t w e n t y s e v e n

703 166 59
                                    

[27]
Issue

...

"MAKANYA BELAJAR!"

Raja memejamkan mata, tubuhnya terlonjak kaget mendengar bentakan keras yang ditujukan ke arahnya itu.

"Raja belajar, Pah...," lirihnya pelan, menundukkan kepalanya takut.

"Ini hasil yang kamu bilang belajar itu?!" bentak sang ayah, menyodorkan kertas laporan nilai di tangannya yang sudah lecek karena diremas-remas.

Penurunan nilainya yang begitu drastis membuat pihak sekolah prihatin, dan berakhir mengirimkan sebuah surat peringatan kepada kedua orangtuanya.

Sang ayah, terbang jauh-jauh dari Jerman, hanya untuk memberinya pelajaran. Mengharapkan untuk memberi efek jera yang sepertinya berhasil.

"Nilai macam apa ini?!" teriak pria tua itu, melemparkan gulungan kertas di tangannya ke kepala sang anak. "Kamu niatnya mau malu-maluin saya ya? Kamu minta saya pukul?!"

Raja sontak menggelengkan kepalanya. "Maaf, Pah."

"Kalo kamu beneran mau minta maaf, ubah nilai kamu itu!" tunjuk sang ayah tepat ke depan wajahnya. "Tahu apa, ga ada gunanya kamu ubah nilai kamu sekarang! Nama saya sudah terlanjur jelek di mata orang-orang! Di mata sekolah kamu!"

"Raja bakal belajar lagi, Pah."

"Cuma itu janji yang bisa kamu berikan ke saya?! Setelah saya hidupin kamu selama ini?! Kamu minta dicap anak tidak berguna?!" bentak pria itu, mengangkat tangan nyaris saja melayangkan pukulan ke wajah putranya itu.

Raja meringis cepat, sudah pasrah jika harus dibuat babak belur hari ini.

Beruntung sang ayah masih waras, ia mengurungkan niatnya menghajar putra bungsunya itu, dan berkacak pinggang. "Kenapa kamu ga bisa tiru sedikit kakak kamu? Kamu tahu seberapa bangga saya dan ibu kamu setiap kali melihat laporan prestasi dia?"

Raja menundukkan kepala.

"Apa kamu tidak mau seperti dia?" tanya sang ayah lagi. "Kamu ga mau membanggakan orangtua kamu? Hm? Kamu mau jadi berandal? Karena kalau kamu mau jadi berandal, lebih baik kamu angkat kaki saja dari rumah ini. Sekaligus dari silsilah keluarga ini. Karena saya ga butuh anak yang berandalan."

"Maaf, Pah. Raja janji bakal belajar lagi."

"Sudah sepantasnya janji kamu begitu!" kata pria itu. "Kali ini kamu ga bakal saya hajar, karena kamu sudah besar. Tapi lain kali saya mendapatkan laporan yang serupa, siap-siap untuk mati, anak sialan."

Raja menggigit bibir.

Pria itu mengamit pegangan kopernya. "Jangan tidak tahu diri. Belajar yang benar kalau masih mau hidup dari uang saya," lanjutnya sinis.

Raja mengangguk patuh, lagi-lagi tak kuasa melawan.

"Saya tidak punya waktu untuk ngurus anak kurang ajar kayak kamu. Sadar sendiri," lanjut sang ayah, sambil mengecek jadwalnya di ponsel. "Dan kalau saya tahu kamu sifatnya akan seperti ini setelah dewasa, saya tidak akan membiarkan kamu menyimpan nama itu."

Raja mengerjap pelan, berusaha mati-matian menahan air matanya.

Namanya adalah satu-satunya hal yang ia sukai dari dirinya sendiri. Namanya yang begitu mulia, begitu megah, dan begitu langka.

Ia menganggap nama itu sebagai hadiah dari kedua orangtuanya, sebagai bukti kalau mereka setidaknya pernah menaruh harapan baik kepadanya.

Padahal Raja pun tahu, darimana asal nama itu.

Exam Service Provider | 02-04lineWo Geschichten leben. Entdecke jetzt