13. Sebelum Jatuh Cinta

Start from the beginning
                                    

Semalam, saat aku menjelaskan secara singkat mengenai Wira. Aku yakin bahwa sepupuku ini punya banyak pertanyaan, tapi mendadak ia simpan rapat-rapat, dan terlihat masa bodoh. Untunglah, di balik sifatnya yang kadang mengesalkan, semalam ia benar-benar tidak mengangguku.

"Kan gue ngecek lahan." Di kebun, aku memang mengecek berdua dengan Elang, sehingga aku tak susah payah berbicara formal dengan Elang.

"Lo bukan jenis manusia yang merelakan weekend untuk ngecek lahan," timpal Elang. "Gue paham sih, lo orangnya serius kalau penelitian kayak gini. Tapi weekend, itu nggak termasuk ke dalam hal yang lo relakan."

Aku tertawa mendecih, kadang sikap sok tahu Elang itu bikin aku gondok sendiri.

"Males aja."

"Karena?" Elang menyahut segera.

Beberapa detik, aku terus memandang daun mangga itu dengan pandangan lurus. Sampai akhirnya, aku melirik Elang yang nyatanya sedari tadi menatapku. "Jujur, menurut lo, gue itu gimana?"

Elang memandangku dengan pandangan memicing, "Pertanyaan ini nggak ada sangkut pautnya dengan Bang Wira kan?" Yah, Elang sebenarnya sudah tahu duluan mengenai Wira dari mamanya, yang pasti juga tahu dari bunda. Mamanya dan bundaku itu memang dua kakak beradik yang sangat dekat, jadi mustahil sebenarnya kalau kabar mengenai rencana bunda tidak tersebar hingga ke Wira.

"Jawab aja."

"Jujur atau bohong."

"Jujur," sambarku.

Elang menatapku lurus. "Lo terlalu berlogika dalam segala hal, sampe gue mikir mungkin lo itu nggak punya perasaan," ungkap Elang

Kali ini gantian, aku yang menatap Elang serius.

"Gue nggak separah itu kali," belaku segera.

Elang mendengus, "Lo separah itu, pernah sekali aja lo benar-benar sayang sama cowok yang serius sama lo?"

Aku terperanjat. Setan nih bocil! Aku benci mengakuinya, tapi apa yang ia katakana benar-benar menohok.

Elang menggelengkan kepala, "Gue tahu, Mbak." Aku benci kalau Elang mendadak memanggilku dengan panggilan "mbak" karena biasanya ia paling malas menganggap aku lebih tua darinya. Kalau sudah memanggilku "mbak", aku tahu bahwa Elang benar-benar serius. "Gue nggak mandang ini cuma dari segi kisah percintaan, tapi juga dari hubungan lo dengan orang-orang lain. Lo bukan tipe manusia yang mudah bersosialisasi, gue paham. Lo juga bukan orang yang suka basa-basi, gue ngerti banget. Lo itu satu-satunya perempuan paling mandiri, mbak, yang pernah gue kenal seumur hidup gue."

Elang menghela napas, "Mbak, lo itu perempuan yang bisa naklukin gunung setinggi apapun, tapi pernah lo sadar satu hal..." Dia menatapku dalam. "Terkadang sekuat-kuatnya perempuan, ia juga butuh orang lain untuk menggengamnya, Mbak. Gue tahu, dari segi umur. Lo lebih banyak makan pahit manis kehidupan, tapi sebagai adik lo, gue cuma pengin lo lebih banyak menggunakan perasaan, jangan terus bermain dengan logika."

Segera setelah kalimat itu, aku memalingkan wajah, menatap apapun selain Elang. Jujur, kata-kata yang ia katakan begitu menyakitkan. Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian melangkah masuk ke dalam jalan setapak yang kanan kirinya ditumbuhi pohon mangga. Meninggalkan Elang yang tampaknya paham, bahwa aku perlu waktu sendiri.

Lima langkah menapaki jalanan tanah merah itu, aku berhenti, air mataku jatuh setetes. Sesak itu datang menyerbu dadaku tidak karuan.

Apa yang dikatakan Elang benar.

Selama ini, aku hanya berusaha melindungi hatiku untuk tidak jatuh kepada siapapun karena aku belum siap—benar benar belum siap.

Aku sudah berulang kali menjalani hubungan, dan berulang kali itu juga setiap aku mulai merasa akan terjatuh. Sekuat tenaga, aku berpikir bahwa bukan dia orangnya. Kepada siapapun itu.

Pull StringWhere stories live. Discover now