5 | Konspirasi Semesta

889 76 12
                                    

“SEMALAM Qia ke mana?” tanya Handoko, menginterogasi putrinya. Karena selepas kepergian si bungsu yang tiba-tiba, dia mendapat telepon dari rekan bisnisnya. Sementara Keano dan Melody sibuk berdebat dengan Nancy yang entah kerasukan apa, tahu-tahu saja pengin beli seblak.

“Ooh, itu ada Kak Raskal, senior Qia di kampus.”

“Kok, nggak disuruh masuk?”

“Buru-buru, Dad.”

“Bentar, Mama! Nancy lupa ngerjain PR!” suara Nancy membuyarkan fokus sang kakek. “Iih, jawabannya apa sih?! Tanteeee ... ajarin, dong! Susah bener nih kayak move on dari pesona mantan.”

“Pelajaran apa emang?” tanya Qia, setengah berteriak. Sebab keponakannya itu berada di dapur—persisnya duduk di ambang pintu sambil memangku buku, sementara Qia berada di meja makan bersama ayah dan abangnya.
Nancy menjawab, “Ekonomi tapi nggak pake sulit.”

Qia kontan tergelak.

Di hadapannya, Keano geleng-geleng.

“Kok, ketawa sih? Buruan, ajarin!”

Mon maap nih, gue ada kuis.”

Nancy langsung menampakkan diri, duduk di sebelah Qia dan bertanya polos. “Tante, mau ikut kuis yang ada hadiahnya dua juta rupiah, ya? Terus suara Tante nongol di tipi. Iya, kan? Ihh, Nancy mauuuu!”
Qia menepuk jidat—jidatnya Nancy.
Selagi ayah dan abangnya kompak menyemburkan tawa.

“Bukan kuis itu, Ningseh!”

“Terus?” Nancy mengernyit bingung. Diabaikan Qia yang memilih pamit. Otomatis keponakannya itu melotot lalu misuh-misuh.

Qia dengar—bahkan ketika Nancy ditegur ayahnya, tapi dia enggan menggubris, sebab fokusnya kini mulai tersedot pada satu sosok. “Jeje?”

Sang empunya nama tersenyum, bergerak mendekati Qia, tangannya lantas terulur, menyodorkan sepucuk surat undangan. “Buat lo.”

Menatap surat undangan tersebut selama beberapa detik, retinanya kembali pada figur Rajendra yang dengan segera menjelaskan, “Bukan, kok. Gue nikahnya masih lama dan belom tahu sama siapa. Maybe Ratu, maybe Qia.”

Pipi Qia sontak memerah, terlebih ketika Rajendra sambil menyunggingkan senyum genit. “Well, itu undangan reunian. Dateng, ya!”

“Hm.”

“Gue jemput.”

No, thank. Kalau lo lupa, gue anak pejabat. Mobil bokap gue berjejer di garasi. Jadi, gue nggak butuh tumpangan,” tandasnya, pongah.

Rajendra mendesah, lalu menghapus jarak, dan diacak-acaknya rambut Qia. Cewek itu mendongak, disambut sekilas senyum dari Rajendra. “Gue pamit, ya. Salam buat keluarga lo. Bilangin, gue sayang banget sama mereka.”

Qia praktis melongo, sesaat kemudian menggeleng. Rajendra masih mempertahankan senyum, bahkan ketika menaiki motornya, lantas berlalu dari hadapan Qia. Cewek itu tersipu. Dalam hati bertanya; mengapa takdir menyuguhkan sebuah pilihan yang ingin dia pilih dua-duanya?

Cinta memang egois.

***

BERDERAP menuju kantin, Qia menemukan Shanum duduk di salah satu bangku. Fokusnya terarah pada layar laptop sedang di hadapan gadis itu, berjejer makanan ringan yang sengaja dia beli untuk menemani kesibukannya. Bergegas Qia mendekat, duduk di sebelah Shanum, dan dicomotnya snack serena milik sepupunya.

Qiana [Rewrite]Where stories live. Discover now