PP-08

9.1K 348 9
                                    

*****

Nadilla memasak nasi goreng agar Dirly bisa sarapan. Memasak meskipun dia tidak ada bakat di bidang itu. Adiknya lebih bisa bekerja di dapur daripada dia. Tapi dia mau berusaha. Dia tidak mau terus-terusan menjadi beban untuk sang kekasih. Memasak adalah demi untuk penghematan agar mereka tidak membeli makanan di luar yang harganya bisa di bilang mahal dengan keuangan Dirly yang tidak tentu. Bekerja serabutan, apa saja untuk menghidupi mereka. Perlahan Dilla tidak tega juga melihat pria itu banting tulang sendirian sementara dia hanya diam di kontrakan.

Nadilla tidak mau menjadi beban. Meskipun Dirly tidak pernah mengeluhkan hal itu. Dirly adalah pria yang sangat baik dan pengertian. Dilla sungguh tidak mengerti kenapa orangtuanya tidak menyukai Dirly dan membuat semua kesulitan ini. Dia tidak akan kabur jika orangtuanya memberikan restu...

Nadilla menggeleng, kenapa aku malah menyalahkan mereka? Yang harus aku lakukan cuma tetap yakin dan menunggu waktu supaya Papa dan Mama mau menerima hubungan kami.

"Sayang, kamu masak apa?" Dirly tiba dan memeluk Dilla dari belakang.

Gadis itu terkekeh, "nasi goreng...ini aku lagi aduk-aduk," katanya kegelian saat Dirly mengusapkan janggutnya yang baru tumbuh ke leher Dilla, "...Dirly, jangan. Nanti masakannya tambah kacau. Mending kamu mandi terus makan deh, sana ah."

Dirly tergelak dan menuruti perintah kekasihnya, "baiklah, Ratuku. Ucapan Anda adalah hukum," katanya.

Wajah Dilla memerah. Dirly memang paling bisa membuat hati dan jantungnya kebat-kebit. Belum lagi rona di wajahnya yang tak kunjung hilang.

Beberapa saat kemudian...

"Makanan datang! Selamat makan!" Seru Dilla, menghidangkan sepiring nasi goreng pada Dirly, lengkap dengan telor ceplok setengah gosong. Gadis itu tersenyum malu saat Dirly menatapnya dengan sorot geli, "hehhe maaf agak gosong," katanya.

Dirly tersenyum, mulai menyuap. Dilla menatap pria itu was-was namun penuh harap. Memperhatikan ekspresi Dirly baik-baik. Ini adalah masakan perdananya.

"Gimana?" Bisik Dilla.

Dirly menelan dengan susah payah, memaksakan senyum, "enak kok. Enak banget malah."

Dilla tersenyum senang, "habiskan habiskan. Aku masak spesial untukmu," ujarnya bersemangat.

Dirly tersenyum lirih, mulai makan. "Ya Tuhan, asiiin...!" Jeritnya dalam hati.

Tapi Dirly menghabiskan nasi goreng itu tanpa tersisa. Dia berdiri, "aku berangkat ya. Udah mau jam tujuh, nanti mandor marah kalau aku telat."

Dilla mencium pipinya, "hati-hati. Nanti aku masak makanan kesukaanmu untuk makan malam," katanya genit.

Dirly tidak menjawab, hanya dia harus mengingatkan dirinya sendiri untuk mempersiapkan mental malam nanti.

*****

Kamu luar bisa, Rillian. Papa bangga padamu karena sudah bisa menaikkan harga saham kita.

Rillian berkali-kali membaca pesan itu tanpa niat membalas. Itu adalah pesan dari ayah mertuanya. Harry Aurelie. Pria itu senang karena harga saham kedua perusahaan mereka meningkat fantastis. Rillian mendengus, mengingat lagi segala usahanya untuk sampai ke titik ini. Gosip tidak menyenangkan beberapa waktu lalu dia hempas jauh, membalas media dengan kemenangannya menangani mega proyek dari perusahaan terbesar di Asia.

Tidak ada yang bisa memandang remeh padaku lagi, pikir Rillian puas.

Rillian melihat jam di ruangannya. Sudah pukul sembilan malam. Sudah dua hari dia tidak pulang ke apartemen. Sejak konfrontasinya dengan Nadira, dia menjadi malas menghadapi gadis itu lagi. Selama dia tidak mendapat laporan tentang perbuatan gadis itu di luar sana, dia bisa bernafas lega.

"Apa aku harus pulang?" Bisik Rillian pada udara kosong.

Lima menit kemudian, pria itu memutuskan untuk pulang. Dia yakin Nadira sudah tidur atau mungkin ada di kamarnya di jam seperti ini. Dia sampai apartemen jam sudah menunjukkan pukul sebelas lewat beberapa menit.

Tentu saja apartemen dalam keadaan gelap ketika Rillian masuk. Dia menekan saklar yang terdapat di dekat pintu.

Lampu menyala.

Rillian mendengus begitu melihat sosok yang tertidur di sofa. Mengenakan piyama berkarakter.

"Hei...bangun! Pindah sana!" Seru Rillian jengkel.

Alih-alih bangun dan pindah, Nadira malah menggeliat dan memunggungi Rillian, kembali mendengkur.

"Tch! Sungguh merepotkan!" Gerutu Rillian.

Maunya, Rillian tinggalkan saja Nadira tetap tidur di sofa. Dia bahkan sudah berlalu menuju ke kamarnya. Tapi sebelum membuka pintu kamar, pria itu kesal sendiri. Sambil menggerutu, dia mulai menggendong Nadira ala bridal.

"Sungguh! Apa yang kamu lakukan tidur di sofa begitu, heh?" Sungut Rillian pada Nadira yang tidur.

"Hmm..erh...hn...nyam..." Nadira mengoceh.

Rillian menggeleng pelan, masuk ke kamar Nadira dan membaringkan gadis itu di atas kasur.

Saat posisinya berada di atas Nadira, dia bisa melihat dengan jelas. Bahwa gadis itu sebenarnya cantik. Hanya saja, Rillian tidak peduli.

Rillian mengerjap.

Nadira membuka matanya dan langsung membelalak.

Detik berikutnya Nadira berteriak keras sekali. Untung apartemen kami kedap suara, pikir Rillian.

"Apa yang kamu lakukan di sini?!" Bentak Nadira, langsung berdiri dan memberikan tatapan tajam pada pria yang sudah berbuat tidak senonoh padanya.

Rillian mundur, "aku cuma memindahkanmu, karena tadi kamu tidur di sofa, kan?"

Nadira mengerjap, berusaha mengingat apa yang terjadi. Dia ingat. Sudah dua malam ini dia tidur di sofa karena menung--tidak tidak TIDAK!! Nadira tidak menunggu siapapun! Dia cuma ingin tidur di sofa, itu saja.

Rillian melipat kedua tangannya di depan, "jadi, kamu tidak berterimakasih?" Sarkastis.

Nadira berdehem, gugup, "tidak. Karena aku memang sengaja tidur di sana. Bilang saja kalau kamu mau berbuat yang tidak-tidak padaku." Elaknya.

Rillian memutar matanya, "berbuat yang tidak-tidak?" Ulangnya muak.

Nadira mengangguk, "iya! Kamu kan udah pernah menciumku tempo hari! Siapa tahu kamu mau melakukan hal lebih kali ini!"

Rillian menggaruk rambutnya yang tidak gatal, "yang benar saja! Meskipun hal itu terjadi, kita kan sudah menikah!"

Nadira melotot tidak terima.

"Tapi aku pastikan, itu tidak akan terjadi. Aku tidak akan menyentuhmu! Paham?"

Nadira mengerjap. Melihat Rillian yang sepertinya sudah sangat marah dan frustasi. Tapi ada rasa seperti tersentil di sudut hatinya mendengar penuturan Rillian tadi.

Tidak akan menyentuhku? Apa aku tidak menarik ya...?

Nadira menggeleng, berusaha menguasai diri, "aku mikir apa sih? Aku tidak peduli meskipun dia tidak menyentuhku. Malah bagus!" Gadis itu berbisik sendiri sambil memukuli kepalanya.

Rillian menyeringai, "jadi kamu berharap aku menyentuhmu?"

Nadira memandang pria itu dengan syok, "kamu bisa tahu apa yang aku pikirkan?"

"Tch! Kamu mengucapkannya cukup lantang!" Jengkel Rillian.

Nadira mengerjap, "masa?" Gumamnya.

Rillian menggeleng, dia sangat lelah, menghadapi Nadira cuma membuatnya tambah lelah, "sudahlah, terserah padamu. Aku mau tidur," dan pria itu keluar kamar.

Nadira mematung di tempatnya, "aku kenapa ya?" Dia menyentuh pipinya yang terasa kaku dan melangkah ke depan cermin, "aku tersenyum? Kenapa?" Bisiknya.

Nadira sungguh tidak mengerti dengan dirinya sendiri saat ini.

Aneh.

*****

TBC

11122019
Jangan lupa voment 😊😊😉

Pengantin PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang