6 : Anna - Menolak (Lagi)

2.5K 247 14
                                    

Anna's PoV

"An, yuk aku anter pulang," ajak Kineta ketika jam menunjukkan pukul 8 malam. Aku, Citra dan Kineta sedang berdiskusi di Sense Cafe. Sengaja kami kemari agar tidak jenuh di kantor sekalian makan malam.

"Gue bisa pulang sendiri," tolakku.

"Keburu ujan An, udah kedengeran gemuruh dari tadi."

"Udah tau mau ujan, lo ajak gue pulang naik motor? Yang ada gue basah kehujanan," omelku padanya.

"Ya udah aku pesenin taksi online aja ya?" Dia masih kekeuh menawarkan untuk membantuku.

"Kalo itu gue bisa sendiri. Lo ga perlu ikut anter gue."

"Aku khawatir sama kamu."

Tindakannya yang berlebihan seperti inilah yang menggangguku. Aku terbiasa mandiri jadi aku tidak memerlukan perhatiannya. Lagipula, orang yang kuharapkan agar perhatian padaku bukanlah Kineta, tapi Citra. Namun Citra diam saja. Cuek seperti biasa. Dan itu membuatku kesal.

"Lo jangan lebay deh. Gue bisa jaga diri gue sendiri. Jadi, tolong lo stop ganggu gue. Stop deketin gue. Ngerti ga sih kalo gue terganggu? Mesti ngomong dengan cara apa supaya lo ngerti?" Nada bicaraku sedikit meninggi dari biasanya.

"Maaf."

"Untuk kesekian kalinya gue bilang sama lo. Pergi. Dari. Hidup. Gue."

Kineta hanya diam.

"Kalo otak lo normal, lo pasti ngerti apa yang barusan gue bilang." Setelah berkata seperti itu, aku pergi meninggalkannya yang masih terdiam dan melihatku dengan tatapan terluka.

Saat aku akan memesan taksi online, Citra tiba-tiba sudah berdiri di sampingku.

"Mau pulang bareng gue?" tanyanya.
Tentu saja aku mau. Tanpa berlama-lama aku mengiyakan tawarannya.

"Ya udah yu nyebrang. Mobil gue di sebrang."

Citra merangkul bahuku sewaktu kami menyebrang jalan. Dia celingak-celinguk ke kiri dan kanan memastikan kami aman untuk menyebrang. Tindakannya itu sedikit membuatku nerveous. Seumur-umur, tidak pernah kurasakan perasaan seperti ini. Aneh, namun menyenangkan.

Sesampainya di parkiran, Citra membukakan pintu penumpang untukku. Hmm... Gentle juga.

Terkadang, aku berpikir jika Citra sama sepertiku. Gaydar-ku merasa bahwa dia menyukai perempuan.

Aku pernah melihat foto dirinya bersama seorang wanita yang dijadikan wallpaper ponselnya. Di foto tersebut terlihat seorang wanita yang mencium pipi Citra dan Citra tertawa bahagia. Tawa yang tidak pernah kulihat sejak aku mengenalnya. Dia memang cukup ramah, selalu tersenyum pada siapa saja, tapi belum pernah aku melihatnya tertawa. Hanya senyum seadanya. Senyum misterius itu yang membuatku penasaran akan sosoknya.

"An, lo ga merasa sikap lo kelewatan sama Kineta?" Citra bertanya padaku saat kami sudah di dalam mobil.

"Sebetulnya gue ga niat seperti itu. Gue cuma bingung, gimana membuat dia mundur dan berhenti mengejar gue. Gue cape, gue juga kasian sama dia yang menyia-nyiakan waktunya selama ini."

"Kenapa lo ga terima aja? Kalian kan udah lama kenal."

"Hati mana bisa dipaksain sih Cit?"

"Udah kenal selama itu, sedikitpun lo ga ada rasa sama dia?"

"Nope. Gue malah suka sama orang yang baru gue kenal."

"Hmm...kasian juga ya dia."

"Kok malah kasian ke dia? Ga kasian ke gue?"

"Ck. Lo udah segalak ini apanya yang mau dikasihanin?"
"Ga diobrolin baik-baik aja? Gue lihat banget ekspresinya dia tadi waktu lo bentak."

"Yah gimana ya? Dari cara baik sampe cara ga baik udah pernah. Tapi dianya masih tetep aja kaya gitu."

"Hmm. Oke deh itu urusan kalian. Gue cuma merasa ga enak aja karena kita kerja satu tim. Meskipun dia cuma freelancer, tapi kita kan sering ketemu."

Aku langsung berpikir 'apakah sikapku tadi terlalu  kasar padanya?'.
Selama 7 tahun mengenalnya, baru kali ini aku melihatnya dengan ekspresi sedih dan terluka seperti tadi. Ini bukan pertama kalinya aku berlaku kasar padanya tapi memang ini pertama kalinya aku membentaknya di tempat umum. Mungkin dia merasa dipermalukan.

Mengingat ekspresi Kineta tadi ditambah pernyataan Citra, sedikit mengusik hatiku.
Tapi, siapa tau dengan apa yang kukatakan tadi padanya, dapat membuatnya sadar bahwa aku tidak akan pernah menyukainya. Dia bukan tipeku. Dia berisik, tidak mau diam, mengganggu. Sama sekali tidak kuinginkan dia ada dalam keseharianku.

Ah, sudahlah. Tidak perlu memikirkannya. Paling-paling besok Kineta akan menggangguku lagi seperti biasanya. Lebih baik aku menikmati waktu berduaan yang singkat ini dengan Citra.

"An, ke mall bentar ya? Gue mau beli tas laptop."

"Eh boleh banget. Sekalian ada yang mau gue beli."

Lumayan, bisa sedikit lebih lama bersamanya.

"Cit, mau beli ga?" Aku bertanya padanya dengan menunjukkan sebuah bra seksi bewarna merah.
Kami kini berada di toko pakaian dalam wanita. Aku menyeret Citra kemari setelah ia mendapatkan apa yang dibutuhkannya. Kebetulan aku sedang ingin membeli beberapa bra.

"Ga."

"Kenapa?"

"Ga butuh."

"Masa sih? Pasti butuhlah, emang lo pake apaan?"

"Gue lebih butuh isinya."

Aku melongo mendengar jawabannya. Orang lempeng seperti Citra bisa menjawab seperti ini sih merupakan sebuah keanehan.

"Udah lupain. Sana pilih dulu."

"Wow."

"Apa?"

"Ga nyangka."

"Gue pernah pacaran selama 3 taun. Menurut lo 3 taun itu gue ngapain aja?"

Dahiku mengkerut mendengar pernyataannya. Well, jadi benar ya dia belok?

"Umm...dari muka lo yang rata kaya gini, mungkin lo pacarannya diisi dengan nonton kartun berdua. Ato barengan bersih-bersih rumah. Yaa sesuatu yang membosankan lah ya."

Citra tersenyum tipis. Senyum pahit. Kemudian ia menggelengkan kepalanya.

"Bener?" tanyaku ingin memastikan.

"Mungkin lo belom rasain makanya lo bilang membosankan."

"Muka lo terlalu lurus untuk macem-macem, dan terlalu sangar untuk suka sama film kartun. Diem-diem lo nakal juga ya?" Aku tersenyum penuh arti.

"Dan lo terlalu bawel. Pusing gue. Sana pilih, gue tungguin."

Akhirnya kami pulang setelah kami selesai berbelanja. Aku mengganggu Citra karena perkataannya tadi, sekaligus berusaha mencari tahu lagi hal-hal mengenai dirinya. Tanpa disangka, ia mau sedikit terbuka padaku. Citra mengatakan bahwa dia memiliki kekasih yang sudah meninggal.

Ketika aku sedang serius mendengarkan kisah Citra, mataku melihat Kineta dan Sherin. Mobil sedang berhenti di lampu merah terakhir yang menuju ke apartemenku.

Motor Kineta berada sedikit di samping depan dari mobil Citra. Dapat terlihat jelas Kineta dan Sherin sedang tertawa sekalipun di luar sedang turun rintik kecil.

Tangan Kineta meraih tangan Sherin kemudian memasukkannya ke saku jaketnya.

Bukankah tadi dia menawarkan dirinya untuk mengantarku pulang? Lalu, setelah kutolak ajakannya, kini dia sudah membonceng perempuan lain? Hell yeah.

Motor Kineta melaju sesaat setelah lampu lalu lintas berubah menjadi hijau.

Baiklah, ternyata dia tidak semenyedihkan itu karena aku menolaknya. Toh dia masih bisa tersenyum.

To be continue

Published : 4 Januari 2020

Mengejar HadirmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang