|26|Curhat

987 155 0
                                    

"Jangan berlebihan. Semuanya tidak harus pake perasaan, sesekali pake logika biar nggak sakit."

***

Rafa segera masuk ke rumah ketika selesai memarkirkan motor. Sesampai di ruang keluarga terjata disana sudah ada Bundanya yang terlihat berbeda. Dia sedang menyaksikan acara di TV namun tatapannya kosong, seakan-akan pikirannya terbang jauh entah kemana. Hari ini Bunda Rafa baru muncul setelah selama sebulan ia meninggalkan Rafa sendiri di rumah.

Rafa berjalan menaiki tangga, melewati Bundanya ia menganggap wanita yang sudah melahirkannya tidak ada. Namun Bunda sadar dengan kedatangan Rafa. Dia memperhatikan Rafa yang berjalan seolah-olah dia tidak ada.

"Rafa, Bunda mau bicara."

Langkah kaki Rafa sontak terhenti. Suara itu suara yang sangat ia rindukan. Sebenarnya Rafa sangat menyayangi Bundanya tapi rasa bencinya jauh lebih besar saat ini. Rafa nasih anak remaja yang menginginkan keluarga yang bahagia, Bunda yang menyayaginya, saudara yang bisa dia andalkan.

"Rafa capek, Bun." Rafa tetap tinggal mematung di tangga.

Bunda memelas. “Bunda mohon Rafa."

"10 menit," kata Rafa lalu berjanan mengampiri wanita itu.

Mama menghela napas, "maaf. Bukan maksud Bunda membandingkan kasih sayang ke kalian."

"Hm."

"Bunda melakukannya karena ada alasan."

"Apapun alasan Bunda itu tidak adil buat Rafa. Rafa selama ini bisa ikhlas atas kepergian Papa, Rafa pikir masih ada Bunda yang menyayangi Rafa tapi Rafa salah Bunda seakan-akan menjadi orang asin di hidup Rafa!" Rafa meninggikan suara. Dia menundukkan kepala. Unek-unek yang ia simpan selama ini ia keluarkan.

"Rafa masih SMA kelas 11, masih remaja, masih membutuhkan kasih sayang dari orangtua. Sebentar lagi Rafa naik kelas 12, terus UN, lalu lanjut keperguruan tinggi. Rafa juga butuh dukungan Bunda bukan malah Rafa memiliki Ibu tapi berasa anak yatim piatu."

"Maafin Bunda Rafa. Bunda belum bisa menyampaikan ke kamu, kenapa selama ini Bunda lebih banyak menghabiskan waktu dengan Adikmu." Bunda Rafa kini menangis, air matanya perlahan menetes. Suara isaknya terdengar begitu pilu. Dia memang salah tapi ia belum sanggup dengan semua kenyataan yang ada.

"Sudahlah Bun, Rafa mau istirahat." Rafa beranjak dari tempatnya.

Rafa segera berlari menaiki tangga ketika mendengar suara tangis Bundanya. Hal yang paling dia benci dari wanita. Ketika tiba di kamar, cowok itu langsung menutup kamar, meletakkan tas di atas kasurnya, lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri, berharap dengan ini pikirannya sedikit tenang. Rafa keluar dari kamar mandi. Dia mengeringkan rambut serta tubuhnya dengan haduk dan membuka lemari untuk mencari pakaian, ia menggunakan baju kaos putih serta celana selutut.

Rafa memilih untuk merebahkan tubuhnya di atas kasur, lalu ia memejamkan matanya berharap suara isak Bundanya berhenti tapi suara itu masih menggema di telinga Rafa. Dia juga tidak menginginkan ini terjadi, ia tak berniat membentak Bunda tapi saat ia membayangkan masa-masa saat ia membutuhkan orangtua terbayang di kepalanya.

Satu tetes.

Air mata Rafa perlahan jatuh, hal yang dibencinya padahal sekarang ia juga melakukannya. Anggaplah ia cengeng, cowok pengecut yang menghindari masalah dalam hidupnya. Saat Papanya hidup ia tidak pernah menangis. Bahkan saat Rafa kecil jatuh dari sepeda, dia tidak menangis karena Papa pernah berkata padanya. Cowok hebat itu tidak pernah menangis, hal apa lagi yang diharapkan dalam dirinya sebagai seorang laki-laki.

Pemilik Hati [SELESAI]Where stories live. Discover now