PP-45

6.6K 258 5
                                    

*****

Nadilla duduk termenung di tempatnya. Tidak tahu ada di mana. Dia cuma melangkah mengikuti kakinya saja. Arah tidak jelas, dia tidak ambil pusing. Sakit, itulah yang dia rasakan saat ini. Melihat pria yang dia cintai...masih dia cintai, malah bertunangan dengan gadis lain. Padahal hubungan mereka masih suami istri. Nadilla tidak mengerti, ada apa dengan Dirly sebenarnya. Apakah Dirly sudah benar-benar melepaskannya? Tapi...tapi...kenapa tidak ada pemberitahuan soal ini sebelumnya dari pria itu? Oke, di sini Nadilla yang pergi, tapi dia punya alasan kuat. Dan dia juga mendengar sendiri saat Dirly mengatakan akan terus berjuang mendapatkan cintanya kembali. Tapi apa?! Apa dengan pertunangan ini? Jika begitu, Dirly salah besar!

Ekhem !!

Sebuah deheman membuat Nadilla terlonjak kembali ke kesadaran dan kenyataan. Dia memandang sosok yang duduk di sampingnya. Pria itu sedang nyengir.

"Rendra, ngapain kamu kesini?" Tanya Nadilla memandang sekitar dan baru sadar jika saat ini dia tengah duduk di depan toko yang sedang tutup. Sepertinya tempat service ponsel atau laptop, entahlah.

Rendra nyengir lebih lebar lagi, "aku sedang mengemudi, mau beli camilan. Eh liat kamu bengong sendiri di sini kaya anak kesasar. Jadi daripada kamu di gangguin sama orang gila, mendingan di gangguin sama orang ganteng kaya aku ini, kan?"

Nadilla memutar matanya, jengah dan bosan dengan kenarsisan pria di sampingnya ini, "terserah kamu saja. Udah sana, lanjut aja pergi beli camilan. Hust!" Dia membuat gerakan seperti mengusir ayam.

Rendra berdecak, "yealah, aku udah baik hati, ganteng, pengertian, masa masih di usir juga sih?" Keluhnya.

Nadilla memberikan tatapan yang lebih membosankan lagi.

"Oke oke!" Rendra mengangkat kedua tangannya, "...jadi, kamu mau aku anter pulang atau kita keliling dulu mumpung libur?"

Nadilla tidak langsung menjawab.

"Oh ayolah, jangan bilang kamu mau nolak aku lagi, Dilla. Please, kali ini aja...nanti aku traktir makanan enak, apapun yang kamu mau," desak Rendra yang pantang menyerah.

Nadilla menghela nafas panjang, "baiklah, kali ini aku ikut. Karena saat ini kamu bukan bosku, jadi nggak masalah."

Senyum Rendra sudah selebar Joker saat ini. Dia berdiri, "ayo kalau begitu, mumpung belum terlalu macet."

Nadilla mengangguk dan mengikuti pria itu. Berharap, dengan sedikit udara segar, dia bisa melupakan rasa sakitnya saat ini...

*****

Nadira berdecak, "apaan sih?" Sinisnya pada saat Rillian menarik tangannya begitu dia memasuki unit. Dia bahkan belum melepas sepatunya!

Rillian tak peduli dan terus menarik tangan Nadira hingga mereka sampai di ruang tengah.

"Sekarang apa?" Nadira masih mencoba sabar. Mengingat mereka baru saja berdamai akhir-akhir ini.

"Kemana saja kamu?" Tanya Rillian.

"Aku pergi bareng kak Dilla dan Gian ke tunangan temen," sahut Nadira kesal. Oh dia sangat kesal, tentu saja. Apalagi melihat suami kakaknya di sana. Dan ngomong-ngomong tentang kakaknya.. "kak Dilla belum pulang?"

Rillian menggaruk alis, "bukannya dia pergi bareng kamu dan pria sialan itu?" Jengkelnya.

Nadira menghela nafas, "iya. Tapi tadi dia pergi gitu aja. Aku nggak tahu dia di mana. Ponselnya gak aktif lagi," keluhnya. Nadira berharap kakaknya baik-baik saja. Well, secara psikis memang pasti tidak baik, mengingat pria sialan itu...!!

Mengingat hal itu, Nadira kembali marah dan ingin sekali mencincang Dirly menjadi ribuan keping. Jika saja tadi Gian tidak mencegah, mungkin saat ini akan ada gossip mengenai dirinya yang berlaku anarkis di pesta pertunangan orang lain! Sialan! Nadira gemas sekali! Kenapa Gian harus menahan coba?! Ugh!!

"Apa maksudmu dia pergi tapi kamu nggak tahu?"

Nadira menatap pria di depannya dengan jengkel, tapi dia berusaha sekuat tenaga memasang senyum manis, "aku...well, aku nggak tahu apa-apa." Katanya. Dia tidak mungkin menceritakan hal yang sebenarnya pada Rillian, kan? Pria itu pasti bakal mengejek, pasti itu!!

Rillian melipat kedua tangannya di depan dada, "jadi...setelah Nadilla pergi, kesempatan bagimu berduaan dengan pria sialan itu?!"

Nadira jengkel, "pria itu punya nama! Dan namanya Gian Wijaya! Bukan 'pria sialan'!"

"Aku tidak peduli makhluk itu di beri nama apa," tukas Rillian.

Nadira sangat ingin melemparkan sepatu ke wajah menyebalkan itu.

"Menyebalkan," sungut Nadira.

Rillian mendesah, mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. Dia ingin mengatakan bahwa dia tidak suka Nadira bergaul dengan pria sialan itu. Tapi Rillian tidak tahu bagaimana mengatakan hal itu pada gadis bodoh di depannya ini! Apalagi, mengingat Nadira kelewat polos hingga tidak tahu jika pria sialan itu memiliki niat lain. Pria sialan itu tidak mau cuma berteman dengan Nadira! Rillian tahu itu!

Nadira menghela nafas, dia sangat lelah. Hari ini menguras seluruh emosinya.

"Aku capek. Boleh aku istirahat?"

"Tidak mau nunggu kakakmu?" Rillian balik tanya.

Nadira menekan dadanya yang masih berdenyut tidak nyaman.

"Tidak, aku tahu kak Dilla baik-baik saja. Dia akan pulang, aku tahu itu," kata Nadira.

"Darimana kamu tahu?"

Bahkan sepertinya hari ini, Rillian juga menguras emosi Nadira! Bisa-bisanya pria itu menanyakan hal yang menyebalkan sejak tadi?!

"Pokoknya aku tahu. Udah, jangan ganggu aku dulu. Aku capek. Mau tidur," gerutu Nadira sambil melangkah menuju kamarnya.

"Kencan sebentar saja di bilang capek," dengus Rillian semakin jengkel.

Nadira terbangun karena ada pergerakan di sebelahnya. Dia membuka mata dan melihat Nadilla duduk termenung di sisi lain ranjang. Saling mengaitkan kedua tangannya. Dengan perlahan Nadira beranjak duduk dan menepuk bahu sang kakak.

"Kakak...oke?" Bisik Nadira, dia sadar pertanyaan itu sangat bodoh.

Nadilla menghela nafas, memandang mata sang adik dan tersenyum, "oke. Kakak baik-baik saja."

Nadira tidak percaya. Tapi dia tidak mengatakan apapun lagi mengenai itu.

"Kakak dari mana? Udah makan?"

"Ketemu temen, dia ngajakin main dan yeah, kakak udah makan. Maaf ya, nggak maksud buat kamu cemas."

Nadira menggeleng, "aku tahu kakak baik-baik saja. Kakak kan bukan orang lemah," katanya.

Nadilla nyengir.

Tok tok tok.

"Nyonya Dira? Nyonya Dilla? Di tunggu, Tuan di meja makan!" Suara Narti.

Nadilla tersenyum, "kamu makanlah, kamu pasti lapar, kan?"

Nadira nyengir dan mengusap perutnya yang memang sudah minta di isi, "iya nih. Udah ah, aku mau makan. Kakak bener udah makan?" Dia memastikan.

Nadilla mengangguk, "udah penuh banget. Tadi makan segala macam. Udah sana, nanti malah suamimu yang nyusul ke sini," dia mendorong Nadira keluar kamar.

Nadira berdecak dan melangkah pergi.

Nadilla menutup pintu kamar. Kembali duduk di ranjang dan...

Menangis.

Yeah, cuma itu yang bisa dia lakukan. Dia menyesal mencintai Dirly. Menyesal meninggalkan rumah demi pria itu. Yang dia dapat dari mencintai cuma rasa sakit yang bukannya sembuh malah semakin parah.

Nadilla ingin pulang.

*****

TBC
25022020

Haai..lama ya gak up 😅 padahal baru beberapa hari.

Makasih untuk semuanya dan tetap nantikan part selanjutnya ya meskipun gaje 😅😅😅

Pengantin PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang