09. Confession

1.8K 173 3
                                    

Harapan itu ada untuk diwujudkan. Berkali-kali Ester menekankan hal itu pada dirinya sendiri. Walau dia tahu harapannya terlalu mustahil, tapi setidaknya Ester tidak pernah berhenti berusaha. Selain itu, manusia memiliki banyak harapan berbeda, tapi hanya sedikit dari mereka yang bisa mewujudkannya. Karenanya dia percaya diri bahwa suatu saat nanti impiannya akan terwujud.

Namun, ada satu hal yang masih mengganggu pikirannya. Waktu. Kapan kira-kira impiannya akan terjadi? Bagaimana jika sebelum itu terwujud, Ester terlebih dahulu meninggalkan dunia? Terlebih saat Ester menghitung uang yang ada di celengannya semalam, jumlahnya masih jauh dari kata cukup untuk melakukan operasi mata.

Ya, itulah satu-satunya harapan seorang Ester Bell. Melakukan operasi mata untuk kemudian melihat indahnya dunia yang hanya bisa dia dengar selama ini.

"Apa yang sedang kau lamunkan pagi-pagi begini?"

Secepat kilat suara itu menarik Ester kembali ke dunia asalnya. Gadis itu tersenyum tipis sembari menoleh ke kanan, asal suara itu datang. "Bukan apa-apa."

"Bukan apa-apa, tapi kenapa kau menangis?"

Ester secara otomatis menyentuh pipinya sendiri. Dan dia baru sadar kalau sejak tadi dirinya menangis. "Ah, kenapa aku menangis?"

Drake menghela nafas kemudian menghampiri gadis yang tengah berdiri di depan meja dapur rumahnya itu. Memperhatikan wajahnya lekat-lekat kemudian menyeka air mata Ester dengan tangannya. "Orang bijak pernah berkata, kalau kau menangis tanpa sadar, berarti apa yang ada di pikiranmu saat itu adalah hal yang benar-benar membuatmu lelah."

Ester mengangkat sebelah alisnya mendengar itu. "Benarkah? Siapa orang bijak yang mengatakannya?"

"Aku." Drake menjawab singkat.

Ester menutup mulutnya, tapi gadis itu tetap tertawa. Tawa yang semakin lama semakin keras.

Drake di hadapannya menatap kesal kepada Ester. Pasalnya pria itu bersungguh-sungguh saat mengatakannya. Namun, tak ayal kemudian Drake ikut tertawa. Merasakan kekonyolannya sendiri yang baru dia sadari. Sekaligus senang karena bisa membuat Ester terhibur.

"Kau ini lucu sekali, Drian." ucap Ester dengan sisa-sisa tawanya.

"Sudahlah, jangan menangis lagi." Drake mengelus puncak kepala Ester, membuat gadis itu membeku. "Sekarang ceritakan padaku, apa yang membuatmu bersedih?"

"Sudah kubilang tidak apa-apa, bukan hal yang penting."

"Kalau begitu aku akan menunggu sampai kau siap bercerita padaku." Drake mengerti, kalau dirinya belum terlalu Ester percaya untuk menanggung semua beban yang ada di dalam pikiran gadis itu.

"Apa kau sudah sarapan?" tanya Ester, sengaja mengalihkan pembicaraan.

"Tidak." Drake menjawab jujur.

"Kebetulan sekali." Ester tersenyum lebar, kemudian mundur dan mengambil dua buah piring dengan makanan di atasnya yang dia simpan di atas meja dapur. "Aku baru saja selesai memasak. Kita bisa sarapan bersama."

"Kenapa kau tidak menungguku dan sarapan di restoran seperti biasa?" tanya Drake.

"Hei, jika setiap hari kita sarapan di restoran, kau akan kehilangan banyak uang demi suatu hal yang tidak berguna." jawab Ester.

"Aku tidak akan jatuh miskin, walau memberimu makan selama sisa hidupmu."

"Aku tidak mengerti pola pikir orang kaya, tapi apakah kau sangat keberatan makan makanan rumahan, Drian?"

"Tentu saja tidak." jawab Drake.

"Kalau begitu, cobalah masakanku." Ester duduk di kursi meja makan disusul oleh Drake di sampingnya.

TRAPPED BY MR.MAFIAOnde histórias criam vida. Descubra agora