~ Part 7 - Folie ~

Zacznij od początku
                                    

"Wo...kamu nggak papa?"

Dewo Pratomo mengerang lirih dan melirik sejenak ke arah gadis yang tengah menatapnya dengan penuh kecemasan.

"A..Arum...kau disini?" gadis itu meraih lengan Dewo dan membantunya duduk di sandaran beton dekat tugu dan mengangsurkan air mineral.

"Minum dulu ..."

Dewo menurut dan meneguk nyaris separuh botol sebelum kembali meringis. Oke, pukulan Arya Parikesit pada perutnya memang tidak berefek, tetapi dia harus memainkan 'Drama King' di sini, bukankah itu tujuannya?

Arum menepuk-nepuk tangan Dewo dan menggumamkan maaf. Melihat airmata mengalir di pipi gadis itu, lagi-lagi Dewo merasakan hal yang aneh.

"Hei, ini bukan salahmu, kenapa kau yang meminta maaf?"

Gadis itu menatap Dewo. "A...apa yang lelaki itu katakan tadi sebelum memukulmu?"

Dewo tampak mengingat-ingat.

"Dia menanyakan apakah namaku Dewo Pratomo, kujawab iya, tiba-tiba saja dia menatapku tajam dan memukul perutku, sebelum pergi dia berkata agar aku tidak bertingkah seperti pengemis yang berharap memangku rembulan..."

Dahi lelaki itu mengernyit. "Wajahnya tampak tak asing, tapi kami belum pernah bertemu...sebenarnya siapa dia dan apa maksudnya?"

Arum mendesis penuh kebencian. "Kau lihat mobil yang dipakainya? Di kota ini hanya satu orang yang memiliki mobil kuno itu..."

Dewo menatap Arum. "Ah ya, terlebih ada lambang kerajaan di plat nomornya, mungkinkah dia Pangeran Anom? Tapi apa urusannya denganku? Aku tidak pernah mengkritiknya ataupun berurusan dengannya?"

Dengan penuh rasa bersalah, Arum memandang lelaki brewokan di hadapannya. Dia tidak mungkin mengatakan hal yang sebenarnya, tetapi peringatan Arjuna Adhibrata sepertinya tidak main-main, dia tak lagi bisa menemui Dewo karena sepertinya Arjuna mengawasinya. Mungkin ini yang terbaik, dia tidak lagi menemui Dewo supaya lelaki itu aman. Hanya saja, hati tak bisa berbohong, semakin dia dipaksa untuk melupakan perasaan yang tumbuh di hati, semakin subur pula perasaan itu merajai hatinya. Baginya, kesederhanaan Dewo dan tutur katanya, jauh lebih hidup daripada Arjuna dengan segala kemewahannya.

"Eh, Arum, wajahmu pucat, sepertinya kau belum sarapan, ayuk ke angkringan prapatan..."

"A...aku tidak lapar..."

"Jangan begitu, kau bolehlah berhemat untuk biaya skripsimu tapi kau harus jaga kesehatanmu..." Dewo menggandeng jemari Arum, hal yang tak pernah dilakukannya sebagai seorang lelaki. Terlebih sebelum mengetahui identitas gadis itu, bagi Dewo, Arum hanyalah teman bicara yang menyenangkan dan lawan diskusi yang kritis, dia tertarik dengan kecerdasan gadis itu, tetapi belum pernah menilai secara fisik, hingga detik ini.

Atau mungkin, perasaan ini bisa hadir, karena dia telah mengetahui, dibalik kulit kecokelatan yang tampak kusam terpanggang matahari dan wajah yang tidak tersapu make up itu, tersembunyi paras gadis bangsawan yang jelita. Arum seperti Keong Emas yang menutupi kecantikan Puspita yang bagai Dewi Chandrakirana. Rambut panjang indahnya tertutup topi jerami sederhana dan tubuh yang pernah dilihat Arjuna begitu sempurna dibalut kebaya, kini tertutup kaos lusuh kedodoran dan tas selempang yang kucel. Tetapi saat diingat-ingat, pertemuan pertama mereka memang di jalanan dan gadis itu tampak seperti setengah bingung, setengah tertarik, seperti seseorang yang keluar dari ekosistemnya dan menjelajah daerah baru yang menarik.

Arum sendiri tengah takjub memandangi jemari panjang yang melingkupi tangan mungilnya.

Dewo...menggandengnya?

Dulu, jangankan menggandeng, lelaki itu tampak menjaga jarak, walaupun mereka berbincang akrab, seperti ada sebuah selubung yang terpasang dan lelaki itu seperti membuat batasan jika hubungan mereka tak lebih dari sahabat.

US - Beautiful LiarOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz