Chapter 22

1.2K 129 9
                                    

Kim Suho, seseorang dari sekian banyak pasang mata yang menatapnya kagum, penuh damba bahkan ketika ia hanya lewat tanpa aba. Sabar tiada banding-----mungkin jika bisa Joohyun melabeli, bahkan saat ia sendiri acuh akan atensi serta afeksi yang senantiasa diberikan secara cuma-cuma, pria dengan tatapan hangatnya itu tetap stagnan di tempat, mencintainya.

"Ingin ku antar pulang?" pria di sebelahnya menatap penuh harap. Selepas musik pertunjukan itu berakhir beberapa menit lalu, pria yang sejak awal duduk di sebelahnya kembali memecah keheningan. Selalu seperti itu sebab Joohyun selalu abai.

Barangkali jutaan afeksi yang diberikan masih tergolong sedikit jika dibandingkan dengan sorot teduh kegemarannya, dekapan hangat yang senantiasa menyalurkan tenang luar biasa. Seokjin memang secanggih itu, merampok seluruh atensi hanya dalam sepersekon lamanya. Mungkin kurangnya hanya satu, prianya tak cukup berani. Tapi, itu bukan apa-apa sebab Joohyun tak pernah meminta lebih. Ia sangat sadar ketika hal-hal yang perlahan seolah ingin menghacurkan benteng mereka----semuanya tak lagi mudah.

Bersyukur masih bersama saja sudah luar biasa jadi, berpegangan jemari pada pagi hari untuk kemudian saling bergantung di penghujung hari. Tak perlu lebih, tak harus semua tahu. Cukup kita.

Jadi sebagai penebus segala lara sebab selalu abai pada satu fokus-----lelaki di sampingnya, Joohyun hanya mengiyakan. Menerima ajakan pulang bersama. Tak ada yang salah ketika ingin mengedepankan sebuah pertemanan, soal hati itu berbeda urusan. Setidaknya, Joohyun telah berusaha tak membuat lara.

"Sopirmu kemana?" sekedar ucapan basa-basi selepas keheningan yang cukup panjang, Suho tak tahan ketika hanya semeliwir angin dari pendingin mobil menerpa halus kulit wajahnya atau terdengar segelintir deru kendaraan menyapa rungu.

"Setelah kau menawariku tumpangan, aku tak jadi menelepon sopir." ada senyum kecil setelah Suho mendengar Joohyun berucap, namun tak lama setelahnya semua kembali pada titik awal, hening menerpa. Menoleh pada kaca spion pun yang ia dapat hanya manager Red Velvet tengah terlelap. Dirinya sendiri fokus pada jalanan, sementara gadis di sampingnya seperti enggan untuk berada dalam cakupan satu udara. Lalu lalang kendaraan kini kembali jadi titik fokus gadis itu, tak tertarik untuk bertukar suara atau sekedar basa-basi belaka. Miris sekali, pikirnya.

"Bagaimana dengan Seokjin?" semakin miris hatinya ketika nama itu ia sebut Joohyun mendadak memangku atensi. Tak apa, toh sekarang ia bisa menatap sorot favoritnya lagi. Meski hanya sebentar sebab setelah mengukir senyum sesaat, Suho kembali fokus pada kemudi, lalu melanjutkan ketika Joohyun hanya terbengong di sana.

"Bagaimana pertunangannya?"

Sengaja sekali, entah-----Suho ingin sekali menjadi pria antagonis kali ini. Sebab egois saja tak cukup. Berjuang itu harus sempurna hingga akhir, pikirnya. Mendapati senyum kecil di ujung kelopak matanya, bagai bukan masalah besar kini Joohyun tersenyum lembut. Hingga fokusnya pada kemudi sedikit hilang kendali ketika kalimat ini ia dengar, "Pertunangannya batal."

"Kenapa bisa?" Joohyun paham sekarang, kenapa cintanya malah semakin kuat bukannya malah melonggar. Ada begitu banyak bualan serta harap di sana. Pertama, membuat sekat melalui pertunangan gila minggu lalu, atau harapan-harapan semu yang tak menjumpai titik temu----perpisahan keduanya. Tujuan semua orang sama, ingin Seokjin berpisah dengannya.

Bahkan jika hanya segelintir orang, keinginan mereka untuk membuat jarak sangatlah kuat. Suho misalnya, "Kau berharap pertunangan itu berjalan lancar?"

Tanpa jeda, "Sangat ingin."

Berhenti pada salah satu jalanan sepi di pinggiran kota. Decitan ban mobil bahkan hampir terdengar jelas oleh rungu. Terkejut sudah pasti hingga nafas Joohyun tersengal pun pria di sampingnya tak berkutik, menatap lurus ke depan seraya mempererat genggaman pada stir kemudi.

"Jangan tanya kenapa, kau tahu aku mencintaimu." ujarnya dingin.

"Junmyeon-ah." tak ada lanjutan, ketika lelaki yang akrab disapa Suho itu hendak merengkuhnya, Joohyun baru mendongak, menatap kembali pada bola mata yang selalu hangat itu, mencari kesempatan untuk mengakhiri cinta sebelah pihak mereka.

"Berhentilah." walau yang ada hanya raut kecewa di sana, namun Joohyun tak ingin kembali menanggung beban. Rasanya seperti seseorang yang paling bersalah ketika tak mampu untuk membalas dan hanya memberi lara. Sebab cintanya sudah ia beri pada yang lain, hatinya tak ada lagi tempat.

"Aku tak tahu akan berakhir dengan siapa, aku hanya ingin jujur pada hatiku sendiri. Jadi Junmyeon-ah, boleh aku jujur padamu juga?" Suho rasa itu adalah kalimat terpanjang yang ia curi dengar dari gadisnya.

Tak ada jawaban setelah ucapan, tapi Joohyun paham meski hanya dengan tatapan tanya yang ia dapat. "Junmyeon-ah, aku mencintainya."

"Sangat." lirihnya seraya menunduk dalam.

***

Beberapa bulan setelahnya, pada musim dingin kedua mereka, Joohyun terjatuh dalam dekapannya. Bermain dengan si dada bidang pembungkus kulit wajah.

"Bagaimana dua tahun bersamaku?" tangannya membungkus tubuh mungil itu lebih erat, sementara hidungnya membaui surai penghasil wangi stroberi kesukaannya.

"Bersamamu itu selalu menyenangkan, tapi juga tak mudah."

Rahang tegasnya, tatapan lembut yang menghangatkan, juga kecupan ringan setelahnya, bagaimana bisa Joohyun abaikan. Ia terperangkap lagi, pada tahun duaribu duapuluh bulan kedua ia tertawan lagi oleh kecup yang berubah jadi lumatan lembut.

Maaf, katanya di sela-sela pangutan.

"Kenapa meminta maaf?" Seokjin bangkit dan kembali setelah membawa benda pipih dalam genggaman.

"Kakek mengirimiku ini."

Ada sedikit keterkejutan ketika jemari Seokjin menunjukkan sebuah potret. Namun, senyum kecil terukir. Rasa hangat menjalar ketika mendapati presensi dirinya berada pada gambar itu-------tersenyum cerah dengan lengan kekar membungkus kulit pinggangnya. Lelakinya ada di sana, tengah memeluknya.

"Apa kita sebahagia itu?" tanyanya mendongak. Seokjin sempat terkekeh ketika mendapati wajah yang mengerjap lucu dari kekasihnya.

"Sangat." katanya menjawil pangkal hidung mancung itu.

"Sekarang lihat ini."

Senyumannya mendadak hilang digantikan keterkejutan serta raut bersalah yang begitu kentara. Namun, belum sempat Joohyun menyahut lagi-lagi lelakinya bersuara.

"Kau tak salah, lagi pula Suho hyung hanya mengantarmu pulang. Aku tahu itu." katanya seraya mengelus sayang puncak kepala Joohyun.

"Lalu sekarang?"

Seokjin meremat lembut kedua bahu bergetar Joohyun, selalu rasa takut yang pertama kali dirasa. Pria paruh baya itu memang selalu membuat getir. Sebab Joohyun paham, keduanya tak sanggup untuk melawan hanya dengan alasan saling mencinta ataupun mendamba.

Jika saja mereka sama seperti orang kebanyakan, semua akan jauh lebih mudah. Tak akan ada satu pun keraguan untuk melawan Kakek, hanya saja-----mungkin finansial yang akan jadi pertimbangan, sebab Seokjin bukanlah siapa-siapa pada titik itu. Namun nyatanya, karir keduanya yang kini sedang dipertaruhkan. Sebab mereka berbeda, publik figur memiliki nama yang harus dijaga, serta tanggung jawab besar bagi kedua grupnya. Tak bisa semena-mena tanpa rencana. Harus matang juga tenang.

"Kakek mengancamku untuk menyebarkan foto itu."

Deg.

Kau tahu apa artinya? Ketiga grup tengah di ujung tanduk. Dan lebih parahnya lagi, Joohyun yang menjadi 'pemeran utamanya'.

"Jangan takut, aku tak akan membiarkan mereka menyakitimu." senyum simpul juga usapan lembut pada kedua pipinya sudah mampu membuatnya tenang---setidaknya untuk hari ini.

"Sebelum terlambat, mengapa tak kita konfirmasi salah satunya?"

What? Apa ia tak salah dengar?

"Jangan sembarangan." Joohyun hampir berdiri namun urung ketika tangannya ditarik pelan, membuatnya kembali terduduk.

"Aku serius. Kita konfirmasi hubungan kita, hm?"

"Tap-----"

See you, next! []

Practice Makes Perfect ✔Where stories live. Discover now