PART 64

59.8K 3.7K 557
                                    

"Lun."

Ara yang sedang minum air tersedak. Dia mendengus malas ketika seseorang salah menyebut namanya lagi.

"Gue Ara bukan Aluna," tekannya. Kemudian menghiraukan orang itu.

"Lun." Dia kembali memanggilnya membuat Ara mengerlingkan matanya kesal.

"Lun."

"Lun."

Giginya saling menggertak. "Berhenti panggil gue Aluna!" bentak Ara seraya menaruh gelas kaca dengan sedikit memberi tekanan. Dia berbalik lalu menatap orang itu. Sempat terdiam sebentar sebelum akhirnya kembali menormalkan emosinya.

"Aluna." Cowok dihadapannya masih menyebut nama itu meski sudah diberi ketegasan kalau namanya itu Ara dan bukan Aluna. Hanya saja wajah mereka sama.

"Abim! Berhenti manggil gue kayak gitu!"

"Kenapa?" Alis cowok yang dipanggil Abim oleh Ara terangkat sebelah.

"Karena gue bukan Aluna!"

"Sampe kapan?"

Sadar pembicaraannya mulai menjurus. Ara langsung menarik abim ketempat yang lebih sepi dan setidaknya tidak mudah dijangkau oleh para tamunya.

"Sampe kapan?" ulangnya.

Kini giliran Ara yang mengangkat alisnya.

"Kenapa gue gak boleh manggil lo, Aluna?"

"Ya--." Abim memotong ucapannya cepat. "Karena lo bukan dia?"

"Dan sekarang gue tanya. Sampe kapan gue gak boleh nyebut lo sebagai Aluna? Sampe kapan gue harus ngelihat lo ngelakuin hal yang gak sesuai sama kehidupan asli lo? Sampe kapan lo akan nyamar seolah lo hidup sebagai orang lain? Orang yang dianggap asing dan selalu dipanggil dengan sebutan yang salah padahal jelas banyak orang tahu nama lo itu siapa."

"Sampe kapan lo sembunyiin luka ini sendirian? Sampe kapan lo lari dari masalah yang seharusnya dua tahun lalu udah selesai semua?" cercanya dengan banyak pertanyaan. Abim meraih tangan Ara dengan lembut. "Lun, semua nggak akan selesai kalo lo terus ngelakonin permainan kayak gini," ucap Abim parau.

Ara mengempaskan tangan Abim dari tangannya. "Bisa nggak lo berhenti manggil gue Aluna? Gue muak, Bim, denger nama itu disebut. Gue ini Ara, Aluna itu udah mati udah nggak ada, yang hidup disini Ara bukan Aluna!" Alisnya berkedut seakan yang dia ucapkan begitu serius.

"Perlu gue tekanin berapa kali sih sama lo. Tolong Bim!" Ara membuang wajah kasar kesamping.

Abim menyeringai. "Bagi gue, Aluna nggak pernah mati. Bagi gue, Aluna akan selalu hidup sebelum dia bener-bener meninggal. Karena seperti yang gue tahu, Aluna itu masih hidup. Dan sekarang, Aluna lagi diri didepan gue."

Emosi Ara sudah diujung kepala. Sedikit saja Abim membakarnya dengan menyebut Aluna, dijamin bom emosi itu akan segera meledak dan pecah.

Plak!

Ara menampar pipi Abim dengan mulusnya. Abim tak berontak atau membalas. Cukup dengan memegang pipi yang ditampar Ara lalu tersenyum manis padanya.

"Tampar gue lagi kalo cuma itu yang bisa buat lo balik jadi diri lo sendiri, Lun."

Plak!

"Tampar gue lagi kalo cuma itu yang bisa ngeredain rasa sakit yang lo rasain meski nggak semuanya, Lun."

Tangan Ara siap melayangkan tampar ke pipi Abim. Tapi tak jadi. Dia menjatuhkan tangannya kesamping badan dan menatap Abim lekat.

"Jangan kayak orang yang gak ada semangat hidup. Gue mohon, anggap gue Ara. Lo harus bisa terima ini semua, ini udah jadi kesepakatan kita," lirih Ara.

INSEPARABLE (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang