Chapter 13

1.9K 185 23
                                    

"Dispatch mengambil foto kita malam itu."

Joohyun sontak saja menoleh saat dirinya tengah memotong beberapa sayuran. Ia memaksa, selepas acara pergantian tahun wanita berapron ungu itu berdebat sebelum akhirnya diperbolehkan memasak. Bukan tanpa alasan, Seokjin hanya tak ingin ia kelelahan selepas acara. Bahkan ini sudah hampir pagi. Tapi sekali lagi, Joohyun berada di atas segalanya------jelas Seokjin yang mengalah.

"Sayang." genggaman di tangannya menenangkan, hangat juga tanpa beban. Joohyun bisa rasakan itu, seolah usapannya berkata bahwa semua sudah baik-baik saja--------Seokjin tersenyum tenang sebelum pada titik dimana wanita yang tengah membuka apronnya itu berbalik. Menatap penuh selidik namun tetap melembutkan, membawa gelenyar aneh sekaligus gugup pada satu waktu. Seokjinnya tersenyum, "Bang PD sudah mengurusnya. Kau tenang saja, hm?"

Dan syukurlah tak terjadi hal-hal aneh seperti cakaran atau tamparan penuh umpatan sebab ceroboh------tak mampu menahan diri.

Berlebihan. Tapi, Joohyun memang berbeda.

Percayalah, selama setahun kebelakang Seokjin tak pernah menemukan pemilik hatinya marah apalagi mengamuk. Hal-hal kecil seperti dirinya terlambat datang sebab jadwal padat, atau tak mengabari selama seharian penuh sebab tertidur. Joohyun tak pernah protes.

"Tak apa jika pada akhirnya kau di sini." begitu katanya.

Wanita ayu itu akan menantinya dengam senyuman, dan ajaibnya----bak seorang istri, Seokjin tak pernah dibiarkannya kelaparan.

Seperti sekarang, tanpa mengatakan apapun tangan halusnya menuntun Seokjin menuju meja makan tepat di samping mereka berdiri. Si pemuda hanya menurut sebab ia hapal jika sekarang bukan waktunya untuk demikian. "Makan dulu, ya." ucapnya.

Dalam keterdiaman di tengah dentingan suara sendok yang beradu dengan piring, atau suara detak jantung bersahutan sejujurnya Joohyun ketakutan. Hal-hal mendadak memang selalu melingkupi hubungan mereka. Tapi wanita yang kini tengah menatap lurus itu tak pernah berpikir untuk menunjukkan cintanya pada dunia. Tidak sekarang, pikirnya. Terlalu berbahaya bagi dirinya juga Seokjin.

Pupil setenang air sungai itu akhirnya bergerak setelah beberapa detik lalu jemarinya di genggam penuh oleh seseorang. Senyuman itu, tak pernah tak menenangkan hati. Selalu sama. Hal-hal krusial seperti ini seharusnya menjadi tolak ukur keberlangsungan hubungan mereka. Perdebatan juga amarah seperti tak pernah terjadi. Normalkah? Jelas saja, yang Joohyun rasakan selama ini adalah kebahagiaan juga ketenangan.

Normal mana lagi yang kau maksud? Bukankah tak ada yang lebih normal daripada ini?

"Jangan khawatir lagi." sekalipun nalar Seokjin tak pernah meleset jika itu berhubungan dengannya. Tanpa bicarapun si pemuda selalu paham, pelukan serta usapan lembut di punggung mungilnya menjadi bukti jika lelaki itu tahu hal-hal yang paling Joohyun butuhkan.

Menekan seluruh tubuhnya untuk ia tumpahkan pada dada kokoh itu, membenamkan wajah untuk merasakan detakan yang tak kalah hebat seperti kepunyaannya. "Kau tahu satu hal yang selalu aku takutkan selama mengenalmu?" bukan jawaban yang diterima, sebab alih-alih bersuara dekapan pada tubuh mungilnya semakin kencang namun tetap lembut. Tak perlu dipertanyakan sebab Seokjin kelewat paham jika hubungannya tercium publik merupakan hal yang menakutkan. Sebab jika hal itu terjadi, segalanya tak pernah sama lagi. Membayangkannya membuat Joohyun tutup mata-----menggeleng penuh jika suatu hari kenyamanan ini mendadak hilang. Hal yang Joohyun sendiri tak tahu akan ia temui lagi di belahan dunia mana.

Sungguh, mereka tak pernah membutuhkan kata-kata untuk membuat segalanya menjadi mudah. Ajaib, hanya dengan tatapan kelewat menenangkan atau usapan lembut yang ditunjukkan mampu membuat beban itu terangkat penuh.

Setelah menarik diri Seokjin menyambar bibir mungil itu perlahan. Menumpahkan segalanya pada ciuman dalam mereka. Hal-hal gila yang sebelumnya tak pernah Joohyun temukan------untuk pertama kalinya ia rasakan bersama dengan lelaki ini. Perasaan ini. Sensasi ini. Desiran ketika bibirnya dicumbu kuat atau ketika lelaki itu meninggalkan kecup dan berbekas ruam merah nyaris ungu di sekujur tubuhnya.

Tak ada yang menyangka jika setahun lalu dirinya hanya bisa mengecup bibir lelaki itu kelewat singkat. Kini------dengan tak tahu malu Joohyun pasrah di bawah kungkungan lelakinya, pun dengan desahan-desahan nyaring memekakan telinga. Semuanya indah.

Dan yang paling menakjubkan dari itu semua, Joohyun selalu terpaku dengan jantung nyaris melompat---------ketika si pemuda membisikan kata cinta usai penyatuan mereka.

***

"Selamat pagi." tengkuknya dikecup lembut menghadirkan sensasi familiar namun tetap terpekik ketika bibir si pemuda mengulumnya kuat. Desiran dalam darahnya menguar, menyebar ke seluruh tubuh ketika tangan besar itu berhenti pada salah satu gundukan merah muda memabukkan. Di bawah selimut sutra menutupi tubuh polosnya, Joohyun kembali mendesah sementara si pemuda tak berhenti dengan aksi nakalnya. Bahkan kalimat pertama setelah keduanya membuka mata berakhir sia-sia tanpa balasan.

"Aku harus berhenti." tubuh kekar itu akhirnya berhenti setelah aksi kecup ke seratus. Mungkin, sebab lumatan itu terjadi selama beberapa menit.

"Mandilah. Pagi ini aku yang membuatkanmu sarapan."

Bak terikat tali pernikahan keduanya terbiasa melihat tubuh polos satu sama lain. Pun ketika Joohyun beranjak, si pemuda sudah terbiasa menatap dan menyantap punggung mulus itu.

Dia milikku.

Beranjak setelah menghela nafas beberapa kali, menyadari pekerjaannya tak sedikit-------kasur yang tak beraturan juga beberapa helai baju berserakan di lantai. Tanpa keluhan, semuanya ia kerjakan dengan sempurna. Hingga suara bel berbunyi nyaring Seokjin masih nyaman dengan kegiatannya. Sementara bunyi tut tut ketika seseorang menekan kata sandi terdengar jelas oleh rungu.

Hah, Jeon Jungkook benar-benar.

Sebab selain anak itu, tak ada lagi yang meminta kode rahasia secara paksa.

"Yakk! Sembarangan masuk.."

"Aku lapar." cengirnya menampilkan sederet gigi putih yang membuatnya nampak lucu------dua gigi terdepan bak kelincinya sangat imut, jika saja beberapa otot tubuh ia kurangi.

Jungkook si bayi kelinci. Julukannya mungkin saja tak pernah Seokjin ragukan. Bayi mana yang selalu menang melawannya? Tsk, nothing. Hanya dia.

"Sayang ak------" suara lembut itu menggantung di kerongkongan ketika mendapati satu wajah familiar tengah duduk antusias menatap Seokjin dengan kegiatan dapurnya. Sementara itu, si pemilik suara tak menyadari jika Jungkook tengah susah payah menelan salivanya, suaranya tercekat ditenggorokan ketika Joohyun memasuki area dapur dengan pakaian seperti itu.

Kemeja putih kebesaran yang sangat cocok dengan tubuh mungilnya, juga beberapa tetes air yang berasal dari rambut basah dibungkus kain menampilkan kesan seksi pada leher jenjangnya yang terekspos.

Si bayi tentu saja terpesona. Siapa yang tidak? Pada pagi hari mendadak muncul satu wanita berpenampilan demikian, bahkan mentari baru saja menempa singgasananya peradaban. Tapi ini terlalu indah. Pun dengan ruam keunguan pada bagian dada yang sedikit terlihat, menghadirkan semu merah pada si bayi bermuka polos.

"Berhenti menatapnya seperti itu, Jeon Jungkook!" []

Practice Makes Perfect ✔Where stories live. Discover now