"Aku tidak akan menjawabnya kalau kau ingin menyakitinya. Ramalan? Hah ... alasan terbodoh yang pernah kudengar untuk mendekati seorang wanita."

"Yak! Kau—"

"Jangan cari So Hyun lagi!" Seungyoun menyela tedas, lalu kembali berucap, "dia baik-baik saja kalau kau ingin tahu. Aku tidak akan berbagi informasi lebih padamu. Apa kaulupa? Aku juga menyukainya."

Rasanya darah di sekujur tubuh Song Kang berdesir. Ingin marah, tapi ia tidak bisa. Aneh, ucapan pria Cho itu tak ubah pukulan telak untuknya. Setiap kata yang terlontar mengiris hatinya yang memang merasa bodoh.

Ramalan ... semua ini memang bermula dari ramalan. Jalan termudah yang Song Kang andalkan untuk bisa menyelamatkan karirnya, tapi dibayar dengan kehilangan orang yang ia cintai. Menyedihkan. Ramalan pada akhirnya hanya sebuah prediksi. Bukan menentukan garis hidupnya. Hal yang kini terlambat ia sadari.

Lantas, apa ada seseorang yang bisa meramalkan kapan keduanya bisa kembali bertemu?

Sementara itu, bertempat di Bandar Udara Incheon, gadis yang mengenakan topi hitam dan menarik kopernya, sedang berdiri di depan papan pengumuman untuk memastikan jadwal penerbangannya.

"Satu jam lagi," gumamnya pelan. Tampak ia tengah mencocokkan jadwal penerbangan dengan tiket yang dipegang.

"So Hyun-ah!"

Tubuhnya spontan berbalik. Senyumnya mengembang lebar menemukan Seungyoun tiba. Tepat seperti yang dijanjikan, pria Cho itu mengatakan akan menemuinya sebelum ia pergi.

"Apa pembacaan naskahnya sudah selesai?" tanya So Hyun penasaran. Bagaimanapun, ada bagian dari dirinya yang merasa bersalah sudah melepaskan tanggung jawabnya di tengah jalan seperti ini. Malah sekali lagi melibatkan Seungyoun yang mengambil alih sebagian dari pekerjaannya.

"Sudah," jawab Seunyoun tersengal-sengal karena berlari, "aku langsung berpamitan setelah selesai. Penting bagiku melihat kau pergi dengan tersenyum."

Kedua telunjuk Seunyoun menarik sudut bibir So Hyun meninggi. Membentuk senyum lebar yang membuat keduanya tergelak bersama.

Bahagia, iya. Sedih? Tak pelak sensasi gamang itu hadir di tengah-tengah keduanya. Sulit dipercaya, hanya dalam beberapa saat lagi, keduanya harus berpisah. Jarak dan waktu, dua hal yang pasti membuat rindu mudah menyergap. Belum lagi persoalan adaptasi di kota yang total asing, So Hyun memiliki keraguan bisa mendapatkan teman sepengertian Seungyoun.

"Your attention please, passanger to Italy ...."

Kedekatan keduanya harus pupus sesaat pemberitahuan keberangkatan So Hyun sudah ditentukan.

"Pergilah." Menepati janjinya, Seungyoun tetap memaksakan diri untuk tersenyum. Sama sekali tidak menunjukkan getir yang tersimpan dalam hati. Dukungan yang ia berikan saat ini merupakan cara Seungyoun mencintai gadis Kim itu. Walau kadang, belum tentu dapat diartikan sama olehnya—So Hyun.

Gadis Kim itu menyeret kopernya. Beberapa kali melambai ke arah pria Cho yang terus tersenyum.

Hampir mencapai pintu keberangkatan, kakinya berhenti. So Hyun berputar dan berlari mendekati Seungyoun. Dalam waktu singkat, tangan ramping itu memeluk pinggang Seungyoun yang termangu karenanya.

"Terima kasih, Seungyoun-ah. Sampai kapan pun, kau adalah teman terbaik yang kumiliki." Diikuti cairan bening yang menitik tanpa diminta.

Mengusap lembut kepala So Hyun, Seungyoun mengangguk. Ia sudah tahu kalau perasaannya sulit berbalas.

