Keberuntungan dan nasib buruk, benarkah bisa ditentukan dari sebuah ramalan?
Apa keberuntungan lebih utama ketimbang cinta?
"Bukankah semua ini karena ramalan? Jadi, buat apa berjuang?"
"Kalau tidak ada ramalan, apa mungkin aku memiliki keberanian...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Aneh. Seperti ada yang salah dengan tubuh So Hyun. Tidak hanya terasa kaku, sejak tadi debaran di dadanya terus berpacu sengit.
Seharusnya tidak begini. Semestinya dia lebih bisa mengendalikan diri mengingat ini bukan pertama kalinya ia berpacaran. Terlebih lagi, pria yang duduk di sampingnya ini adalah mantan kekasihnya. Hanya memang, tidak pernah disangka kalau ia akan menjalin kembali hubungan dengan pria yang sama. Kata mantan, sekarang tidak lagi berlaku.
"Maafkan aku karena nanti tidak bisa menjemputmu. Siang ini aku masih ada jadwal pemotretan. Kurasa akan lama," ungkap Song Kang sembari mengusap rambut So Hyun.
Ketulusan itu ditangkap jelas oleh Sohyun. Baginya, begini saja sudah cukup. Dengan jadwal kerja Song Kang yang padat, So Hyun bisa memaklumi kesibukan sang kekasih. Ia bahkan tidak pernah meminta Song Kang untuk menjemput dan mengantarkannya ke tempat kerja. Seperti sekarang.
Semua bermula pagi ini. Kejutan spontan sesaat So Hyun membuka pintu rumah.
Mengenakan sarung tangan, jaket berlapis dengan tudung yang menutupi rambut, So Hyun terkesiap menemukan Song Kang berjongkok di depan rumahnya. Sunguh, tidak terbesit sama sekali model kondang sepertinya bakal mendatangi rumah sederhana yang So Hyun tinggali. Pun tidak menyangka pria Song itu menunggunya. Berapa lama pastinya, So Hyun hanya menebak bahwa itu cukup lama.
Bibir Song Kang yang memucat dengan senyum yang dipaksa tampil. Ditambah harus bergumul dengan hari yang sejuk. Maklum saja, beberapa hari lagi akan memasuki musim dingin. Perubahan udara sudah cukup terasa.
"Aku takut membangunkanmu, jadi aku memutuskan untuk menunggu di luar," kata Song Kang waktu itu.
Terdengar konyol. Kendati begitu, alasan itu berhasil menggugah perasaan So Hyun. Ia terharu.
"Dasar, Bodoh!"
Ucapan So Hyun bertolak belakang dengan tindakan. Meski sadar dirinya tidak begitu manis dalam berucap, tapi sekadar menaruh perhatian dengan cara mengusap pipi Song Kang yang dingin, tidak lantas membuat dunianya runtuh.
Sekarang keduanya telah tiba di pelataran parkir gedung tinggi. Tampak plang besar dengan nama perusahaan, tempat So Hyun bekerja.
"Kalau begitu nanti aku akan meneleponmu." Song Kang membuat isyarat hati dengan jemarinya sesaat Sohyun baru keluar dari mobil.
Beruntung suasana di sekitar kantor belum begitu ramai. Hanya terdapat beberapa orang yang berlalu-lalang tanpa menaruh perhatian mencolok. Meski dalam hati, So Hyun terus merapal doa.
Jujur saja, Sohyun belum siap seandainya seseorang menangkap basah dirinya dengan Song Kang. Katakan saja, logika datang setelah renjana dikedepankan.
"Baiklah. Kalau begitu berhati-hatilah." Sohyun melambai sebelum memutar tubuhnya.
Perlahan, kakinya mulai bergerak santai menuju gedung di depannya.