[AG] - Thirty Nine

753 47 8
                                    


Sial beribu sial!

Berkali-kali Andhika terus merutuk di dalam hatinya. Disebabkan karena motor Andhika yang mogok di jalan, membuat cowok itu terlambat untuk datang ke sekolah.

Sekarang ini cowok itu sedang berlari mengelilingi lapangan sebanyak 20 kali. Bersyukurnya karena pak Nata yang menjaga gerbang, jadinya cowok itu hanya diberi hukuman yang tidak berat-berat amat. Ya ... hanya berlari mengelilingi lapangan sebanyak 20 kali, membersihkan toilet siswa—yang biliknya sekitar ada lima buah, dan menulis di kertas double polio dengan kalimat "saya tidak akan mengulangi lagi" penuh hingga seluruh kertas berisi tulisannya.

Meski begitu, Andhika tidak dapat menahan keluhannya. Setiap kali pak Nata meniup pluit, karena melihat cowok itu yang berhenti berlari.

Untungnya bukan pak Bambang yang menjaga gerbang, jika iya, mungkin Andhika akan dihukum lebih berat dari pada yang diberi pak Nata.

Napas Andhika sudah terengah-engah. Hampir saja dia sesak napas, jikalau Andhika tidak terlatih untuk mengatur pernapasannya pada saat latihan silat. Jadi, setiap kali dia berlari, Andhika akan mengeluarkan napasnya secara bertahap dan dengan tempo yang teratur.

Dilihatnya pak Nata yang duduk di pingir lapangan seraya memperhatikannya dengan bosan. Andhika tersenyum miring, dia menebak pasti sebentar lagi pak Nata akan meninggalkannya di lapangan. Dan di saat itu, Andhika akan mengambil kesempatan untuk melarikan diri.

Pak Nata lalu berdiri, meniup peluit— mengisyaratkan Andhika untuk berhenti berlari.

"Andhika, saya mau ke ruang guru sebentar, kamu lanjutin larinya sampe selesai," kata pak Nata. "Dan ingat, jangan mencoba untuk kabur, kalo kamu ketahuan kabur, saya akan menambah hukuman kamu."

Setelah mengucapkan itu, tanpa basa-basi lagi pak Nata berlalu dan pergi meninggalkan Andhika.

Ketika pak Nata sudah menghilang dari pandangannya, saat itu juga Andhika terduduk di pinggir lapangan, seraya menselonjorkan kedua kakinya ke depan. Napasnya tersenggal-senggal, disertai peluh sebesar biji jagung yang membanjiri wajah tampannya.

Sementara itu, dari arah kantin, Dani, Fauzan, dan Farid berjalan beriringan seraya berbincang-bincang.

"Eh, Andhika tuh," seru Farid menatap ke arah lapangan.

"Mana?" tanya Dani dan mengikuti arah pandang Farid. Dilihatnya Andhika yang tengah duduk sambil mengipas-kipas dirinya dengan kerah seragam.

"Ayo, samperin," ajak Fauzan, yang diangguki oleh Dani dan Farid.

"Dhika!" panggil Farid begitu ketiga cowok itu telah sampai di tempat Andhika berada.

Andhika menoleh.

"Ngapain lo?" tanya Fauzan.

Andhika menatap Fauzan malas. "Lagi berjemur."

"Lah." Fauzan menatap jenaka ke arah Andhika. "Ngapain lo berjemur? Latihan jadi ikan asin lo?" tanyanya seraya tertawa.

Sementara Andhika hanya memutar bola matanya.

"Telat, Dhik?" kini Dani yang bertanya.

Andhika hanya mengangguk.

"Kok bisa?" tanya Dani lagi.

Andhika menghedikan kedua bahunya. "Motor gue mogok di jalan, sial!"

"Jiahahhaha! Motor butut sih. Makanya mogok-mogokan."

Andhika melempar sepatunya ke arah Farid yang barusan mengucapkan kalimat itu. Tentu saja dia tidak terima jika motor kesayangannya dibilang butut. Padahal Andhika membelinya pada saat dia kelas dua SMP. Dan masih berusia sekitar tiga tahun. Jadi, mana ada usia segitu dibilang butut? 

Andhika's Girlfriend [Completed] Donde viven las historias. Descúbrelo ahora