PP-19

7.7K 290 5
                                    

*****

Rillian memandang sekeliling Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Tentu saja tidak akan ada yang datang menjemput. Memangnya apa yang dia harapkan? Attar bahkan tidak pernah ambil pusing dia mau pergi ke mana dan sampai berapa lama. Begitupun dengan Keysha, mamanya. Wanita itu sangat sayang pada Rillian, jangan salah. Tapi wanita itu juga tidak mau repot-repot menjadi babysitter sepanjang usia putranya.

Evan menyenggol bahu Rillian dan tersenyum iseng ketika sahabatnya itu menatap malas dan berkata "apa?" Dengan nada super ketus.

Evan cuma terkekeh, "apa kamu mengharapkan kemunculan seseorang secara khusus?" Godanya.

"Tutup mulutmu!" Desis Rillian, melenggang pergi meninggalkan Evan yang selalu membuatnya jengkel belakangan ini.

Rillian segera masuk ke taksi yang baru saja berhenti menurunkan penumpang. Pria itu menyebutkan alamatnya dengan nada ketus karena masih kesal.

Taksi melaju.

Rillian tak peduli sekalipun saat ini ponselnya berdering beberapa kali karena Evan menelponnya. Dia tahu, pria itu cuma akan memprotes karena Rillian meninggalkannya di bandara.

Terserah, aku tidak peduli! Maki Rillian dalam hati.

Perjalan di lewati dengan cukup lancar karena hari sudah hampir tengah malam. Rillian juga sengaja tidak memberitahukan kepulangannya pada siapapun. Toh, tidak ada yang bertanya.

Begitu sampai di depan pintu apartemennya, Rillian malah ragu. Apakah dia harus masuk? Tapi ada sebagian dari dirinya yang mendesak untuk segera masuk.

Sementara di dalam apartemen, Nadira tengah berkutat dengan ponselnya. Dia sedang berchatting ria dengan kakaknya, Dilla. Wanita itu mengirimkan banyak sekali gambar ketika dia bulan madu dengan Dirly di Bali beberapa hari lalu. Nadira cukup senang, sebenarnya dia ingin berkunjung, tapi dia menahan diri. Pernikahan karena cinta itu membutuhkan waktu pribadi jauh lebih banyak ketimbang jenis pernikahan yang Dira lalui dengan...

Nadira mendengus, dia sangat muak jika terus di ingatkan tentang pria yang menjadi suaminya itu. Suami macam apa yang pergi lebih dari dua minggu dan tidak memberikan kabar sama sekali? Oke, Nadira memang tidak peduli dengan kabar suaminya. Tapi kan...karena mereka tinggal satu atap, seharusnya paling tidak, Rillian memberikan satu atau dua kabar padanya!

"Huh. Untuk apa aku memikirkan masalah itu? Sekalipun dia mau pergi ke medan perang, aku tidak peduli. Lebih bagus kalau ada sniper yang mengincarnya!" Kecam Nadira super sinis.

Sudah malam, sebaiknya kamu tidur. Nanti kapan-kapan kita sambung lagi... 😘😘

Nadira tersenyum dan mengetik balasan. Baiklah, selamat tidur, kakakku yang cantik 😘😘

Nadira menyimpan ponselnya di meja nakas dan berbaring telentang, memandang langit-langit kamarnya dengan nanar.

Saat Nadira akan memejamkan mata, dia mendengar suara mbok Narti samar-samar.

"Tuan kenapa nggak bilang kalau mau pulang? Mbok bisa masak makanan kesukaan Tuan."

Kening Nadira mengerut. Tuan? Nadira duduk tegak dengan cepat dan memandang pintu kamarnya.

"Tidak usah repot, Mbok. Lagipula aku tidak lapar dan ini sudah malam," jawab Rillian.

Benar, itu suara Rillian. Nadira hafal betul suara pria itu.

Rillian sudah pulang? Pikir Nadira, ada perasaan yang membuncah aneh di dalam hatinya karena fakta itu. Jika saja dia tidak mengontrol dirinya, dia pasti sudah keluar kamar saat ini juga dan memastikan dengan mata kepalanya sendiri.

Pengantin PenggantiWo Geschichten leben. Entdecke jetzt