PP-11

8.6K 316 8
                                    

*****

Sebuah tepukan mendarat begitu saja di bahu Dirly yang tengah memandang jalanan ibu kota di bawahnya. Dia menoleh dan menemukan Bimo, teman satu profesinya. Pria itu duduk di samping Dirly namun tidak cukup gila untuk menggantungkan kakinya ke bawah. Hei, mereka berada di puncak gedung pencakar langit ibu kota! Duduk agak ke belakang dari Dirly. Dan memandang ke bawah juga. Dari sana, lalu lintas kota seperti mainan masa kanak-kanak dulu. Kecil dan mungil.

"Kenapa melamun, sobat? Gue khawatir. Takut jika Lo lompat ke bawah," ujar Bimo.

Dirly menghela nafas. Dia memikirkan kelanjutan hubungannya dengan Dilla, gadis yang...saat ini menjadi tanggungjawabnya. Gadis itu terus mendesak agar mereka cepat menikah. Bukan itu inti masalahnya bagi Dirly. Tinggal menikah saja, apa susahnya? Tapi dia memikirkan jauh ke depan. Menikah bukan sekedar bermodalkan rasa cinta yang menggebu-gebu. Menikah juga harus dipikirkan dengan baik-baik dan...banyak hal yang menjadi pertimbangan. Tapi sepertinya Dilla tidak memahami semua konsep itu.

Bimo menepuk bahu Dirly lagi, "galau karena pacar ya?" Selorohnya. Dirly sudah bercerita cukup banyak pada Bimo. Jadi pria itu tahu...

"Dilla terus saja mendesak agar kami cepat menikah," sahur Dirly lesu.

Bimo terkekeh, "itulah cewek. Belum apa-apa udah ribut pengen di kawinin. Giliran udah kawin? Udah deh, kita sebagai cowok bakal jadi babu mereka," katanya.

Dirly menatapnya, "memang kamu udah pernah menikah?"

Bimo cuma mengangkat bahunya, "gue cuma mengamati banyak pernikahan aja kok. Lo tahu gue masih single," katanya.

Dirly mendesah, "aku gak bisa nikah dengan cara seperti ini. Nikah itu ribet, kan?"

Bimo mengangguk setuju, "bener banget. Kecuali pacar Lo itu mau di bawa susah! Tapi serius, itu bullshit! Semua cewek begitu. Awalnya mereka bilang siap di bawa susah. Tapi kemudian?" Bimo menjulurkan lidah.

Dirly tahu itu. Meskipun saat ini Dilla tidak keberatan hidup kekurangan, tapi ini tidak akan berlangsung lama. Dilla tengah menikmati uang yang di berikan adiknya beberapa waktu lalu. Tapi jika mereka menikah, Dirly juga tidak akan bisa hidup tenang jika istrinya menggunakan uang yang bukan untuknya itu. Harga diri Dirly menjadi taruhannya. Dia bukan pria seperti itu. Selama kakinya masih sanggup berdiri dan melangkah, dia bisa menghidupi dirinya sendiri selama ini tanpa meminta belas kasihan orang lain.

Tapi Nadilla tidak seperti itu. Kekasihnya terbiasa hidup mewah dan serba ada. Bukankah Dirly akan berlaku kejam jika mengajak gadis itu hidup semakin susah setelah menikah nanti?

Arrghhh...Dirly bingung!

Apalagi mengingat ucapan Dilla kemarin malam...

"Apa kamu tidak sungguh-sungguh mencintaiku sehingga masih tidak mau menikah?"

Dirly mencintai Dilla. Itulah yang dia tahu. Meskipun...

Sebuah tepukan di bahu kembali mendarat, membawa Dirly dari dunia lamunan.

"Ayo balik kerja. Mandor udah melotot dari tadi," ajak Bimo, pria itu beranjak lebih dulu.

Dirly mendesah dan mengikuti langkah Bimo. Dia harus kembali bekerja.

*****

Awalnya, Nadilla tidak mau mengganggu privasi Dirly dengan mengotak-atik ponsel pria itu. Dirly meninggalkan benda persegi itu saat berangkat kerja. Tidak sengaja, Dilla tahu itu.

Dilla yang sedang mencari petunjuk dengan sikap Dirly yang suka mengulur waktu, langsung membuka isi ponsel itu. Berharap menemukan apa saja di sana. Perasaan Dilla malah di liputi keraguan soal cinta Dirly untuknya.

Bukankah jika mereka saling mencintai, menikah bukan masalah besar? Kenapa setiap Dilla mengungkit masalah itu, Dirly selalu menghindar dan berkata nanti.

Dilla tidak mengerti.

Dia membuka galeri. Tidak ada banyak foto. Dilla tersenyum ketika menemukan foto kebersamaan mereka. Tertawa bersama dan bahagia. Dia benar-benar merindukan saat-saat itu...

"Di sini tidak ada apa-apa...sebenarnya kenapa sih kamu masih tidak mau kita menikah, Dirly? Menunggu restu orangtuaku? Dirly, kamu tahu seperti apa mereka..." Dilla berbicara dengan ponsel Dirly. Menghela nafas panjang, Dilla kembali menyimpan ponsel di atas meja. "...aku harus bersabar, kan? Itu maumu, kan?" Bisiknya lirih.

*****

Dirly berjalan dengan langkah gontai menuju ke kontrakan. Masih saja memikirkan Dilla dan ajakannya. Dia melewati warung soto dan berpikir lebih baik membeli itu untuk makan malam. Dirly membeli. Namun, sebelum dia memesan, matanya membulat ketika melihat Nadilla ada di dalam kedai soto itu dengan seorang pria berstelan rapi. Gadis itu tidak sadar dengan keberadaan Dirly dan terus berdebat dengan pria di sampingnya yang terlihat tidak senang ada di sana.

"...Di--lla?" Bisik Dirly ketika perdebatan itu berhenti.

Gadis itu menoleh, mengernyit. Ketika itulah Dirly sadar jika itu bukan Dilla. Melainkan...

"Dirly?!"

Dirly menggeleng, "tidak tidak, kamu salah orang. Aku bukan Dirly. Oke, bye!" Dia memutuskan keluar kedai dan merutuki kebodohannya. Kenapa dia lupa jika Dilla memiliki saudari kembar?!

Dirly mengingat pria di samping Nadira. Tampan dan terlihat sangat kaya. Dia sempat mendengar Nadira menyebut nama pria itu. Rillian. Artinya pria itu adalah pria yang seharusnya menikah dengan Dilla... Menyadari itu, perasaan Dirly semakin kacau. Dia tidak ada apa-apanya jika di bandingkan pria tadi. Andai Dilla menikah dengan Rillian, gadis itu pasti tidak akan kekurangan.

Dirly pulang. Dilla tengah menata makan malam. Gadis itu tersenyum lebar dan menghambur memeluk Dirly, "aku kangen. Nah ayo makan, aku masak soup," katanya sambil melepas pelukan.

Dirly menatap Dilla dalam diam. Mengingat lagi kehidupan macam apa yang seharusnya di miliki gadis itu.

"Hei, kamu kenapa?" Dilla mengusap pipi Dirly yang terasa dingin.

Dirly menepis tangan gadis itu, hatinya berdenyut aneh. Nadira terlihat sangat cantik dan terawat dengan pakaian mahal itu. Sementara Dilla? Lihatlah gadis itu! Hanya menggunakan kaos dan jins murahan yang di beli Dirly beberapa waktu lalu. Wajahnya polos, tidak memakai riasan apapun...

"Dirly, kamu ada masalah? Cerita lah padaku, hm?" Bujuk Dilla cemas.

Dirly menggeleng, "tidak ada," katanya dengan suara terkontrol. Dia bergerak untuk mengganti baju.

Tapi Dilla tidak menyerah, mengikuti Dirly, "tapi kamu terlihat stress dan seperti banyak masalah. Kenapa kamu tidak mau cerita? Aku kan pacarmu, kita harus saling menguatkan," desak Dilla.

Dirly menatapnya, "sudah?" Ketusnya.

Dilla mengerjap, "apanya?" Tanyanya bingung.

"Semua ocehanmu itu, sudah?! Aku muak Dilla!" Bentak Dirly.

Dilla mundur, syok. Dirly tidak pernah bicara sekeras ini padanya.

Matanya berkaca-kaca.

"Kamu membuatku muak! Aku pusing, jadi bisa diam tidak?!" Bentak Dirly lagi.

Dilla menghapus air matanya yang terjatuh. Tidak menyangka jika Dirly akan semarah ini. Padahal dia cuma mencemaskan pria itu.

"Jangan nangis! Bukankah kehidupan semacam ini yang kamu mau?!"

Dilla menggigit bibir dan berlari keluar sambil menghapus air matanya.

"Brengsek!" Dirly menjambaki rambutnya sendiri dengan frustasi.

*****

TBC
16122019

Jangan lupa voment ya 😉😘

Pengantin PenggantiWhere stories live. Discover now