Bertemu dan berpisah, semua ini hanya sementara. Ada waktunya keduanya akan kembali bertemu. Pada saat itu tiba, mungkinkah kesempatan masih ada untuknya?

**

Tidak terasa musim gugur kembali menyapa. Setelah hampir setahun ia bertahan di negara yang terkenal dengan spaghetti dan pizza, tempat ini tidak lagi asing. So Hyun menemukan banyak teman yang membantunya. Ditambah pekerjaannya yang berjalan baik, ia bersyukur mengambil keputusan ini.

Berjalan sendirian menyusuri taman dengan dedaunan coklat yang berjatuhan, wanita Kim itu sedang melakukan survei untuk proses syuting iklan yang dipercayakan padanya. Tidak hanya film, kepercayaan dirinya bertambah dengan beberapa projek lepasan yang membantunya memperkaya skill di dunia cinematography.

Langkah So Hyun berhenti di salah satu bangku dan mengeluarkan buku catatan yang selalu ia bawa. Mulai mencatat beberapa detail yang melintas di benak. Jemarinya begitu lihai menulis. Seperti sedang menulis surat pada seseorang yang ia rindukan.

Jemarinya berhenti menulis begitu merasakan getar dari ponsel yang disembunyikan di saku mantelnya. Satu nama yang sempat melintas di benaknya, ternyata menghubunginya.

"Kau sudah—"

"Lihat ke depan!"

Iris So Hyun membola. Bak terhipnotis, tubuhnya mematung bersamaan atensinya yang terpaku di satu titik. Sosok itu berdiri di hadapannya layaknya sebuah mimpi.

"Seungyoun-ah ...."

Sementara itu, berada di kota yang sama, salah satu mobil hitam mettalic membelah jalanan besar kota Roma. Bukan pengalaman pertama ia ke sana, hanya saja kali berbeda.

Bila biasa kedatangannya ke Kota Abadi—julukan Roma—itu disebabkan pekerjaan, lantas kali ini tidak lain sekadar liburan. Bahkan untuk sekelas tampil di Milan Fashion Week, sanggup ia tolak. Padahal tawaran untuk tampil di event besar itu tidak selalu datang dengan mudah.

Padatnya pekerjaan setahun belakangan membuat Song Kang ingin beristirahat sejenak. Bagaimana tidak. Film perdananya berhasil masuk box office, membuat nama Song Kang turut mencuat. Tawaran iklan dan ambasador produk membanjiri pria Song tersebut. Fans meeting di beberapa negara juga terlaksana mulus. Tingkat popularitasnya melejit dengan cepat.

Kecuali hari ini. Song Kang memilih menjadi dirinya sendiri, bukan sebagai Song Kang yang dikenal public sebagai model. Ia ingin menikmati liburannya yang diberikan selama seminggu, meski tetap saja Manager Han selalu mengikutinya. Termasuk liburan kali ini.

"Kau benar-benar tidak ingin singgah di Milan?" tanya Manager Han memandang Song Kang yang sejak tadi menutup matanya dengan kepala yang bersandar ke kaca.

"Kenapa sekarang kau menjadi pemurung? Aku lebih menyukai kau yang dulu," lanjut pria Han itu masih belum ditanggapi.

Mobil hitam yang dikendarai Song Kang berhenti tepat di lampu merah. Perlahan ia membuka mata. Mulai menjejali netranya dengan suguhan pemandangan Kota Roma yang baru dua jam ia jejakkan.

Warna merah masih menyalak. Beberapa pejalan kaki terus bergerak cepat sebelum warna hijau menguasai.

Atensi Song Kang terpaku pada pasangan yang baru saja lewat. Begitu bahagia dengan tangan yang berangkulan mesra. Mengumbar senyum lebar yang berujung perih untuk hal yang ia rasakan.

"Ah ... bukankah dia itu!"

Bukan hanya Song Kang, tapi juga Manager Han mengenali pasangan yang baru melintas di depan mereka.

"Si Wanita Kesepuluh," lanjutnya masih membuat Song Kang terpukul.

***
To be continued

ORACLE (END)Where stories live. Discover now