Jakarta, si penyebar virus corona.

Semua yang buruk-buruk selalu saja disematkan untuk di Jakarta, seolah Jakarta tidak ada baik-baiknya. Jujur, aku juga sering mengumpat mengenai Jakarta, tanpa tahu bahwa sebenarnya ibu kota yang mulai menua ini kadang perlu istirahat juga.

Jakarta adalah tempat menggantungkan harapan bagi sejuta umat, banyak yang berhasil namun tidak sedikit juga yang gagal. Tapi apapun itu, Jakarta selalu hadir untuk menawarkan pengalaman hidup, suka duka tangis tawa terluka dan bahagia. Semua ditawarkan oleh Jakarta.

Aku sendiri sebenarnya berada di tengah-tengah pro kontra Jakarta. Di satu sisi, aku kadang sering mengumpat mengenai kondisi sang ibu kota yang makin lama kian semerawut, tapi kadang juga aku merindukan Jakarta, di kota ini aku tumbuh dan menjadi seperti sekarang. Rasanya, terlalu jahat jika aku membenci Jakarta.

Dan malam ini, Jakarta begitu sendu. Mungkin karena sejak siang tadi Jakarta terus diguyur hujan. Jadi maklum saja jika sekarang, udara di Jakarta menjadi lembab dan lumayan sejuk.

Aku merapatkan hoddie yang kukenakan, lantas berjalan setengah berjinjit berharap alas kakiku tidak sepenuhnya menyentuh kubangan air yang ditimbulkan akibat hujan.

"Cari tempat makan kok gini amat," dumelku kepada Wira yang dengan santainya berjalan di depanku. Ia sepertinya sudah bisa membaca situasi, alih-alih memakai sepatu, ia dengan santaiya memakai sandal jepit dipadukan celana pendek dan kaus oblong. Berbanding terbalik dengan aku, yang sudah tampil cantik paripurna dengan balutan dress selutut yang sepadang bersama heels yang kukenakan.

Hoodie yang kukenakan sekarang adalah milik Wira, ini satu-satunya penolongku yang sekarang salah kostum.

Kupikir saat mengajak makan malam, Wira akan memilih tempat seperti Henshin Rooftop Restoran, restoran tertinggi di Jakarta yang menawarkan keindahan malam hari sang ibukota. Atau mungkin, Akira Back yang punya menu tidak ada duanya di restoran manapun, Namaaz Dining yang memiliki konsep molecular gastronomy, ah banyak.

Tapi Wira berhasil menghancurkan ekspektasiku.

Alih-alih memilih restoran yang cocok dengan penampilanku. Ia malah mengajakku makan di warung tenda pecel lele.

Sialan, pantas saja penampilannya seperti orang bangun tidur. Kalau tahu begitu, aku tidak perlu dandan dan mencari dress terbaik. Ekspektasiku terlalu tinggi ketika dia mengajak makan malam, memang kampret.

Ekspresi malasku terlalu ketara saat mengambil tempat di hadapan Wira yang sudah duluan duduk.

Wira berhasil menangkap mood-ku yang tampaknya anjlok tersebut.

"Kenapa nggak suka?"

"Kalau tahu gini tempatnya, gue nggak usah repot-repot dandan dan nyari dress," keluhku.

Dia mendengus seraya memanggil abang-abang penjual pecel lele. "Di sini enak kok, nggak kalah sama restoran yang lo harapin itu. Serius deh." Penjual pecel lele mendekat, tanpa menanya terlebih dahulu apa mauku. Wira langsung saja menyebut menu-menu yang sepertinya sudah ia hapal di luar kepala.

"Kayaknya lo hapal banget."

"Kalau dinas malam, gue sering makan di sini," ujar Wira. "Selain enak juga murah, bisa nambah es teh gratis pula. Mantap kan."

Kedua bola mataku berputar, menanggapi Wira enggan.

Wira mengendikkan bahu. Ia lebih tertarik untuk mengamati kondisi di warung tenda yang malam itu tidak begitu ramai, lantas ia berceloteh sendiri, yang hanya kutanggapi seadanya saja. Jujur, malam ini tidak seindah bayanganku.

Pull Stringजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें