12 | Ternyata

808 59 30
                                    

Qia
Curhat dong

Pesan terkirim.

Dua detik kemudian, ponselnya berdering. Panggilan dari Rajendra. Segera dia terima, dan suara berat mantan ketua OSIS SMA Gita Bahari pun menyambut.

Yogya sudah malam. Ada yang bisa dilamar?”

Qia mendengkus, dibalas tawa meledek dari ujung telepon. Rajendra lebih tengil sekarang—bahkan mengalahkan ketengilan adik si penulis. “Gue tadi denger obrolan Kak Raskal ama Denis.”

Apa katanya?”

“Gue curiga, mereka kakak-adek.”

Ya kalau iya ‘kan itu takdir mereka.”

“Iya, paham.” Qia mulai gemas, “Sebenernya bukan itu sih yang bikin gue galau,” desaunya, sambil menghempaskan tubuh di atas kasur. “Gue agak sangsi kalau janin yang dikandung Monik itu ...”

Anaknya Raskal?” penggal Rajendra, seakan tahu apa yang dipikirkan temannya. “Positif thinking ajalah, Bol. Lo ‘kan tahu siapa Monik dan gimana reputasinya di kalangan publik,” ujar Rajendra, menyalurkan sisi positif.

I know, Je, cuma ...”

Dah lah, jadian aja sama gue.”

“Anjing, kan? Demen banget cari kesempatan dalam kesempitan.”

Gerutuan Qia mengundang gelak tawa Rajendra, sampai bikin tu cowok tersedak lalu mengumpat, “Jancok!”

“Apaan tuh artinya?”

Kamu cantik.

“Bohong!” Tapi kedua pipinya bersemu merah, dan Rajendra yang menduga-duga ekspresi Qia, tampak mengulum tawa di tempatnya. “Menurut lo, gue harus percaya sama siapa?” tanya Qia, kemudian.

Diri sendiri,” jawab Rajendra. “Karena nggak semua orang bisa dipercaya—bukan berarti lo nggak boleh percaya. Tapi belajarlah menakar segalanya sesuai porsi, termasuk kepercayaan.

“Bagus, cuk!” decak Qia, bangkit dari posisi tidurnya lalu duduk dan bersandar di kepala ranjang. “Nggak sia-sia lo pilih Sekolah Kedokteran. Karena makin ke sini otak lo makin menunjukkan kewarasan.”

“Setan lo!”

Qia tergelak.

Kemudian Rajendra memungkas, “Dah, ye. Sepupu gue mantenan. Dan gue kebagian jaga parkir.”

“Semangat, njir.”

Sambungan terputus—seusai Rajendra melontarkan umpatan kasar. Selanjutnya, Qia beranjak dari kamarnya, dan beralih menuju dapur. Niatnya, ingin membasahi kerongkongan yang terasa kering kerontang, namun terurung kala dijumpainya Nancy tengah berdebat dengan ayahnya.

“Ayah ngomong gini karena Ayah sayang sama Nancy!” tegas Keano, menghampiri anaknya dan beranjak duduk di sebelahnya. “Nancy boleh temenan sama siapa aja, tapi—”

“Kenapa kalian egois?! Kalian boleh nakal, sedangkan Nancy enggak, gitu?” Nada bicaranya meninggi, matanya melotot, memandang ayahnya penuh permusuhan.

Qiana [Rewrite]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin