s e v e n

1.1K 253 16
                                    

[7]
The Masterpiece

...

VANESSA salah, ketika mengatakan bahwa Samuel adalah mantan kekasih Yovita.

Samuel bukan mantan Yovita, Samuel mantan Iris, tetapi perasaan benci gadis itu kepadanya sama setara dengan perasaan benci kepada mantan-mantannya.

"Lagian uda berapa kali gua bilang sih, kalian engga cocok?!" seru Yovita waktu itu, emosi membuat darahnya mendidih sampai ke ubun-ubun.

Iris hanya mengangkat bahunya enteng, mengisap jus alpukat miliknya dengan pipet. Ia tidak terlihat terganggu sama sekali dengan ucapan temannya itu, maupun dengan fakta bahwa ia baru saja diputuskan kekasihnya beberapa detik yang lalu.

"Uda gue bilang dari awal, Samuel Baladewa itu pengecut! Gimana caranya dia bisa mutusin lo di depan publik kayak gitu?! Pengecut, kurang ajar, bajingan, ARGGHHHH!"

Iris menghela napas berat, merapikan poninya yang sedikit berantakan dengan mengandalkan pantulan dari gelas jusnya. "Biarin aja dah. Lagian kenapa lu yang marah?" Ia tertawa kecil. "Gue yang diputusin kok."

Yovita menatapnya dengan mata melotot. "Hei, Iris Latisha Putri. Pacaran sama Samuel bikin sirkuit otak lo rusak ya? Gue itu sahabat lo. Gue berhak marah."

Iris tertawa kecil. "Iya gue tahu. Marah aja semau lo. Gue pun ga peduli lagi sama dia."

Kalau Iris ditanya apa ia terima-terima saja dipermalukan di muka umum seperti itu, jawabannya adalah tidak. Ia tidak terima. Ia juga tersinggung, marah.

Tetapi di sisi yang lain, Iris juga sudah tidak ada rasa dengannya. Perlakuan yang awalnya manis dan membuatnya berbunga-bunga, kini terasa hambar. Lebih parah lagi, perlakuan itu sudah nyaris tidak pernah ada.

Kesibukan dijadikan alasan oleh Samuel untuk minta bubar. Iris juga tidak peduli. Lagian punya pacar dan tidak punya pacar, rasanya sama saja.

"Bukan itu ajaaaa!" seru Yovita nyaring, mengundang satu dua tatapan sinis dari meja yang lain. Tetapi mengenal watak Yovita, gadis itu tidak peduli. Malah saking kesalnya ia sampai menjambak rambutnya sendiri.

Yovita bisa menerima kalau Iris dan Samuel putus karena ketidakcocokan mereka. Lagipula dari awal ia sudah tidak suka dengan Samuel.

Apa yang benar-benar membuat emosinya memuncak adalah mengapa memutuskannya di depan umum?

Bukannya kejadian seperti ini sebaiknya dilakukan secara pribadi, di tempat yang terisolasi? Yovita yakin Iris ingin menangis - padahal sebenarnya tidak - tetapi gadis itu tidak ingin terlihat lebih menyedihkan lagi.

Yovita tidak pernah melihatnya dengan mata kepala sendiri, tetapi ia tahu kasus tindas-menindas itu ada. Dan ia tidak ingin Iris menjadi korbannya.

Seperti sekarang, ia sudah mendengar belasan sindiran verbal dari meja-meja lain ditujukan kepada sahabatnya itu yang malah asik makan batagor.

Untuk satu minggu ke depannya setelah hari itu, Yovita lengket dengan Iris, kadang sampai membuat gadis cantik itu risih.

Kalau ada yang berani menyindir atau mengungkit-ungkit hal itu dengan tujuan mengejek, Yovita yang akan marah. Banyak yang menjadi ragu hendak mengganggu Iris setelah itu, karena ada Yovita yang galak di sisinya.

"Iris, lo benar-benar harus cari cowo baru," kata Yovita ketika lagi-lagi menangkap basah temannya melirik Samuel yang baru saja berjalan melewati kantin dengan teman-temannya.

Iris tersenyum. "Ngaca, Yovita Maheswari."

Yovita mendecih, melipat kedua tangannya tak lupa mengibaskan rambutnya sekali. "Gue punya banyak stok cowo, tinggal milih doang."

Exam Service Provider | 02-04lineWhere stories live. Discover now