PP-33

6.7K 225 3
                                    

*****

Nadira mendengus keras, menatap sosok Rillian yang masih tidak sadarkan diri di ranjang. Dia sudah memanggil dokter, tinggal tunggu dokter keluarga Rillian datang saja. Namun, perlahan tangan Nadira menyentuh kening pria menyebalkan itu. Dia meringis merasakan sensasi terbakar di kulitnya dan cepat-cepat menjauhkan tangan.

Mendesah.

"Aku gak sangka, orang arogan kaya kamu bisa sakit juga." Ujar Nadira.

Tanpa gadis itu sadari, seorang wanita tua memperhatikannya dari celah pintu yang terbuka sedikit. Wanita itu tersenyum dan percaya bahwa dia masih memiliki harapan akan hubungan kedua majikannya.

Beberapa saat kemudian dokter datang. Seorang pria yang sudah berumur. Di lihat dari rambutnya yang ala Einstein itu.

"Bagaimana dia, Dok?" Tanya Nadira begitu si dokter Einstein selesai memeriksa.

"Rillian baik, cuma demam sedikit dan butuh istirahat saja, kok." Pria itu memandang lekat Nadira. Sudah lama dia menjadi dokter keluarga Irawan, jadi dia cukup mengenal keluarga itu. Namun ketika Rillian menikah, waktu itu dia tidak bisa datang. Makanya ini adalah moment di mana dia bertemu dengan istri Rillian secara langsung.

Nadira mendesah lega, "terima kasih, Dokter Thomas."

Dokter Thomas terkekeh, "jangan sungkan. Saya sudah lama menjadi dokter keluarga Rillian."

Nadira cuma tersenyum, tidak tahu harus berkata apa. Tadi juga yang memanggil dokter itu Narti karena Nadira sendiri... dia...

Oke, lupakan!

Mereka berjalan keluar kamar dengan langkah beriringan. Mengobrol ringan seputar kehidupan rumah tangga Rillian-Nadira. Dokter itu tidak tahu, jika itu merupakan topik yang membuat Nadira sebal.

"Bagaimana Tuan, Nya?" Celetuk Narti yang menunggu di ruang depan.

"Baik, cuma demam," sahut Nadira acuh tak acuh.

Narti mendesah lega. Saat tadi Nadira berteriak, dia sudah panik takut terjadi hal buruk pada majikan prianya itu.

"Kalau begitu saya permisi dulu. Jangan lupa resepnya di cari," dokter Thomas tak lupa mengingatkan.

Nadira mengangguk dan mengantar pria itu sampai depan pintu. Di tangannya tergenggam selembar resep yang harus dia tebus. Tapi, Rillian sedang sakit. Lalu bagaimana?

"Biar saya saja yang ke apotik, Nya."

Nadira memandang wanita tua di depannya. Jelas wanita itu sangat menyayangi Rillian, pikir Nadira.

"Nggak apa-apa, Mbok?" Nadira memastikan.

Narti mengangguk, "nggak papa kok, Nya. Kan tuan lagi sakit dan harus di jaga," katanya, padahal dalam hati dia berharap ini adalah waktu yang tepat bagi mereka. Menurunkan ego masing-masing.

Nadira menyerahkan resep di tangannya dan merogoh saku celananya guna mengambil uang.

"Nggak usah, Nya. Mbok kan masih simpen uang belanja dari tuan, udah lebih dari cukup," kata Narti begitu Nadira menyodorkan beberapa lembar uang.

"Begitu?"

Narti mengangguk, "iya. Kalau gitu saya pergi, Nyonya jagain tuan aja di sini."

Nadira mengangguk enggan. Dan dengan langkah yang juga enggan, dia kembali ke kamar Rillian.

"Merepotkan," keluhnya.

Namun Rillian sudah duduk di ranjangnya dan menatap Nadira yang masuk begitu saja ke kamar dengan ekspresi tak terjelaskan.

Pengantin PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang