Epilog

2.2K 157 53
                                    

Adanya dua hati yang menyatu itu sudah membuktikan jika cinta memanglah nyata, jika rindu kasih itu benar adanya, perjuangan itu tepat muaranya. Pada dua hati yang dulunya tak pernah berani nampak ke permukaan, kini dengan senang menyapa dunia. Mensyukuri sesuatu yang mereka sebut kebahagiaan, meski lara dan sendu selalu menghiasi namun tetap, pada presensi keduanyalah segalanya kian hebat.

Menakjubkan kala satu keajaiban lain memberkahi. Maniknya berkilauan kala satu sosok itu berlari tergopoh, menatapnya penuh takjub ketika apapun dilakukan hanya untuk sekedar menciptakan tawanya, pun saat pertama kali disentuh jemari yang buat getaran asing terasa syahdu, juga satu kata yang selalu menggetarkan sejak saat pertama kali sosok itu berujar riang.

"Appa."

Namanya Kim Yoosun, tujuh tahun lalu Seokjin masih ingat pada saat-saat menegangkan ketika hari dimana sang putra terlahir. Dadanya bergemuruh bahkan lebih hebat dibanding saat pertama kali kulitnya bersinggungan dengan Mama sang bayi, atau ketika ia memperistri Bae Joohyun. Rasa mendebarkannya lebih dari sekedar itu. Lebih luar biasa sensasinya.

Pada waktu krusial itu, ia kembali mempertegas hati untuk-tidak akan pernah-membuat Kim Joohyun mengandung buah hati lagi. Raganya terasa kosong saat mendapati sang istri kesakitan, seolah mempertaruhkan hidup agar satu nyawa bisa dilahirkan ke dunia. Tempat dimana hari ini dirinya berpijak, untuk melengkapi janji sucinya, untuk memperindah perjalanannya, dan untuk menyapanya sebagai seorang Ayah.

Tapi hari itu, tepat ketika musim semi pada bulan Mei, baginya adalah mimpi buruk. Ketika peluh membanjiri pun dengan eratnya genggaman pada ibu jari, juga teriakan yang Seokjin yakini adalah sebuah penyaluran dari rasa sakit, dalam hatinya ia diam-diam mengucap janji untuk lebih mencintai meski itu hanya seorang diri. Ia tak perduli, niatnya adalah tetap tunduk mematuhi sang istri dan menghilangkan sebuah lara pada kedua hati.

Namun ajaib, ketika suara tangisan menyapa rungu, ketika Kim Joohyun mampu bernafas  lega, ketika itu pula netranya berkilau, memandang takjub pada makhluk merah dalam gendongan. Jemari mungilnya menyapa, irisnya elok bagai surga, suaranya merdu mencapai candu.

"Hai tampan." bisiknya.

Satu waktu menakjubkan lagi ia dapati, ketika senyum kecil itu terbit bersamaan dengan jemarinya yabg digenggam erat.

Masih terasa indah bahkan hingga kini.

Jantungnya selalu berpacu ketika sang putra memanggilnya dengan sebutan Ayah. Walau terkadang menjengkelkan sebab Yoosun ingin seperti Taehyung, bukan dirinya.

Abaikan.

Kembali pada dua sosok di ujung ruangan. Celemek biru tersemat pada pundak ringkihnya, fokusnya hanya pada makanan, sementara si kecil hanya fokus bermain. Tanpa mengetahui jika seseorang yang sering disebut pahlawannya sudah berdiri sejak tadi. Mengagumi kehangatan yang tersaji, dan sedikit lebih lama untuk mensyukuri lagi anugerah itu.

Saat-saat seperti itu Kim Seokjin mempercayai pada nyatanya sebuah keajaiban, pada adanya dua makhluk sebagai bukti, juga pada detik-detik penting yang ia jalani, Kim Seokjin selalu terpana.

"Aku pulang."

Yoosun terlonjak untuk satu sekon kemudian irisnya bersinar. Berlari hingga mencapai peluk yang sejak pagi ia idamkan. Sedang Joohyun hanya tersenyum lekas menghampiri yang kemudian satu persatu anugerahnya di kecup hangat, surainya dielus lembut, dan bibirnya dilumat sedikit.

Kim Yoosun tetap tak bergeming masih bermanja pada dada bidang sang Ayah.

"Kakimu sudah sangat panjang begini dan masih meminta gendong padaku?"

Lekas menarik diri lalu menjumpai iris teduh Seokjin yang dibalas dengan dengusan tak perduli. "Appa ingkar janji, jadi aku tak perduli!"

"Rapatnya tadi sedikit lama, dan lagi-----" ucapannya terjeda, membiarkan si buah hati menunggu untuk lebih mengerucutkan bibir bawahnya, bagai satu refleksi dengan Seokjin ketika ditambah satu kerlingan mata yang menatapnya lamat-lamat. Persis sekali.

Practice Makes Perfect ✔Kde žijí příběhy. Začni objevovat