~ Prologue ~

3.8K 309 9
                                    



Je marcherai les yeux fixés sur mes pensées,

Sans rien voir au dehors, sans entendre aucun bruit,

Seul, inconnu, le dos courbé, les mains croisées,

Triste, et le jour pour moi sera comme la nuit

---

Nayla memandang taman Asoka di belakang kediaman Dewangga yang telah ditata indah dan hati-hati untuk pernikahan yang tergolong istimewa karena merupakan pernikahan antara anggota keluarga inti konglomerat. Waktu berlalu begitu cepat, sepertinya baru kemarin dia menapaki tangga menuju pelaminan, sekarang dia akan mendampingi lelaki yang paling dikasihinya mengucap janji pernikahan. Hanya saja, keindahan yang tersaji hadapannya bahkan tak mampu menghalau keresahan di hatinya.

Firasat.

Firasat seperti apakah ini? Kenapa perasaan ini begitu menggelisahkan batinnya?

"Ada apa?" sepasang mata cokelat hangat menatapnya dan sekali ini, pemilik kehangatan jiwanya itu bahkan tak juga mampu mengusir resahnya. Nayla mendekati lelaki itu dan menyusupkan jemarinya di kehangatan genggaman suaminya.

"Seharusnya dia tak boleh pergi di saat seperti ini, ini malam midodareni dan dia membiarkan calon istrinya menunggu dalam gelisah?"

Aryan menatap ke arah pandang Nayla dan melihat sesosok perempuan jawa berwajah ayu yang memakai kebaya hijau pupus sedang berbincang dengan Arum Ananta dengan wajah menunduk.

"Cucu mantu dambaan ibu..." desah Aryan melihat interaksi kedua wanita berbeda dua generasi itu. "Tapi kenapa ya, aku malah merasa Mutiara tidak cocok dengan putra kita..."

Nayla menatap suaminya dengan pandangan tak mengerti. "Kau tidak menyukai Mutiara? Karena latar belakang keluarganya yang rumit?"

Aryan tertawa pelan. "Tidak, bukan itu. Hanya saja...Mutiara terlalu lembut dan rapuh, seolah, jika tersenggol sedikit saja, dia bisa pecah berkeping-keping. Sementara kau tahu, lelaki di keluarga Mahavindra dengan darah Mughalnya, memerlukan wanita yang pemberani dan tangguh sebagai pendamping..."

Nayla diam-diam membenarkan pendapat Aryan, tapi putranya telah memilih dan dia tak kuasa menolak permintaan sang putra.

"Kapan dia sampai ke tanah air?" Nayla melirik jam tangannya dengan cemas. "Terakhir dia sudah memberi kabar kemarin malam akan take off dari Charles de Gaulle maka nanti kita bisa menjemputnya di Adi Sucipto sekitar jam sepuluh malam, tapi .... kenapa belum ada kabar darinya?"

Aryan tersenyum. "Tenanglah, bukankah dia sudah biasa muncul di saat terakhir dan memberi kejutan? Karena itu management yang menaunginya selalu mengeluh ingin berhenti daripada mendapat serangan jantung?"

Nayla mengangguk membenarkan. "Ahh, anak bandel itu. Apakah dia mampu menjadi penyanyi sekaligus agen ND3? Apalagi sekarang dia akan menikah, bagaimana dia akan mengatur waktu untuk keluarga nanti?"

Batin Nayla kembali resah hanya saja dia tak menyangka firasat buruknya menjelma nyata, sang putra tak akan pernah melangsungkan pernikahannya dengan Mutiara Mahendradatta. Pernikahan yang telah dipersiapkan dengan indah, tidak pernah terjadi. Sang mempelai pria, Ardanial Mahavindra Khan .... menghilang di hari pernikahannya.

***

Beberapa jam sebelumnya.

Lelaki berpenampilan casual dengan jacket kulit berwarna cokelat yang membungkus tubuh atletisnya itu tersenyum puas. Di tangannya tergenggam kalung indah limited edition kreasi Cartier yang keindahannya melampaui taman Tuileries di depan museum Louvre saat musim semi. Warna pink safir asal Khasmir yang menghiasi kalungnya lebih indah dari sakura yang bermekaran di Tuileries yang disaksikannya tadi siang.

US - Beautiful LiarOù les histoires vivent. Découvrez maintenant