BAB I - 06

29K 4.2K 221
                                    

*

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*

*

*

AKU MENDENGARNYA. Sesuatu yang kucari. Dia menyebut namaku, tetapi tak ada kehangatan di sana. Suaranya dingin, membeku di udara, dan terasa menyakitkan saat sampai di telinga. Aku ingin berlari ketika Ayah menghampiriku. Kedua kakiku gemetaran, keringat dingin mengucur di punggung dan pelipisku. Tiba-tiba, kakiku enggan berlari—sesuatu yang lumrah terjadi ketika tubuhmu ingin bergerak cepat, dirimu malah lumpuh.

"Kelas seni lukis tidak menerima murid bernama Jane."

Aku berusaha mencerna apa yang Ayah katakan. Mengapa? Apa karena tindakan bodohku di hari pertama? Apa karena aku adalah anaknya? Apa dia mengenalku?

"Kau mengenalku?"

Ayah melontarkan pertanyaan yang sama.

Iya. Tentu saja aku mengenalmu. Kau adalah ayahku. Aku ingin menjawab begitu, tapi lidahku betul-betul kelu dan entah mengapa aku merasa tak memiliki hak untuk menjawab demikian. Perasaan asing yang melarangku.

"Siapa aku?"

"Kepala sekolah."

"Kepala sekolah." Dia mengulangi jawabanku dibubuhi senyum sarkastis di ujungnya.

Sejujurnya aku ingin menjawab 'Ayah', tapi bahkan, mengatakan 'kepala sekolah' saja sudah segugup itu. Aku merasakan banyak hal aneh bercampur aduk, antara bahagia dan marah sekaligus, tak tahu mana yang paling dominan. Namun, yang jelas, aku ingin memeluk dan ingin memukulnya di waktu yang bersamaan. Aku memang senang bisa melihatnya, bertemu dengannya, berhadapan, saling cakap, bicara. Tapi aku tidak suka nada ketus dan dingin itu. Hal yang membuatku merasa tak pernah diharapkan dan tak seharusnya ada.

"Aku sudah mengatur jadwalmu. Kau kudaftarkan ke kelas teater, panahan, dan musik."

Mataku membulat. Deretan kelas itu akan memperpadat jadwal, menguras energi, dan menambah tekanan. Aku selalu tertekan dengan segala keteraturan. Entah keberanian dari mana, aku menatap tajam ayahku. Dari jarak sedekat ini, jelas sekali dia sangat mirip denganku. Aku mewarisi cukup banyak sifat genetik darinya dan ini agak menyebalkan.

"Aku tidak mau. Aku hanya akan mengikuti kelas melukis!"

"Mengikuti jejak Alexander Fausto, huh?"

"Ya," tegasku.

"Aku ayahmu."

Dunia tiba-tiba berhenti. Aku tak tahu harus menjawab apa ketika dia mengakui bahwa dirinya adalah ayahku. Aku diam. Otakku melamban, kebingungan. Ada ledakan bahagia karena ternyata aku tak dilupakan seperti yang kukira. Namun, kebahagian itu praktis terhapus oleh pertunjukan pertamanya, otoritas yang tak boleh dibantah.

High School Examen [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang