10 | Fatwa

757 58 27
                                    

REUNI SMA Gita Bahari.

Qia memilih untuk tidak hadir. Dia beralasan sedang ada rapat di Keraton. Padahal faktanya, dia tengah termenung di teras belakang sambil ditemani Nancy yang tampak sibuk dengan makanannya.

Sesekali keponakannya yang bawel itu menanyakan Sadewa; kenapa Om Dewa 19 nggak pernah main lagi? Apa mobil jeep-nya Om Dewa 19 dituduh mobil penculik, terus sekarang disita polisi? Atau yang paling mustahil, Om Dewa 19 lagi sibuk rekaman buat single terbarunya?

Tapi tidak ada jawaban dari Qia.

Nancy menatapnya sendu.

“Tante ....” Menatap Qia dari samping, napasnya dihela panjang. “Tante, kenapa? Ada masalah? Cerita dong! Nancy nggak suka lihat Tante murung gini,” akunya, pilu. “Nancy lebih suka Tante yang jahil. Biar pun kadang-kadang bercandanya Tante suka keterlaluan, tapi Nancy nggak masalah kok. Nancy nggak pa-pa dijahili Tante, asal Tante nggak murung gini.”

Masih hening.

Nancy mendesah berat. “Tante,” salah satu tangannya meraih pergelangan tangan Qia yang ditumpukkan di atas lutut, lalu netranya berpaling menatap Qia yang akhirnya menoleh. “Kengerian paling nyata adalah ketika orang yang biasanya tertawa, tiba-tiba diam seribu bahasa.”

“Karena diam adalah senjata paling ampuh untuk menyadarkan semesta.” Qia menimpali, sembari membalas tatapan Nancy. “Tawa bukan berarti bahagia. Kadang tawa hanya peralihan untuk meredakan lara.”

“Kata Bunda, hidup itu pilihan. Sepelik apa pun cobaan, kita cuma perlu memilih; larut bersama lara atau tetap menikmati hidup dengan tidak memikirkan luka?” Tercetak senyum pedih di akhir kalimatnya.

Qia tertegun.

Ternyata di balik sifat kekanakan Nancy terselip sisi bijak yang barangkali memang sengaja gadis itu lelapkan. Simak saja kalimat-kalimatnya barusan. Sungguh subhanallah di telinga.

“Tante ....” Menggeser tubuh, dirangkulnya sang tante dari samping lantas dia senderkan kepalanya di pundak Qia. “Nancy sayaaaang banget sama Tante. Ketemu Tante itu ibarat dapet temen baru.”

Qia tersenyum. Atensinya lurus ke depan.

“Dulu Nancy selalu sendiri. Karena Bunda sibuk kerja, Uyut sibuk jahit. Nancy nggak punya temen. Nancy kesepian. Pengin cerita, nggak tahu sama siapa. Mau main, nggak ada yang mau temenan sama Nancy.” Jeda, air matanya dibiarkan luruh.

Qia menoleh. Pandangannya diturunkan.

“Kata tetangga ...” Pelukannya terurai, tubuhnya ditegakkan. Nancy menahan isak, sebelum akhirnya melanjutkan dengan suara bergetar. “Nancy anak haram. Mama hamil tanpa ikatan pernikahan. Terus ... terus Ayah dipenjara karena bunuh driver taxi online.” Memandang pilu Tantenya, dia memastikan. “Iya, Tante?”

Qia menggeleng dengan tatapan kosong.

Berita tentang abangnya terus bergulir—meski tak seheboh dulu, satu-dua orang masih mengingatnya. Sebab sejarah itu kuat. Secepat apa pun zaman berkembang, jejak lampau tetap dikenang.

“Kenapa Ayah jahat?” lirih Nancy, membiarkan pipinya basah oleh air mata. Dia sudah tidak sanggup menahan dengungan-dengungan sadis berupa hinaan yang diterimanya selama ini. Dia mungkin bisa haha-hihi seperti Qia, tapi siapa sangka, di balik tawanya terdapat luka dan beban yang begitu besar dan berat.

Qiana [Rewrite]Where stories live. Discover now