Chapter 14

1.7K 173 15
                                    

Sore terasa lebih hangat kala secangkir kopi mengaliri indera perasanya, begitu pula dengan hujan yang sejak semalam tak berhenti menemui bumi. Joohyun meniupi kedua telapak tangannya sebelum kemudian memasukannya pada saku jaket yang ia kenakan. Mencoba menahan hawa dingin yang masuk lewat celah jendela cafe yang tak sepenuhnya tertutup.

Terduduk nyaman di penjuru cafe sementara maniknya bergerak menantikan kedatangan seseorang yang sejak tadi ia tunggu. Hal-hal yang sejujurnya melelahkan, entah mengapa menjadi begitu familiar semenjak bersama Seokjin. Pria yang sudah sebulan tak ia jumpai itu memang selalu menjadi yang utama. Segala hal yang pemuda itu berikan selalu menjadi yang pertama di hidupnya.

Seperti menunggu------Joohyun sudah terbiasa akan hal itu. Menunggu dengan tenang sebab hatinya akan berbunga begitu Seokjin menghampirinya. Memberi kecupan sekilas untuk kemudian memeluknya erat. Jangan lupakan suara lembutnya ketika pemuda itu membisikan kata maaf.

Lamunannya sedikit teralihkan oleh suara pintu yang berderit. Joohyun dapat mendengar langkah kaki halus itu semakin mendekat. Menampilkan senyum kelewat ayu ketika sang empu tepat di hadapannya.

"Maaf membuatmu menunggu lama."

"Tidak, Jen. Duduklah." yakni gadis yang tempo hari sempat menggegarkan publik dengan berita kencannya, kini tepat berada di sana----menampilkan senyum manis ketika Joohyun menyapanya.

"Kau sampai kapan di Amerika?" gadis berpakaian casual itu mendongak setelah sebelumnya menyesap kopi yang Joohyun pesankan. "Setelah jadwal di sini aku segera berangkat ke Paris, kau Unnie?"

Joohyun mengulum senyum membayangkan beberapa jam lagi akan menemui kekasihnya, "Aku akan bertemu seseorang setelah ini." rona merah di pipinya menghadirkan tanya pada pemilik nama Kim Jennie. Seperti tak asing melihat tingkah semacam itu--------maniknya bergerak mengamati perubahan wajah seorang Bae Joohyun.

"Kau punya kekasih, Unnie?" tebaknya.

Meski sudah memasuki tahun ke dua, hubungan mereka tak banyak orang ketahui. Joohyun yang pandai mengendalikan diri, sementara Kim Seokjin si jago akting selalu mati-matian untuk tidak mencuri tatap atau sekedar tersenyum ketika keduanya berada dalam satu acara. Semuanya terkendali, sehingga beberapa 'teori kencan' tak sekalipun menghampiri keduanya. Ada----itupun sebab Joohyun yang tak mampu mengendalikan senyum ketika menyaksikan tingkah konyol kekasihnya.

"Unnie, kau mendengarku kan?"

Yang ditanya mendadak terkesiap, menimbulkan kekehan ringan pada belah bibir lawannya. "Siapa?" wajah jahil itu ia tunjukkan, sementara Joohyun hanya mengernyit. "Siapa pria beruntung itu, Unnie?"

Tak ada jawaban, sebab Joohyun kembali bodoh. Bahkan ini sudah satu tahun semenjak mereka bersama, tapi kebiasaan itu sulit dihilangkan barang satu kali. Rona merah, degupan jantung, kegugupan yang mendadak menyerang------semuanya selalu sama.

"Kau akan tahu nanti." akhirnya.

***

Sudah beberapa menit lalu Joohyun berdiam diri, mematung atau sesekali mengeratkan jaket cardigannya. Matanya bergerilya menunggu seseorang, sementara lengannya memeluk tubuhnya erat-----menahan hawa dingin menusuk kulit. Lagi-lagi ia menunggu. Seperti sudah menjadi keahliannya, semenjak senyum manis Jennie ia terima, Joohyun sama sekali tak bergerak. Bahkan tak ada niatan untuk pergi ketika salam perpisahan ia dengar beberapa menit lalu.

Seokjinnya terlambat------lagi.

Namun, pikiran positif tak pernah beranjak dari tempurung otaknya. Tubuh lelah serta udara dingin tak membuatnya beranjak barang sedikit. Sementara jarum jam tak pernah berhenti berdetak meninggalkan perasaan gundah juga cemas pada seorang pemuda di ujung jalan sana.

Kedua tangan yang saling bertemu serta mulut yang meniupi telapak tangan, si pemuda masih berlari melawan dinginnya malam. Ia bergegas setelah hampir lupa menjumpai seseorang.

Seokjin kelelahan, tentu saja. Di tengah keterbatasan serta jadwal padat, keduanya berusaha keras hanya untuk memenuhi sebuah perjumpaan.

Sangat langka, hingga membuat sesak semakin membuncah selama beberapa minggu ke belakang.

Langkahnya semakin terseok ketika di lihatnya satu perempuan di ujung jalan setapak itu tengah berdiri. Gelapnya malam serta minimnya pencahayaan tak mengurangi penglihantannya. Dia sangat mengenali Joohyun, asal kau tahu. Semakin mendekat dan mendekat. Bagai ditiup angin, tenaganya mendadak habis-----tungkai yang sebelumnya bergegas secara tiba-tiba memelan. Setengah nalarnya menghilang ketika menatap dua orang di depan sana saling mendekap, tangan itu mengusap punggung si wanita kelewat lembut. Sementara nalar yang tersisa mencoba meyakinkan diri, jika yang di depan sana itu memang bukan kepunyaannya. Sehingga tak akan ada baku hantam atau hal-hal tak masuk akal lainnya.

Dan bam!

Untuk pertama kalinya ia salah mengira. Seokjin tak selalu benar ternyata. Nalarnya tentu saja bisa salah, dan itu ia dapatkan sekarang. Wanita yang tampak menunduk-----menyembunyikan rona wajah itu Joohyun. Pikiran picik yang sebelumnya berusaha ia tepis memang benar adanya.

Bae Joohyun dan Kim Suho.

Kepalan di tangannya semakin menguat ketika jemari lentik yang selalu balas menggenggamnya itu bersinggungan dengan jemari kokoh yang lain. Saling bertaut seperti kala bersamanya.

"Berhenti!"

Kedua orang itu menoleh menyisakan sesak pada dada Seokjin. Bukan. Bukan sebab intimnya perlakuan mereka. Tapi, wajah ayu itu--------sejak kapan terasa hampa? Binar cahaya itu tak Seokjin dapatkan kendati maniknya sudah melembut sedemikian rupa. Hanya keterkejutan sebagai balasan untuk kemudian bergegas melepaskan kaitan. Sendu kini menghiasi raut bersalah Joohyun, sebab bukan tampang menenangkan seperti biasa yang ia lihat. Kedinginan, kelelahan, serta ketakutan tampak menyelimuti wajah favoritnya. Sementara amarah kelewat kentara pada dua binar lembut lelakinya tak dapat disembunyikan.

Joohyun masih stagnan di tempatnya-------hanya menurut ketika lengannya ditarik paksa.

"Ayo pulang."

***

Selama melangkah menyusuri jalan setapak itu, hingga keduanya berada dalam satu kendaraan, si pemuda tak mengeluarkan satu patah katapun. Rungunya sunyi sejak tadi, hanya suara nyaring dari tombol sandi kamar yang di tekan beberapa menit lalu.

Hanya ada usapan lembut pada surai hitamnya, sementara bibir si pemuda kembali mengatup rapat semenjak kata pertama yang diucap, "Tidurlah." hanya itu.

"Aku kembali ke hotel, ya." sekali lagi-------usapan lembut juga tatapan datar yang Joohyun terima. Seokjinnya kenapa?

Tak ada jawaban sebab Joohyun masih mencerna. Pelukan tadi. Genggaman tadi. Pertamakalinya ia dapatkan dari seseorang yang bukan Seokjin. Pemuda itu jelas marah, pikirnya.

"Seokjin-ah."

Pemuda yang hampir mencapai pintu itu terdiam. Tanpa menoleh, tangannya tak berhasil mencapai daun pintu------hanya menggantung di udara. Sekali lagi, Seokjin hanya diam pada posisinya. Berdiri mematung hingga pada isakan kedua itu, tubuh juga maniknya beralih tatap. Menumpahkan semua atensinya pada wajah terisak itu. Pun ketika lengan mungil itu membungkus pinggangnya, Seokjin tetap diam.

Hah, helaan nafas berhembus berat dari bibir si pemuda. Dingin terasa ketika jemari kokoh itu melepaskan rengkuhannya secara perlahan. Membimbing tubuh ringkih itu menuju singgasananya. Membuatnya hangat dengan selimut yang kembali melekat sebatas dada, sementara si pemuda tetap tak mempertemukan manik keduanya.

"Kau harus beristirahat, Joo."

Selimut tebal itu kusut di beberapa bagian sebab genggaman Joohyun yang terlampau kuat. Sesak jelas saja ia alami sejak beberapa waktu lalu-----tapi sekarang bukan hanya itu. Kenapa terasa asing? Panggilan itu-----kenapa seperti bukan Seokjin-nya?

"Hei, kau pucat." Joohyun semakin bergetar ketika satu kalimat menyapa. Jemari kekar itu berhenti ketika dengan tiba-tiba Joohyun kembali memeluknya----------tegak ia berdiri untuk meraih tubuh bergetar itu.

"Kau marah." Seokjin tak ingin mengalah kali ini. Hatinya tak begitu siap untuk mendengar segala kemungkinan. Semuanya terasa begitu tabu sekarang.

"Tid----"

"Tetap di sini, aku mohon." []

Practice Makes Perfect ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang