PP-12

8.3K 302 6
                                    

*****

Nadilla duduk di halte tidak jelas. Karena dia tidak tahu nama daerah itu. Hari juga mulai beranjak gelap. Gadis itu masih terus mengusap air matanya yang tidak kunjung berhenti. Beberapa orang yang lewat memperhatikannya dengan raut bingung namun Dilla berusaha tidak peduli. Setelah sekian lama dia berhubungan dengan Dirly, rasanya baru kali ini pria itu marah. Padahal Dirly adalah orang yang pengertian dan penuh kasih. Dilla masih tidak mengerti di mana letak kesalahannya. Kenapa Dirly marah padanya...

"Harusnya aku tidak boleh menangis. Harusnya aku tidak pergi...hiks..." Dilla kembali menghapus air matanya.

Mendadak Dilla merindukan mamanya. Yang meskipun sangat dramaqueen. Wanita itu selalu sayang padanya dan mendengarkan segala keluh kesahnya. Dilla juga merindukan sang adik. Tapi dia meninggalkan ponsel di kontrakan karena ketika berlari tadi dia tidak memikirkan benda itu sama sekali. Belum lagi dia juga tidak memiliki uang sepeserpun.

"Kenapa aku seidiot ini?" Bisik Dilla yang mulai cemas sendiri karena hari sudah gelap. Sayup-sayup dia mendengar suara adzan berkumandang di tengah riuhnya suara klakson kendaraan.

Menarik nafas panjang, Dilla memutuskan untuk kembali berjalan. Setidaknya dia bisa berjalan kaki menuju tempat yang jauh lebih baik daripada duduk di pinggir jalan dengan resiko bertemu dengan keluarganya yang sangat dia hindari. Untuk saat ini dia tidak mau pulang ke rumah. Tidak, jika rumah itu masih menolak sosok Dirly.

Kadang Dilla juga tidak mengerti kenapa orangtuanya berkeras menolak Dirly. Apalagi papanya yang terus mengatakan Dirly bukan pria baik. Padahal, bertahun-tahun kebersamaannya dengan pria itu, Dirly bersikap sangat baik dan bertanggungjawab.

Kecuali sore tadi, Dirly marah...pada Dilla dengan alasan yang tidak di mengerti olehnya.

"Aku harus pergi ke mana?" Dilla bertanya pada udara kosong sambil memegangi perutnya yang terus berbunyi nyaring, "lapar..." Keluhnya ketika melihat banyak kedai makanan yang mulai ramai di serbu pembeli.

Dilla menarik nafas panjang dan terus melangkah meskipun kakinya sudah bergetar hebat karena terlalu lama berjalan. Mengabaikan rontaan suara perutnya yang semakin nyaring dan juga sakit hatinya akan perlakuan Dirly tadi. Dia akan kembali jika sudah lebih tenang. Dia tidak mungkin meninggalkan Dirly.

Dilla sangat mencintai Dirly.

"Dilla!"

Langkah Dilla terhenti ketika melihat sosok di depannya. Dia berdiri bagai patung marmer.

Sosok itu adalah Dirly. Terlihat lelah dan frustasi. Tanpa pertimbangan, pria itu berlari dan memeluk Dilla erat.

"Maafkan aku," bisik Dirly.

Dilla seketika kembali menangis dan balas memeluk Dirly, "aku tidak tahu salahku apa..."

"Maafkan aku," kata Dirly lagi, memeluk semakin erat.

Dilla menangis.

*****

Nadira berdecih, "kalau kamu terus saja protes, untuk apa tadi kamu memaksa ikut, tuan Rillian?" Sinisnya.

Rillian menatap Nadira dengan sorot meremehkan yang selalu membuat Nadira sebal setengah mati.

"Aku tidak mau kegiatanku terganggu oleh telpon yang mengabarkan kamu melakukan hal yang tidak-tidak lagi. Tidak, Dira."

Nadira melotot, "kapan aku melakukan hal yang tidak-tidak, heh?" Dia kesal, kenapa sih Rillian selalu membuatnya emosi dan selalu marah?! Dia tidak yakin jika Tuhan menciptakan makhluk itu cuma untuk membuat hidupnya sial.

Tuhan tidak jahat kan?

Rillian melipat kedua tangannya, "lihat? Kamu malah ngotot membeli itu--" dia menunjuk soto yang masih tergeletak di atas meja, "--di pinggir jalan. Bayangkan bagaimana jika rekan bisnisku melihat?"

Nadira memutar matanya, "kamu berlebihan. Mana mungkin rekan bisnis sialanmu itu membeli di tempat seperti itu?" Oloknya.

Rillian mendelik marah, kemudian seringai serigala itu muncul lagi di wajah menyebalkan itu. Membuat Nadira mundur dengan sikap waspada.

"Ada apa dengan ekspresi tidak manusiawimu itu?" Tanya Nadira.

"Pria tadi siapa?"

"Hah?" Nadira kaget dengan pertanyaan yang tidak di sangka-sangka itu.

Rillian maju selangkah, tentu saja Nadira mundur dua langkah.

"Aku tanya siapa pria tadi? Yang memanggilmu Dilla?"

Nadira tidak menjawab. Dia cukup mengenal Dirly karena beberapa kali pernah bertemu pria itu. Tadi, jika dia tidak ingat ada Rillian bersamanya, Dira pasti sudah akan mengejar Dirly dan memaksa untuk membawanya ke tempat sang kakak.

"Apa pria itu kekasih Dilla?" Tebak Rillian tepat sasaran.

"Bukan urusanmu," sungut Dira, dia duduk di meja makan dan mulai mengurusi soto yang dia beli tadi. Meskipun sudah agak dingin, dia tetap memakannya.

"Tch! Meskipun kamu mengelak atau menghindar, tapi aku sudah bisa menebak jika pria tadi adalah pacar kakakmu tercinta. Pria menyedihkan seperti itu, selera Dilla buruk juga," ejek Rillian.

Nadira berusaha mengabaikan ocehan pria itu dan terus makan meskipun kemarahannya mulai bergemuruh.

Melihat sikap Dira, justru membuat Rillian semakin ingin menghina lebih jauh lagi.

"Jadi aku sudah tahu kehidupan macam apa yang di jalani Dilla di luar sana. Hidup dengan pria tidak jelas itu, apa yang bisa di harapkan, bukan begitu?" Rillian memulai.

Nadira tahu jika Rillian mencoba memancing emosinya.

"Menurutmu apakah aku harus memberitahu papamu tentang ini?"

Nadira mendongak.

Rillian menyeringai, "menyedihkan. Aku tidak akan begitu, tenang saja. Aku cuma akan menonton sampai mana drama keluarga kalian," ejeknya.

"Apa kamu tidak bisa diam?" Tanya Nadira.

"Aku akan diam saat aku ingin diam, karena aku tidak memiliki siapapun untuk aku patuhi," sahut Rillian santai, setelah mengatakan itu, Rillian melenggang menuju ke kamarnya.

"Pria menyebalkan. Semoga tidak ada yang betah hidup lama-lama denganmu, bajingan!" Umpat Nadira dengan suara keras, dia memang sengaja agar Rillian mendengar.

Dan Rillian memang mendengar, namun alih-alih marah, pria itu terus berjalan sambil menyeringai.

*****

Dirly berangkat sedikit lebih siang. Tapi dia sudah meminta ijin pada mandor untuk itu sehingga dia tidak perlu takut di berhentikan. Banyak hal yang harus di bicarakan dengan Dilla. Dirly akhirnya setuju untuk menikah dua minggu ke depan. Meskipun dengan acara yang amat sederhana. Yang terpenting sah. Itu saja yang Dilla inginkan. Dirly tidak bisa menolak...

"Dirly!"

Langkah kaki Dirly terhenti, mendongak pada seseorang yang berdiri beberapa meter di depannya.

Senyuman itu...

"Hei, long time no see!"

Dirly cuma terdiam. Bayang-bayang masa lalu kembali menyergapnya bagai oksigen.

Dirly tidak pernah berpikir akan bertemu dengan orang ini lagi, bahkan dalam mimpi sekalipun.

Tidak pernah.

"Hei, aku sangat merindukanmu."

Dan tubuh itu menerjang Dirly dalam perlukan yang sangat erat.

Dirly cuma bisa mematung.

*****

TBC
16122019

Jangan lupa voment ya 😘😘😉

Pengantin PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang