Song Kang masih belum mengerti. Tadinya ia berpikir semuanya akan berakhir setelah hubungannya dengan So Hyun kandas. Termasuk keberuntungannya. Ia pikir akan turut menguap.
"Tapi—"
"Sepertinya keberuntungan itu dibuat sendiri olehmu. Bukan olehnya."
Song Kang terpaku. Pikirannya mendadak kosong pada saat pria Han itu meninggalkan ia sendirian di kamar.
Hatinya mencelos. Terasa hampa. Entah kenapa pekerjaan yang melimpah ruah tidak pula membuat ia merasa lega. Atau pun bangga. Sebaliknya ... rasa tercubit dengan penyesalan yang datang terlambat.
Harga yang mahal harus dibayar untuk kebodohannya.
Di lain tempat, setelah bergumul selama satu jam, akhirnya So Hyun keluar dari salah satu ruangan yang terletak di lantai sepuluh. Lantai yang dominan diisi oleh para petinggi dan jajaran penting di stasiun televisi tempatnya bekerja. Tersisa desahan panjang dengan debar yang perlahan mereda. Satu keputusan sudah So Hyun ambil.
"Sutradara Hwang bilang kau tidak mengikuti projek film bulan depan. Benarkah itu?"
So Hyun mengangguk. Meski belum terlalu yakin, tapi ia ingin mencoba peruntungannya.
"Apa kami boleh tahu alasannya? Padahal kami berencana mengangkatmu sebagai pekerja tetap usai film ini di-release. Apa kau tidak mau mempertimbangkan tawaran ini, Nona Kim? Atasanmu di Divisi Audio juga mengakui etos kerjamu yang baik. Mereka bahkan meminta agar bisa menjadikanmu bagian dari team mereka."
Sangat lucu. Padahal sangat lama So Hyun menantikan pembicaraan seperti ini.
Seandainya penawaran ini datang lebih awal, pasti ia tidak akan berpikir dua kali untuk menerima. Sayang, pikirannya terlanjur tersita dengan penawaran Sutradara Hwang. Walau So Hyun juga tahu, tidak ada yang menjamin karya ini akan berhasil. Kemungkinan terburuknya, bila projek ini gagal, maka ia kembali ke kampung halamannya. Ada kemungkinan So Hyun akan mempertimbangkan keinginan sang ibu yang memintanya menikah. Dijodohkan, begitulah kira-kira.
"Nona Kim?"
Keputusan So Hyun sudah bulat. "Aku ingin menjadi sutradara. Sejak dulu, aku bermimpi bisa membuat satu karya yang bisa kuperlihatkan pada keluargaku dan banyak orang. Terlepas tidak ada jaminan bahwa semua ini akan berhasil, tapi aku akan mencobanya.
Aku berterima kasih untuk kesempatan yang Anda tawarkan. Mungkin saja aku akan menyesali keputusanku kelak. Tapi, inilah keputusanku."
So Hyun berdiri dan membungkuk pada pria yang duduk di hadapannya. Bersamaan surat pengunduran dirinya diserahkan, ia pun berpamitan.
Ini bukan saatnya untuk melihat ke belakang. Sudah saatnya menyongsong masa depan. Gambaran samar yang perlahan akan menjadi jelas seiring waktu berjalan.
"Jadi kau sudah memutuskan pergi?"
Tubuhnya tersentak mendapati Seungyoun berada di luar ruangan. Berdiri sambil bersedekap, tatapannya meruncing.
"Seunyoun-ah ...."
Hatinya bergemuruh mendengar suara langkah kaki pria Cho itu mendekat. Memberi kesan bersalah karena belum membagikan berita ini.
"Semoga berhasil, Hyun."
Leher yang tadinya tertunduk, perlahan menegak. Seperti mendapat keberanian untuk memandang wajah pria yang tersenyum padanya.
"Aku kesal karena kau tidak memberitahukan berita penting ini padaku. Padahal kau tahu kalau aku akan menjadi orang pertama yang mendukungmu. Apa kau lupa kalau aku adalah fans-mu? Fans pertama Sutradara Kim."
Air mata So Hyun lolos tanpa izin. Tentu saja ia sedih karena akan berpisah dengan pria sebaik Seunyoun, tapi ia juga bahagia di saat bersamaan. Mendapatkan dukungan dari Seungyoun, menambah rasa percaya diri So Hyun. Seperti meyakinkan bahwa keputusannya tidak salah.
Dan Song Kang ... mungkin ini juga bisa menjadi waktu pemulihan diri dari luka yang masih membekas. Luka dari pria yang masih bercokol di ingatannya.
***
To be continued
YOU ARE READING
ORACLE (END)
FanfictionKeberuntungan dan nasib buruk, benarkah bisa ditentukan dari sebuah ramalan? Apa keberuntungan lebih utama ketimbang cinta? "Bukankah semua ini karena ramalan? Jadi, buat apa berjuang?" "Kalau tidak ada ramalan, apa mungkin aku memiliki keberanian...
ORACLE -17
Start from the beginning
