapa harus Michi yang datang? Kenapa bukan Oniichan atau siapalah. Kenapa harus dia?!. "Menangislah jika itu membuat hatimu lebih tenang."
Ah, aku sedikit muak dengan kata kata itu. Tapi buktinya, ia berhasil membuat aku semakin sesenggukan menangis. Menyebalkan. Kenapa harus kau yang datang sih?!
▪
Ryosuke POV
Aku terus berjalan bersama Chinen. Menyusuri jalan penuh rumput yang sedikit basah. Sengaja aku memainkan langkahku, dengan mengayun ayunkan kakiku seperti sedang bermain. "Yama, apa tak sebaiknya kalau kita katakan semuanya saja?" Perkataan Chinen membuatku terdiam. Aku menghentikan langkahku dan menatapnya yang berdiri sedikit jauh di belakang. Tatapannya sangat serius. Bahkan mungkin sekarang, akulah sosok yang jahat dalam peran. "Iie. Belum waktunya, Chi."
"Sampai kapan kita bermain dalam drama ini? Huh? Sampai dia menyatakan kalau ia membencimu? Begitukah? Dimana akal sehatmu, Yamada."
Aku hanya menelan ludah mendengarkan pernyataan Chinen. Kuakui dia memang sepantaran denganku. Tapi bagaimanapun juga, dia tetaplah tak tau aku. Tak tau apapun yang akan terjadi setelah ini. "Kupikir, ini yang terbaik." Jawabku sambil tersenyum. Langsung kualihkan pandanganku. Melihat ke arah lain dengan upaya merasakan angin dingin yang tiba tiba datang. Tapi-
Terletak beberapa meteri di depanku, entah secara sengaja ataupun tak sengaja, adegan itu sedikit membuatku marah. Bagaimanapun juga, kuakui aku memang selalu menjauh dari Saku, tapi bukan berarti aku tak menyukainya. Aku bahkan sangat sangat menyukai gadis itu. Tapi sekarang, dia bersama seseorang. Saling berpelukan. Ayolah Yama, apa yang kau pikirkan?!. Dia hanyalah masa lalu yang kau tinggalkan, dan sekarang kau kembali menyukainya?. Dimana harga dirimu?!
"Yama?" Kudengar suara Chinen yang memanggil namaku. Jika kukatakan, aku sakit hati sekarang. Ya, aku cemburu melihat gadis itu. Kebahagiaannya terbalas dengan oranglain saat aku sendiri kembali memikirkannya. Lalu untuk apa aku kembali ke Jepang dan menemuinya, jika suatu saat aku yang harus kembali pergi. Untuk apa menemuinya, jika ia sendiri telah melupakanku. Untuk apa juga aku terus menulis pesan untuknya, yang padahal dia masih memikirkan oranglain selain diriku. Dasar naif!
"Yamada?" Chinen tetap memanggilku. Ia ikut melihat kemana aku memandang. Ke arah kedua insan itu. Hatiku perih. Sesak melihat sosok itu kembali meneteskan air mata dengan oranglain. "Yamada, kita pergi sekarang." Tangan kecil Chinen berupaya meraih tanganku. Tapi aku lebih dulu menepisnya. Namun tak sampai disitu, Chinen kembali meraih tanganku dan meraihku pergi. Meninggalkan mereka yang masih disana.
▪
"Gomen." Saku menundukkan kepalanya dalam. Berupaya agar pemuda itu tak melihat ke arahnya. Ia melepas pelukannya dan menyembunyikan wajahnya yang masih sendu.
"Sudah puas sekarang?"
"Hah?!"
"Jadi kau baru tau, kalau seorang Shunsuke Michieda juga bisa loh membuat seorang gadis yang menangis tiba tiba diam."
"Jadi bukan hanya setokaicho itu saja yang bisa membuatmu bahagia. Aku juga bisa kok." Seringaian Michi dibalas tatapan sinis dari Saku. Bagaimana tidak. Pemuda itu dengan percaya dirinya membanggakan dirinya tanpa sadar apa yang ia ucapkan sedikit berbanding terbalik dengan apa yang terjadi. Namun bagaimanapun juga, dia berhasil membuat gadis itu jauh lebih baik. Terima kasih Michi.
"Aku akan pulang, kau juga pulanglah ke rumahmu." Saku kembali membenahi syalnya. Dan itu dibalas tatapan terkejud oleh Michi. Jika dikatakan, tujuannya di sana bertemu Saku bukanlah tanpa sengaja. Ia ada urusan lain disana, dan akhirnya bertemu gadis itu. "Un, pulanglah." Michi tersenyum simpul. Memberikan lambaian tangan layaknya membiarkan gadis itu pergi. Namun belum tiga langkah di depannya, tangan Michi kembali mencekal pergelangan tangan Saku.
Apa dia gadis yang kucari?
Saku hanya menatap bingung. Sementara Michi tergagap kala ingin menjawab. Kembali ia melihat posisi tangannya yang masih mencekal gadis itu. "Hati hati di jalan." Ah, tak ada kata lain saat ini. Dia takut, itu tentu. Bagaimana mungkin ia akan menjadikan gadis ramah itu sebagai tawanan untuk menebus adiknya. Ayolah Michi, bersikaplah dewasa!
"Un." Tangan mereka kembali terlepas. Saku kembali memijakkan kakinya semakin jauh. Dan Michi masih menatapnya dalam kejauhan. Perasaan tak enak langsung muncul dalam pikirannya. Tapi bukan hanya itu, bukankah tadi itu kejadian langka? Maksudku saat ia berhasil menenangkan Saku dan memeluk gadis itu hingga tak lagi menangis.
Gadis itu, menarik.
Baru saja membayangkan kejadian tadi, sesuatu tiba tiba membentur kepalanya cukup keras. Jdakkkkkkkkk.....
Michi sampai mengeleang merasakan satu hantaman yang keras dan berhasil menembus tulang kecilnya. Jika diperhatikan, seorang pria berada tak jauh dari sana tengah menatap ke arahnya penuh marah. Dia langsung mendekati Michi dan menarik kerah bajunya. Hingga kini, katakan saja pemuda kecil itu sampai melayang. Tubuhnya yang ringan, takkan ada tandingannya dengan pria berbadan kekar itu.
"Sudah ku katakan, lakukan apa yang kusuruh dan adikmu akan selamat."
Brakk... Bersamaan setelah mengatakannya, pria itu membanting begitu saja badan Michi hingga terpental ke tanah. Tentu, tulangnya terasa patah semua. Tubuhnya takkan sepenuhnya mampu menahan dentuman keras pria itu. "Kenapa kau lepaskan dia!" Kembali, pria itu masih tak menyerah. Ia kembali menarik kerah baju Michi dan menghempaskannya sekali lagi ke tanah. Miris!
"Gomen, tapi aku tak bisa melakukannya." Michi berusaha mengangkat kepalanya, menatap pria itu datar, layaknya tak terjadi apapun.
"Apa kau bilang? Jadi kau memilih adikmu mati demi gadis itu? Begitu?"
"Gadis itu ter-amat berharga untukku. Aku takkan menyerahkannya padamu-
Tangan kiri Michi kembali bergerak menghapus darah yang mengalir dari hidungnya. Dilihatnya darah segar itu. Dipukulnya tanah yang tak bersalah. Dan kembali, ia tatap pria di sampingnya dengan tak punya hati.
"Dan aku pasti akan kembali menyelamatkan Akio." Imbuhnya. Sangat meyakinkan. Itu yang dilihat si 'pria'. Tatapan datar namun serius Michi berhasil membuat pria itu sedikit terpengaruh. Ia kemudian pergi begitu saja. Meninggalkan Michi yang masih berlumuran darah di sekitar tubuhnya. Namun sekalipun, ia takkan peduli dengan bocah itu. Urusannya sekarang hanyalah, menemukan gadis itu dan membawanya sebagai tawanan. Hanya itu.
"Aku akan kembali, Akio."
▪
YOU ARE READING
Rainy Room - 同 じ 夢 を 一 緒 に 見 た -
Teen FictionKetika waktu perlahan membuatku melupakanmu, kenangan lama itu semakin terlihat begitu nyata. Dan aku kembali melihatmu di tempat semula. ~Kazuma ■ Bukan berarti aku akan kembali melupakanmu, hanya saja aku tau hatimu bukanlah untukku. ~Sakura ■ Kau...
