3 | Tak Terelak

1.1K 100 13
                                    

ANCAMAN Jazzila benar-benar membuatnya pusing tujuh keliling. Semalaman suntuk, setelah pertemuannya dengan gadis itu, Qia benar-benar merenung, memikirkan segalanya dengan matang. Atas permintaan sahabatnya, lalu keraguan hatinya, serta kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi nantinya. Sungguh, dia masih belum siap. Karena ada banyak hal yang dia cemaskan juga dia takutkan.

Mengembuskan napas, Qia mengayunkan langkah menuruni anak tangga, berderap menuju ruang makan, lalu duduk di samping ayahnya sembari menyapa, “Morning, Dad.

Morning too, Sweetheart.

Qia dan ayahnya memang selalu romantis. Qia yang manja, didukung ayahnya yang kerap memanjakan dia. Potret yang diam-diam membuat Nancy iri, karena ayahnya tak seromantis kakeknya. Keano lebih mengedepankan sisi tegasnya dibanding mengindahkan seluruh kemauan anaknya. Kendati demikian, tetap ada masa di mana pria itu akan berubah lunak. Karena dia tidak ingin terlalu memanjakan putrinya, meski tanpa dimanja pun Nancy memang anak manja.

“Bun, minggu depan diajakin Tante Kiyah reunian,” celetuk Nancy yang duduk di sofa keluarga bersama ibunya. Gadis itu tengah sibuk memakai sepatu, sedang ibunya tampak sabar menyuapinya.

“Heh?” Qia melotot, “Gue nggak bilang gitu, ya!”

Mata Nancy bersulih, dipandangnya Qia dengan raut sebal, lalu disusul decakan gemas. “Tante Kiyah emang nggak bilang langsung, kan Tante nyampeinnya lewat hati. Gimana sih?! Lupa? Amnesia? Pikun?”

“Sumpah ya, lo tuh ngeselin banget tahu nggak?!” sungut Qia, yang direspons Nancy melalui gelengan polos selagi bibirnya menyahut, “Enggak.”

Keano geleng-geleng, menyaksikan tingkah absurd anak dan adiknya. Sejak tinggal serumah dengan Qia, Nancy mulai menunjukkan sifat cerewet dan humorisnya. Sifat yang menggambarkan Keano dulu. Dan sekarang dia paham, mengapa mendiang ibunya kerap murka setiap dia berulah.

Sebab Keano merasai betul, bagaimana saat dia bertransformasi sebagai seorang Ayah dari gadis cerewet nan manja seperti Nancy.

Yeahh .... mungkin benar, buah yang jatuh tidak jauh dari Bapaknya. Nancy, misalnya.

Daddy nggak ada niatan pengin mecat cucu, gitu? Kayak usir Ningseh dari sini biar nggak berisik.” Qia bertanya konyol pada sang ayah. Otomatis yang merasa jadi cucu dari ayahnya pun mendengkus, lalu melempar boneka Tedy Bear ke arahnya.

Alih-alih mengenai Qia, boneka tersebut malah mendarat di atas kepala Keano. Sontak Qia tergelak, sedang Nancy terperangah saat pria itu menegurnya, “Nancy ....”

“Ih, Nancy ‘kan nggak sengaja!” kilah Nancy, merubah gurat kaget di wajahnya dengan raut bete.

Melody mengesah. Atensinya berpaling, dilihatnya Keano yang tahu-tahu bergerak menghampiri putrinya, lantas duduk di sebelahnya.

Nancy cemberut.

“Buruan dihabisin sarapannya,” titah Keano, lalu mengoper topik. “Nancy, dianter Ayah atau berangkat sendiri naik sepeda?”

“Kan nggak punya sepeda?” sengit Nancy.
Keano terkekeh. Diciumnya pipi kanan si manja.

Momen yang tanpa sadar menerbitkan senyum di wajah semua orang. Pagi ini, ada yang berubah setelah sekian lama berjibaku dengan resah, gundah, dan kelesah. Seorang anak yang pernah ditinggalkan Ayahnya demi sebuah penebusan, kini telah menemukan senyum dan tawa yang sempat hilang. Di sampingnya, Ibu yang pernah berjuang mempertaruhkan nyawa serta mengerahkan seluruh tenaga, tampak menitikan air mata.

Momen yang dia tunggu telah terwujud.
Di mana anak dan suaminya berada di satu ruang yang sama; membagi canda dan menyatukan tawa. Melody merunduk, mengucap syukur kepada sang penggenggam hidup. Terima kasih untuk pengembalian seusai perpisahan yang dia pikir akan berpegang pada kata selamanya.

Terima kasih, Tuhan!

“Mas ....,” Melody menengahi. Membuat Keano berhenti sejenak kemudian menoleh. “Udah. Nanti Nancy telat.”

Keano mengangguk paham. Lalu diajaknya anak itu keluar dan Qia yang kepo bergegas mengekor. Ternyata, oh, ternyata sepeda yang dimaksud oleh abangnya adalah sepeda baru untuk putrinya. Qia berdiri di teras depan sambil mengamati gelagat Nancy. Keponakannya yang lugu dan polos itu terlihat senang mendapat hadiah dari sang ayah.

“Waaah, Nancy suka banget sama sepedanya!”

Melody lekas mengingatkan, “Bilang apa sama Ayah?”

“Makasih,” ucapnya, datar—bahkan tidak menatap ayahnya.

Melody mengernyit, “Loh, kok cuek lagi?”

“Nggak tahu, ah. Lupa,” tukas Nancy, lalu menaiki sepeda barunya, serentak dengan Qia yang tahu-tahu nemplok di belakangnya. Otomatis Nancy menoleh. “Tante, ngapain? Hus, huss, sana! Nancy mau berangkat sekolah!”

“Nebeng, Ningseh! Pelit amat dah lu,” gerutu Qia.

Nancy mendengkus, lalu mohon undur diri. Cewek yang masih mengenakkan seragam putih biru itu menggayuh pedal pada sepedanya, memboncengkan sang tante yang berat badannya selaras dengan dirinya, jadi nggak terlalu capek.

Byurrr!!

“Anjing!”

Nancy mengerem sepedanya secara mendadak, ketika sang tante meloloskan umpatan. Lalu dia bersungut-sungut, saat sepeda barunya terkena cipratan lumpur. “Ihh, sepeda baru Nancy kotor! Siapa sih yang naik motor nggak lihat-lihat?! Nggak tau apa ya, kalau ni sepeda baru aja dibeliin Ayah!”

Qia berangsur turun, hendak menghampiri sang pengendara motor yang berhenti tidak jauh dari posisinya, sejurus dengan itu, sosok tersebut berbalik dan di waktu yang bersamaan, Qia tertegun, langkahnya terjeda. Dia menggeleng.

Rajendra tersenyum, berjalan santai ke arahnya, hingga tiba tepat di hadapannya, cowok itu langsung mendapat serangan dari Nancy berupa pukulan gemas di lengannya. “Kalau nggak bisa naik motor nggak usah naik motor! Nih, lihat! Gara-gara Om naik motornya kekencengan, terus nerjang lumpur, sepeda Nancy jadi kotor, kaaan?” gerutunya, “Om tau nggak, ini tuh sepeda dari Ayah! Ayah udah capek-capek cari uang biar bisa beliin Nancy sepeda, eh, sepedanya malah dikotorin sama Om! Nggak mau tau, pokoknya Om harus ganti rugi! Bodo amat!”

Rajendra melongo.

Sementara Qia yang merasa sungkan dengan cowok itu segera menegur keponakannya. “Lu kalau ngemeng bisa direm dikit kaga? Gue rontokin juga nih gigi lu!”

Nancy cemberut. “Rontokin aja kalau bisa! Wleee!” lidahnya terjulur dengan tampang mengejek, sebelum akhirnya dia kayuh pedal pada sepedanya, meninggalkan sang tante yang kontan mencak-mencak di tempat.

“Woi, Ningseh! Gue nebeng!”

“Ayo, gue anter.” Rajendra menarik tangan Qia, diseretnya gadis itu menuju motornya. Jika dulu gadis ini yang memaksa Rajendra untuk mengantarkannya ke mana-mana, maka sekarang dalam skenario-Nya telah terganti, bahwa segalanya akan berputar sesuai waktunya.

Dan selama perjalanan ke kampus, Qia menyugesti diri; jangan baper, jangan baper, jangan baper.

Qiana [Rewrite]Where stories live. Discover now