14 | Raskal

507 49 18
                                    

Kemaren tetangga gue baca cerita ini tapi nggak vote dulu, besoknya mencret-mencret kayak Shanum😷😷 kalian mau ngikutin jejaknya? Kalau nggak, vote ya. Thank u 😚😚

. . .

Betewe boleh minta review untuk cerita ini? Nanti aku taro di blurb biar kayak cerita-cerita ngehits pada umumnya :p

.

.

.

Qia tidak mungkin salah dengar, tetapi pada saat dia menanyakan lebih lanjut mengenai ucapan Raskal, cowok itu malah mengalihkan topik. Ketika disinggung lagi, Raskal justru mencari topik lain. Bahkan sampai berhari-hari, sampai menjelang UTS, otaknya tidak mampu bekerja dengan baik.

"Allahuakbar!" serunya, gemas.

Berkali-kali Qia mengirim pesan, berharap mendapat respons, tetapi seniornya itu tetap bungkam seribu bahasa-kecuali untuk pertanyaan lain.

Qia menghela napas pasrah.

Dua minggu berlalu, ketika dia menemukan figur Raskal duduk di sudut kantin, dia langsung menyerbu cowok itu dengan beragam pertanyaan seputar Noah, tetapi seperti biasa, seniornya itu mendadak tuli dan malah mesam-mesem sendiri.

Qia otomatis berdecak. "Ihh, Kakak! Aku serius."

"Saya juga," sahut Raskal. "Tapi 'kan kita belum lulus. Kamu sabar, ya?" Tangan besarnya terulur-diusapnya puncak kepala Qia dengan sayang. "By the way, besok saya mau ajak kamu."

"Ke mana?"

"Ketemu Papa."

"Tapi ...."

"Nggak ada kata tapi untuk nemuin calon mertua," potong Raskal, gerakkan tangannya terhenti.

Qia mendengkus.

"Aku balik ke kelas dulu, ya!" pamitnya, seraya bangkit, lalu pergi. Namun ternyata bukan untuk ke kelas, alih-alih justru menemui Monik di sebuah cafè. "Ada apa lagi, sih?"

"Kal ...." Monik meraih jemari tangan Raskal, "Aku mohon jangan kayak gini. Aku tahu, aku salah. Seharusnya waktu itu aku jujur sama kamu, tapi di sisi lain, aku takut-"

"Aku nggak suka dikasihani!" penggal Raskal. Sorot matanya menajam. "Dan asal kamu tahu, aku udah nemuin pengganti kamu."

"Siapa? Cewek barbar itu?" sengit Monik, mengurai genggaman tangannya. Lalu punggungnya disenderkan pada kursi. "Dia bukan yang terbaik, Kal. Dia bisa bawa pengaruh buruk buat kamu."

"Baik dan buruk itu cuma soal waktu. Setiap orang bisa berubah." Raskal menangkis dengan telak. "Kalau kita pengin punya pasangan baik, kita harus bisa menyalurkan energi positif. Kalau kita pengin punya pasangan mapan, kita harus sabar menemani dia berjuang. Bukan cuma nuntut ini-itu," sindirnya, mengilasbalik hubungannya dulu.

"Ooh, ceritanya nyindir?"

"Ngerasa?"

Monik mendengkus.

Raskal melanjutkan, "Lagian, aku pilih Qia bukan karena siapa dan bagaimana dia, tapi lebih ke rasa nyaman. Karena masa lalu bikin aku ngerti; sesuatu yang dipaksakan nggak pernah baik."

"Aku nggak pernah terpaksa!" sanggah Monik, suaranya meninggi.

Raskal enggan meladeni. Dia memilih bangkit, lalu berbalik. Baru selangkah, ayunan kakinya terjeda kala dilihatnya Qia berdiri tidak jauh dari posisinya. Cewek itu menggeleng sambil tersenyum, dan perlahan kakinya bergerak mundur.

Qiana [Rewrite]Where stories live. Discover now