11. An Encounter with Death

820 281 70
                                    

Ponsel Hiresa dapat diakses.
Aktivitasnya diyakini sampai pukul 22.15.
Pesan dan missed call sesudahnya,
Kak Fatah curiga, dilakukan orang lain.

Darlina kah,
mengingat ponsel itu jatuh ke tangannya?
Kenapa ia berpura-pura sebagai Hiresa?

Pesan terakhir Hiresa kepada Dokter Anna,
adalah dua foto kalung emas
dengan liontin sederhana inisial A
di baliknya tertulis
One in a million.

Pesan terakhir Hiresa kepada Dokter Anna,adalah dua foto kalung emasdengan liontin sederhana inisial Adi baliknya tertulis One in a million

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku menggeleng

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku menggeleng.
Kalung itu mungkin untuk ibunya.
Lebih ringan untuk perasaanku jika demikian.

"Aku yakin, untukmu." Kak Fatah membandel.
"Karena pada 21.40, Esa memesan taksi online
dari toko perhiasaan menuju Halte 3.
Ia sampai di sana pukul 22.15,
pasti mau ke rumah kita."

Aku terbelalak.
Hiresa tidak datang.
"Sesuatu terjadi padanya di Halte 3?
Di gang sempit?"

"Bisa saja ia berubah pikiran,
karena sudah terlalu malam untuk berkunjung."
Tapi Kak Fatah mengeluarkan kunci motor lagi.
"Tidak ada salahnya kita periksa. Ayo, Aran!"

Saat itu, Bapak datang bersama seorang wanita,
Dokter Susi, yang diminta Dokter Anna
khusus untuk menemuiku.

Kak Fatah dan Bapak pergi ke Halte 3.
Ditemani Ibu, aku berbicara dengan Dokter Susi.

"Aku yang merawat Hiresa waktu koma," katanya.
"Kalau Dokter Anna berkomunikasi dengan jiwanya,
aku melihat mimpi-mimpinya.
Kupikir juga hanya halusinasiku.
Tapi setelah Hiresa terjaga,
ia ceritakan mimpi-mimpinya,
sama dengan yang kulihat.

Aku seorang dokter.
Tidak percaya fantasi dan supranatural.
Konon, persinggungan dengan kematian
memicu jiwanya keluar dari tubuh,
dan memacu kerja otak
untuk memproyeksikan mimpinya.

Karena Hiresa,
aku melakukan penelitian
pada pasien-pasien yang melewati masa kritis.
Selama belasan tahun,
kutemukan mereka yang pernah,
mengambang di sekitar tubuh,
tidak mampu berkomunikasi.

Hiresa adalah satu yang terkuat,
ia berbeda,
karena punya tambatan jiwa.
Ibunya, waktu itu.
Dan kamu sekarang, Aranza."

Tak kuasa lagi kutekan kecemasan.
"B-berarti b-benar, Kak Esa terluka?"

"Aku yakin, ia masih hidup.
Kondisinya seperti yang kamu lihat."

Aku menangis.
Ibu memelukku.

"Aranza,
kamu tambatannya,
maukah kamu mencoba
mencari Hiresa dengan jiwamu?"

PudarWhere stories live. Discover now